Home / Pernikahan / IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU / Bab 8. Pura-pura Amnesia

Share

Bab 8. Pura-pura Amnesia

Author: Ananda Zhia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. 

"Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. 

Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.

Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana.

 

 

"Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih.

 

 

"Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!"

 

 

"Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.

Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? 

"Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak Dina geram.

"Sudah Ali, Dina. Sekarang ayo pulang saja. Besok kita jenguk Yana lagi," kata ibu Yana sambil memandangiku.

"Bapak juga sudah muak melihat keluarga gil* ini. Nyesel sekali dulu merelakan Yana lulus SMA nikah sama dia," timpal bapak Yana.

Lalu satu persatu keluarga Yana berlalu meninggalkan aku dan ibu. 

"Pak," aku berseru lirih. Berusaha mengejar keluarga Yana. Ingin memohon pengampunan, tapi jujur saja aku gengsi.

"Mau kemana Met? Biar saja mereka pergi. Biar saja kalau memang harus berpisah dengan Yana. Nanti ibu carikan istri yang lebih subur,"

Kata-kata ibu menghentikan langkahku. Dan membiarkan keluarga Yana menghilang di belokan koridor.

 

 

"Bubar, bubar semua. Yang dikatakan keluarga tadi bohong.  Tolong jangan percaya," kata ibu menghalau kerumunan orang yang ada di sekitarnya.

Orang-orang yang mengerumuni kami bubar disertai gumaman-gumaman yang tak jelas.

"Pak, terimakasih telah datang tepat waktu, sekarang bapak bisa pergi untuk melanjutkan tugas lainnya," kata ibu seraya tersenyum pada satpam rumah sakit.

 

 

Aku berjalan ke arah dinding kaca tebal yang membatasi ruangan tempat Yana dirawat dengan tempatku.

Yana tampak terlelap dengan tenang dibawah transfusi darah yang mengalir di tangannya.

"Met, ibu takut kalau bapaknya Yana benar-benar lapor polisi," tukas ibu lirih sambil memegang pundakku.

Aku menoleh. "Slamet malah cemas kalau Yana tidak akan bangun lagi," tukasku lirih.

Ibu mendelik. "Kamu kok jadi lemah gini. Yana pasti sadar lah. Cuma minum air rumput fatimah aja. Liat nih ibu, dari awal hamil sampai brojol anak 3 tetap hidup kan. Kamu nggak usah cemas. Yang perlu kita khawatirkan sekarang gimana kalau mereka benar-benar ngadu ke polisi,"

Aku menghela nafas. "Mana mungkin mereka ngadu ke polisi, keluarga Yana juga sama dengan keluarga kita kan, penghasilan pas-pasan, mana mungkin mereka punya waktu untuk lapor polisi. Lagipula mereka juga memukuliku, ini bisa jadi laporan juga kan?" tanyaku menunjuk pipi.

"Kalau gitu sekarang kita foto aja ya pipimu untuk jaga-jaga," tukas ibu dan akupun mengangguk.

"Sebenarnya bisa sih divisum seperti di tivi tapi katanya butuh surat dari polisi."

"Haduh Bu, nggak tahulah. Ini sudah pusing dengan masalah Yana dan anakku yang tidak kunjung sadar, jangan ditambah masalah-masalah lain. Pening Bu!"

"Emang dikira kamu aja yang pusing, ibu itu lebih pening."

Aku memandang ibu dengan heran. "Bu, mungkin kalau kita nurut sama bu Indah tentang USG dan tidak memberikan Yana rumput fatimah, mungkin tidak sampai seperti ini,"

Ibu mendelik dan menggertakku,"Heh, jadi kamu nyalahin ibu? Dulu ibu gak USG dan cuma minum rumput fatimah saja bisa lancar persalinannya. Ibu nggak mau kalau disalah-salahin."

Aku menghela nafas. Kepalaku rasanya seperti mau meledak dan aku butuh rokok, sayang sekali di rumah sakit tertulis 'no smoking area', nasib!

***

Aku terbangun di atas tempat tidur kelas tiga ruang nifas yang sudah kupesan untuk Yana. 

 

 

Karena Yana masih di ICU, kasur di ruang kelas tiga ini jadi bisa kutiduri.

Aku meraih ponsel dan melihat barangkali ada pesan dari ibu. Karena semalam ibu minta pulang dan tidak mau menemaniku di rumah sakit.

Hm, nihil. Ibu tidak mengirimiku pesan sama sekali. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku lalu ke kamar mandi. 

Lebih baik cuci muka dan buang air besar lalu sarapan karena sudah jam 8 pagi. 

Setelah menuntaskan hajat di kloset, aku berdiri di depan cermin. Kuraba bekas pukulan dari bapak Yana. Terlihat ungu dan lebam.

"Duh, sakit. Benar-benar memusingkan bapaknya si Yana ini. Menyesal juga aku pernah berpikiran untuk meminta maaf tentang Yana, padahal bapak Yana juga membuat wajahku bonyok," gumamku kesal.

 

 

Setelah puas mengaca dan mengomel, akupun menuju kantin rumah sakit.

Semangkuk soto ayam dan segelas es teh mungkin akan meredakan nyeri dan lebam di pipi.

***

Aku berjalan perlahan di koridor rumah sakit menuju ruang ICU saat tiba-tiba aku melihat keluarga Yana berkerumun di depan pintunya.

Lalu perlahan pintu ICU terbuka dan keluarlah seorang perawat dengan mendorong ranjang beroda. 

Aku terkejut saat melihat Yana didorong oleh perawat keluar dari ICU. 

Aku segera mengejar ke arah Yana, tapi keluarga Yana menutupi jalan. 

"Sus, mau dibawa kemana istri saya?" tanyaku.

Tapi si*lnya suster itu terdiam sambil tetap mendorong ranjang Yana. 

"Mas Ali, Yana mau dibawa kemana? Apa dia sudah sadar?" tanyaku bingung pada mas Ali yang sekarang ada di depanku.

"Yana sudah sadar dan akan kami pindah ke ruang kelas satu. Kasihan sekali kalau adik kami dirawat di ruang kelas tiga," sahut mas Ali ketus.

Aku terdiam. Duh, siapa yang mau bayar selisih kelasnya? Batinku.

"Kamu pasti mikir kan bagaimana caranya membayar ruang kelas satu? Dasar suami pelit. Walaupun kami tidak kaya tapi kalau ada keluarga yang sakit, pasti kami akan berusaha sebaik mungkin untuk perawatannya," 

"Sial*n. Menyindirku rupanya mereka," batinku.

Aku terdiam dan mengikuti perawat tersebut mendorong ranjang Yana sampai memasuki ruang kelas 1. 

 

 

Aku bermaksud membantu memindahkan Yana dari ranjang beroda ke ranjang ruang kelas satu, saat bapak Yana dengan tegas menolakku.

"Ini putri saya! Biar saya dan putra saya yang memindahkannya. Tolong jangan sentuh putri saya. Karena saya tidak ingin dia terluka lagi."

Aku terdiam, merasa sangat terhina tapi aku tidak ingin membuat keributan di rumah sakit.

Akhirnya dengan terpaksa, aku melihat Yana yang telah dipindah dari ranjang beroda ke ranjang rawat inap.

"Yana, kamu sudah siuman akhirnya Nak?" tanya ibu Yana menciumi kening dan pipi Yana. 

Yana tersenyum lalu satu persatu keluarga dan iparnya menyalaminya.

Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk maju ke arah Yana.

"Yana, kamu sudah sehat ya?" sapaku hendak meraih tangannya.

Tapi alangkah terkejutnya aku saat dengan tegas Yana mengibaskan tangannya dan memandangku dengan tatapan aneh.

 

 

Dan selanjutnya sebuah kalimat yang mengejutkan meluncur dari bibir mungilnya. 

"Kamu siapa?" tanya Yana sambil memandang kearahku.

 

 

Apa? Yana lupa padaku?

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
vivia sari anggraeni
ya karna ente bukan manusia wahai mertua
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 9. Sadar dari Koma

    Flash back on :Aku tidak tahu minuman apa yang diberikan padaku karena tiba-tiba perutku terasa mulas. Rasanya seperti mau mati saja. Seolah ada tangan-tangan yang meremas perutku dengan sekuat tenaga. Aku mengerang-erang sampai sepertinya mas Slamet dan mertuaku marah. Tapi aku tidak peduli lagi dengan omelan mertua karena selama ini aku sangat menuruti kemauan mereka, padahal aku sudah tidak tahan lagi. Jadi sekarang aku tidak peduli jika aku berteriak keras-keras karena aku sungguh kesakitan.Hingga saat aku mulai naik ke atas bentor, aku tidak bisa menahan rasa mulas, hingga akhirnya aku merasakan ada yang meletus di dalam jalan lahir.Dan saat itu seolah sebuah tangan meremas perutku sekuat tenaga membuat seluruh pandanganku menggelap.***Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadar, tapi aku merasakan perutku sakit luar biasa dan badanku seakan tidak punya tulang. Sangat lemas dan tidak bertenaga. Mataku pun hendak terbuka tapi terasa sangat berat.Tapi telingaku seolah mend

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 10. Mitos Bayi Menangis

    Salah beli baju menyesal sehari, salah potong rambut menyesal seminggu. Tapi salah milih suami, menyesalnya semur hidup.***Yana dan keluarganya serentak menatap ke arah suster itu. "Apa kabarnya bayi saya Sus?" tanya Yana cemas.Suster itu lalu memandang Yana sejenak dan berkata, "Alhamdulillah, bayinya sudah mulai menangis keras. Dan sekarang rencana mulai dipasang selang untuk minum susu. Apa ada permintaan susu tertentu dari pihak keluarga?" Setelah mendapat keterangan dari suster tentang bayinya, Yana merasa energi luar biasa seolah merasuki tubuhnya.Ada semangat untuk sehat dan sembuh yang terpancar dari hati."Suster, berikan yang terbaik untuk cucu saya. Mahal tidak apa-apa. Petugas medis pasti lebih tahu kandungan susu yang terbaik untuk kondisi cucu saya. Karena anak saya baru keluar dari ICU, ASInya belum lancar," Ucap ibu Yana sambil mendekat ke arah suster tersebut."Oh, baiklah. Kalau gitu saya sampaikan ke ruang bayi dulu ya," suster itu hendak pamit meninggalkan rua

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 11. Tuluskah Permintaan Maafnya

    Jangan pernah membuat wanita yang mencintaimu menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada pria lain yang membantu menghapus air matanya.***Ibu Slamet ngeloyor pergi setelah mendapat ceramah gratis tentang bayi menangis dan pisang yang tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 6 bulan. "Bu, mau kemana?" tanya Slamet mengejar ibunya yang berjalan mendahului."Diam dulu Met. Ibu lagi berpikir," Ibu Slamet mempercepat langkah menuju kantin rumah sakit dan Slamet mengikutinya dengan bingung."Pak, bakso satu es teh satu," kata ibu Slamet sambil duduk di salah satu kursi."Bu, Slamet juga pesen bakso ya," pinta Slamet lalu duduk di depan ibunya. "Pesen ajah," sahut ibunya lalu membuka kulit pisang dan memakannya."Heran sama anak muda sekarang. Nggak ada sopan-sopannya sama orang tua," tukas ibunya Slamet kesal."Maksudnya apa, Bu?" tanya Slamet bingung. "Suster yang tadi lo Met. Masih bocah kok berani-beraninya ngasih tahu ibu. Padahal kalau lihat wajahnya, pasti dia belum ni

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 12. Tiga Syarat

    Pergilah dariku, maka kamu tidak akan menemukan pengganti yang terbaik dan mengerti kamu melebihi aku.***Saat suster itu hendak mendorong kursi roda Yana masuk kedalam ruang bayi, Slamet tiba-tiba berseru, "Yana, mas tahu kalau kamu hanya pura-pura lupa ingatan saja kan, maafkan Mas ya. Ayo kita mulai dari awal. Mas janji akan membantu semua pekerjaan rumah kamu," Yana masih duduk diatas kursi roda dan meminta pada suster untuk berhenti, lalu dia menoleh pada Slamet dan berkata, "Kamu bilang apa sih? Saya beneran nggak kenal sama kamu," tukas Yana ketus dan memberi tanda pada suster untuk mendorong kursi rodanya lagi."Yan...Yana! Tunggu!" Slamet terkejut dan meremas rambutnya frustasi."Met! Ora pantes wong lanang ngemis-ngemis nang wong wadon koyok ngono!" seru ibu Slamet sambil menarik tangan Slamet agar berdiri.Ali yang melihat pemandangan di hadapannya tersenyum geli.Slamet menurut pada ibunya. Dia berdiri perlahan tapi tidak mengikuti langkah sang ibu yang menjauh dari rua

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 13. Mitos Nifas

    Pria yang bersifat seorang raja akan memposisikan wanitanya sebagai ratu, tapi pria yang bersifat penjahat, akan memposisikan wanita sebagai belenggu atau bahkan alas di kakinya.***Ibunya terkejut melihat Slamet membuka wadah obat nyamuk cair dan mendekatnya ke mulutnya. "Tolong izinkan Yana dan anak Slamet kembali ke sini atau ibu akan melihat mayat Slamet!" teriak Slamet yakin.Ibunya mendelik! Tidak menyangka Slamet akan berbuat nekat seperti itu. "Turunkan obat nyamuk itu, Met. Bahaya!" Seru ibunya panik."Tidak Bu! Lebih baik Slamet mati saja jika Yana dan anak Slamet tidak pulang kesini!" Seru Slamet bertahan. Ibu menghela nafas. Merasa ragu apakah Slamet hanya akting saja demi membawa Yana dan anaknya pulang atau benar-benar berani meminum obat serangga itu."Met, ibu tahu. Kamu tidak akan senekat itu. Ibu tahu kamu bisa berpikir logis. Dan yang terpenting, ibu yakin kamu takut untuk meminumnya!" Kata ibunya yakin.Slamet terhenyak. Dia tidak menyangka jika ibunya tidak mu

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 14. Kedatangan Tetangga

    Yana melihat mertuanya pergi menjauh dengan tersenyum penuh kemenangan."Emang enak," gumamnya lirih lalu kembali ke bayinya dan memeluk sang anak seraya memejamkan mata kembali."Yan, mas berangkat dulu ya," kata Slamet yang muncul dari kamar sebelah."Iya Mas," sahut Yana setengah terpejam.Memang sesuai kesepakatan dalam masa menunggu ingatan Yana kembali, Yana meminta tidur di kamar sendirian dengan bayinya dan Slamet di kamar sebelah.Dan Slametpun setuju. Dia tidur di kamar sebelah kamar Yana. Dan akan masuk ke kamar Yana kalau Yana memintanya untuk membantu menggendong anak mereka sementara Yana melanjutkan istirahat setelah menyusui.Slamet mendekat ke arah Yana. Sebenarnya dia ingin Yana kembali seperti dulu. Mengantarkannya sampai ke pintu depan rumah saat dia berangkat bekerja. Tapi sekarang, jangankan mengantarkan ke depan pintu, untuk tersenyum tulus pada Slamet saja sepertinya Yana keberatan. "Huft, entah lupa beneran atau pura-pura lupa, aku bersyukur Yana mau tinggal

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 15. Pemilik Tas itu

    Yana terkejut saat melihat isinya. Sejumlah uang berwarna merah teronggok di dalam tas tersebut!"Astagfirullah, tas siapa ini Mas?!"Slamet terdiam. Karena sejujurnya dia tidak tahu."Entahlah, tapi bukankah kita butuh biaya untuk mengaqiqahkan Fajar?" tanya Slamet retoris.Yana memandangi suaminya dengan seksama. "Kita memang butuh uang untuk biaya aqiqah. Tapi bukan berarti kita menghalalkan segala cara Mas," tukas Yana tidak setuju."Kita tidak menghalalkan secara cara kok, kita minjam ke orang ini secukupnya saja lalu kita kembalikan kalau sudah punya uang, gimana?" tanya Slamet."Maaf Mas, aku tidak ingin seperti itu. Kembalikan saja pada pemiliknya. Pasti ada dompet yang berisi identitas kan?"Slamet lalu menuang seluruh isi tas ke lantai. Dan berhamburanlah lembaran uang merah.Diantara uang tersebut, Slamet memungut sebuah dompet dan membuka isinya.Ada selembar ktp dan Slamet memungut lalu membacanya."Coba liat Mas," Yana menengadahkan tangannya meminta KTP yang sedang dipe

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    Bab 16. Senjata Makan Mertua

    FLASH BACK ON :Mertua Yana menghentak-hentakkan kaki menuju ke kamarnya. Amarah merajai hati sampai dadanya berdebar."Dasar mandul, sok suci. Mana Slamet nurut pula. Mana ada zaman sekarang kalau nemu uang terus dikembalikan. Ya pasti diambil sama yang nemu lah. Paling-paling kalau dikembalikan cuma berkas-berkasnya saja kayak KTP atau kartu ATM. Mana ada duit dibalikin. Huh, dasar bod*h," Mertua Yana mengomel panjang pendek."Hm, padahal aku kan pingin dibelikan kalung emas lagi. Dasar pelit, mandul, sok suci!" umpat mertua Yana lagi. "Awas saja nanti kalau Slamet keluar rumah dan mengembalikan uangnya, aku akan memberinya pelajaran," tukas ibu Yana. "Eh, bentar. Seandainya aku kirim sms ke Slamet agar dia ngasih aku duit sejuta dua juta, mungkin Slamet mau," Ibu Yana lalu mengambil ponsel dan mulai menuliskan SMS untuk anaknya.|Met, kamu nggak kasihan sama ibu kamu ta? Berikan ibu uang itu dikit saja. Ibu pengen makan enak||Maaf Bu, Slamet akan mengembalikan uang yang bukan h

Latest chapter

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    71. Ending

    Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    70. Positif HIV

    Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    69. Rencana Slamet

    "Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    68. Arisan Brondong

    Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    67. Pekerjaan Haram

    "Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    66. Tawaran Menggiurkan

    "Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    65. Ide Baru

    Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    64. Ide Ani

    Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    63. Sidang Pertama

    Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An

DMCA.com Protection Status