FLASH BACK ON :Mertua Yana menghentak-hentakkan kaki menuju ke kamarnya. Amarah merajai hati sampai dadanya berdebar."Dasar mandul, sok suci. Mana Slamet nurut pula. Mana ada zaman sekarang kalau nemu uang terus dikembalikan. Ya pasti diambil sama yang nemu lah. Paling-paling kalau dikembalikan cuma berkas-berkasnya saja kayak KTP atau kartu ATM. Mana ada duit dibalikin. Huh, dasar bod*h," Mertua Yana mengomel panjang pendek."Hm, padahal aku kan pingin dibelikan kalung emas lagi. Dasar pelit, mandul, sok suci!" umpat mertua Yana lagi. "Awas saja nanti kalau Slamet keluar rumah dan mengembalikan uangnya, aku akan memberinya pelajaran," tukas ibu Yana. "Eh, bentar. Seandainya aku kirim sms ke Slamet agar dia ngasih aku duit sejuta dua juta, mungkin Slamet mau," Ibu Yana lalu mengambil ponsel dan mulai menuliskan SMS untuk anaknya.|Met, kamu nggak kasihan sama ibu kamu ta? Berikan ibu uang itu dikit saja. Ibu pengen makan enak||Maaf Bu, Slamet akan mengembalikan uang yang bukan h
Yana segera mencuci tangan dan bergegas membuka pintu. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat tamu di luar pintu rumah Slamet ternyata adalah mbak Tita dan keluarga suaminya."Mbak Tita??" tanya Yana kaget saat melihat kakak iparnya berwajah sembab."Apa bu Siti ada?" sebuah suara berat terdengar dari belakang punggung Tita."Ada, di dalam. Mari masuk dulu. Saya panggilkan ibu ya," tukas Yana ramah sambil masuk ke dalam rumahnya dan mempersilahkan Tita dan keluarga suaminya masuk.Kakak nomor dua dari suaminya pun masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh keluarga suaminya.Sementara Yana masuk ke dalam rumah untuk memanggil ibu mertuanya."Lo, Tita kesini kok nggak ngasih kabar dulu? Kan bisa ibu sediakan makanan dan minuman?" tanya ibunya saat sudah sampai di ruang tamu."Ibu..," Bukan jawaban yang Tita berikan melainkan langsung memeluk sang ibu."Lo ada apa ini?" tanya bu Siti memucat. Selintas firasat buruk menyergap. "Coba duduk dulu. Dan ceritakan apa yang telah terjadi," kata S
"Apa? jadi selama ini kamu pura-pura amnesia?" Sebuah suara terdengar dari ujung pintu yang terbuka. Dan semua mata mengarah padanya."Ibu?!"Ibu Slamet maju mendekat ke arah Yana. "Kenapa kamu pura-pura amnesia?" tanyanya pada sang menantu.Yana terdiam. Tidak mungkin untuk jujur bahwa dia pura-pura lupa ingatan pada awalnya adalah agar mempermudah proses perceraiannya dengan Slamet."Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan ibu, kenapa kamu pura-pura amnesia?" desak mertuanya.Sebelum Yana sempat menjawab, bayinya menangis keras. Yana segera menggendong dan menimang anaknya. "Bu, sudah. Jangan desak Yana lagi. Yana kehilangan rahimnya saja pasti bikin syok dan sedih, jangan ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya," kata Slamet. "Haduh, kamu itu jangan lembek kalau jadi suami. Istri kamu nanti kurang ajar dan ngelunjak,"kata ibu Slamet. Sementara bayi dalam gendongan Yana semakin menangis kejer. "Ibu, sudah. Jangan membuat Yana sedih. Slamet takut kalau Yana s
"Saya tahu kamu sudah punya istri, tapi saya mau jadi istri kedua kamu. Bantu saya mengurus pabrik pengolahan daging warisan suami saya dan peternakan yang baru saya rintis. Hasilnya bisa kamu nikmati dengan keluarga kamu secukupnya. Saya tahu kamu kekurangan uang, dan saya juga ingin mempunyai seorang anak. Bagaimana menurut kamu, Mas?" tanya Rima membuat tenggorokan Slamet terasa tercekat."Tapi Bu, saya tidak bisa menduakan istri saya," tukas Slamet lirih."Coba kamu pikirkan lagi, kamu bisa menikmati aset suami saya tanpa harus bekerja keras. Kamu bisa mengajak istri kamu kontrol ulang pasca rahimnya diangkat dan kamu bisa membelikan ibumu kalung..,""Bagaimana Ibu bisa tahu semua informasi tentang saya?" tanya Slamet memotong pembicaraan Rima. Dia terkejut. Karena tidak menyangka bahwa walaupun baru mengenal Rima sehari, tapi Rima sudah mengetahui berbagai informasi pribadi tentang diri dan keluarganya."Slamet, jaman sekarang mudah sekali mencari informasi tentang orang lain apa
"Astaghfirullah, benarkah Pak?!" Seru Slamet terkejut dan refleks berdiri dari duduknya."Ada apa Met? Kenapa dengan mbak Eva?" tanya Tita panik."Iya Met, ada apa dengan kakak kamu?"Slamet melambaikan tangan ke arah ibu dan Tita, menandakan agar kedua perempuan itu berhenti bicara terlebih dahulu."Iya, karena itu pihak keluarga berhak mencari pengacara untuk menemani bu Eva dan suami sebelum dan selama sidang," kata suara polisi dari seberang telepon."Apa?" Slamet benar-benar terkejut dengan apa yang didengarnya."Pengacara?" tanya Slamet lirih membuat semua yang ada di ruang makan itu mendelik."Iya, sekian pemberitahuan dari kami," Polisi itu menutup teleponnya setelah mengucap salam.Slamet meletakkan ponselnya di atas meja dengan pikiran berkecamuk. Bingung untuk menolong nasib kakak pertamanya.Pengacara? Darimana dia akan mendapatkan uang untuk mnyewa jasa pengacara itu?"Hei Met! Ada apa sih? Malah bengong!" Tita menepuk bahu Slamet."E-enggak,""Jadi siapa tadi yang telepo
"Apa? Siapa yang akan menikah lagi?" Yana tampak terkejut dan terlihat puing-puing piring berjatuhan di kakinya.Slamet terkejut dan langsung berdiri menghampiri Yana."Yan, dengarkan aku lebih dahulu!" seru Slamet sambil memegang pundak Yana.Yana menepis tangan Slamet. "Jangan coba-coba merayuku. Apa yang membuatmu berubah pikiran Mas?!" tanya Yana."Baik Yana, Mas akan cerita semuanya padamu, ibu dan mbak Tita," kata Slamet lalu menarik nafas panjang."Baiklah. Cerita saja Mas. Akan aku dengarkan," tukas Yana perlahan.Slamet pun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak mengembalikan uang pada Rima. Beserta kemudahan yang akan didapat Slamet dan seluruh keluarganya jika Slamet mau menjadikan Rima istri kedua."Jadi gitu Yan. Bu Rima tidak menghendaki kita berpisah, tapi cuma jadi istri kedua. Dan semua kebutuhan kamu akan tercukupi," kata Slamet."Sudah Mas, jangan banyak alasan. Aku tidak akan pernah mau diduakan, lebih baik kita berpisah saja. Toh, keluargamu tidak pernah meny
Wahai para suami, kalau ingin istri yang seperti bidadari, coba jadikan rumah tanggamu seperti di syurga dulu. Karena tidak ada bidadari yang tinggal di nereka.***"Astaga?! Apa-apaan ini?!" tanya ibunya dan Tita terkejut saat melihat isi perjanjian pranikah itu."Ini sepertinya merugikan kita gak sih?" tanya Tita panik dan sekali lagi membaca isi kertas itu yang jelas-jelas bertuliskan perjanjian pranikah, yaitu pihak pertama selaku suami dan keluarganya kemudian calon istri selaku pihak kedua menyetujui perjanjian yang dituliskan di bawah ini sebagai berikut,1. boleh serumah dengan menantu dan boleh memanfaatkan fasilitas di rumah asalkan bersedia melakukan semuanya sendiri dan tidak merepotkan asisten rumah tangga. 2. Slamet akan mengelola bagian peternakan yang baru dirintis dengan sistem bagi hasil dan dibantu oleh orang kepercayaan Rima. 3. Penghasilan Slamet 50% untuk keluarga dan 50% diberikan untuk Rima. 4. Boleh memakai uang Rima untuk membeli kebutuhan pokok, tapi haru
Hari pernikahanpun tiba, seluruh keluarga Rima dan keluarga Slamet berkumpul di rumah Rima.Saat acara ijab qobul baru saja selesai tiba-tiba terdengar suara dari luar, "Woi, Siti, keluar! Enak ya udah jadi mertua dari orang kaya. Lunasin dulu utangmu!"Seluruh keluarga Rima dan keluarga Slamet saling berpandangan.Lalu tak lama kemudian beberapa orang masuk ke dalam rumah Rima dan membawa seorang perempuan bertubuh gemuk dengan mengenakan beberapa gelang emas besar di tangannya."Lepasin saya! Saya cuma mau menagih hutang sama bu Siti." Perempuan itu berteriak sambil menepis tangan orang yang memegangi lengannya. Lalu maju dan mendekati ibu Slamet."Eh Siti, masih inget nggak sama saya. Dulu kan sempat ngambil sofa dan tempat tidur secara kredit dari saya, sekarang bayar!"Bu Siti dengan wajah pucat memandangi perempuan itu. Sementara itu semua pandangan mata mengarah pada bu Siti."Tunggu! Jangan ribut di acara pernikahan saya," kata Rima geram."Ya kalau nggak gini, saya nggak bisa
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An