Flashback On :"Yan, kamu terlihat lebih cantik setelah berpisah dari Slamet," kata ibunya saat Yana terbangun dari tidur setelah tanpa sengaja memejamkan mata ketika menyusui anaknya.Yana tersenyum. "Ya tentu saja Yana bahagia Bu. Kan Yana sekarang bebas mau tidur jam berapa dan ngapain saja. Enggak ada yang ngomentarin dan nggak ada yang julidin," sahut Yana tertawa."Kenapa gak dari dulu kamu pisah Yan. Malah kamu gak pernah cerita kalau mertua dan suami kamu semena-mena,"Yana tersenyum."Sudahlah Bu, nggak perlu dibahas lagi. Yang berlalu biar berlari. Sekarang kita buka lembaran baru lagi," sahut Yana.Ibunya mengangguk."Oh iya Bu, Yana mau ke gerai ayam goreng dulu. Alhamdulillah pembelinya sudah lumayan banyak," kata Yana."Wah, Alhamdulillah. Kamu emang berbakat jual ayam krispi dari dulu kan Yan?"Yana mengangguk dan tersenyum."Iya, apalagi yang punya warung teman Yana sekolah dulu, jadi dia juga order ayam goreng krispi sama Yana,""Teman kamu itu siapa namanya? " Tanya
Ada perempuan yang bisa melahirkan anak melalui rahimnya. Namun, ada juga perempuan yang 'melahirkan' anak dengan hatinya.***"Calon suami Yana," kata Bagas mantap memotong kalimat Yana, sambil menjabat tangan Slamet yang terkejut. Begitu pula dengan Yana."Apaaa...?!" seru Slamet.Sedangkan Yana segera berpikir cepat. Mungkinkah ini bagian rencana Bagas untuk membantunya agar tidak malu di hadapan Slamet.Yana pun tersenyum dan menatap Bagas. "Iya, Mas Slamet, ini calon imamku yang baru," kata Yana sembari menepuk pundak Bagas.Debar jantung Bagas semakin mengencang. Dia melirik ke arah Yana dengan hati berbunga. Apakah sebenarnya selama ini Yana juga menyimpan cinta padanya."Kamu ... sudah menemukan penggantiku?" tanya Slamet serak."Iya. Alhamdulillah." Yana mengangguk sambil tersenyum menatap Bagas. Slamet merasa hatinya diliputi rasa cemburu. "Astaga, kenapa Yana bisa mendapat penggantiku secepat itu? Padahal kukira dia tidak bisa menikah lagi karena rahimnya telah diangkat
"Kenapa Pak? Kenapa saya tidak boleh menikah dengan Yana?" tanya Bagas keberatan.Bapak Yana menoleh kearah Bagas dan memandangi pria muda itu seksama sebelum kemudian menghela nafas panjang dan menjawab, "karena saya masih trauma dengan perlakuan mantan suami dan mantan mertua Yana."Bagas menelan ludah."Saya beda dengan Slamet, Pak. Sungguh!"Bapak Yana menoleh dan memandang Bagas."Apa jaminannya kalau kamu sama ibu kamu tidak sama dengan Slamet dan ibunya?" tanya bapak Yana."Pak, saya mempunyai warisan warung dan beberapa cabangnya." Bagas menatap bapak Yana setelah terdiam lama.Bapak Yana membalas memandang mata Bagas."Terus maksud kamu apa? Apa kamu pikir orang kaya seperti kamu bisa membuat saya percaya begitu saja?"Bagas menggeleng cepat."Maksud saya bukan itu. Kalau saya dan ibu saya memperlakukan Yana dengan semena-semena, warung utama beserta seluruh cabangnya akan menjadi milik Yana.""Hah? Apa kamu bilang? Kamu tidak bercanda kan?" tanya bapak Yana kaget."Buat apa
Slamet berjalan tergesa memasuki mobil. Hatinya panas dan remuk redam karena melihat Yana yang sudah mendapatkan pengganti pasangan hidup.Dengan mata berkaca, dia menatap ke arah warung tempat Yana mengambil cincin dari kotak yang diulurkan Bagas.Nyuuut ....Slamet merasa ada ada yang meremas hatinya dan merasakan sensasi sakit dan cemburu.Seketika Slamet meremas setir untuk mengurangi rasa cemburu dalam hatinya."Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Padahal aku juga sudah menikah dengan Rima?" gumam Slamet.Slamet menggigit bibir bawahnya saat melihat Bagas mengajak Yana pergi dari tempat duduk dan berlalu ke dalam warung.Slamet menghembuskan nafas kasar dan segera menghidupkan mobil lalu melajukannya keluar dari warung milik Bagas.Tak berapa lama, Slametpun sampai di area peternakan milik Rima. Slamet segera memarkirkan mobilnya dan keluar menuju kandang sapi. Slamet mengganti baju seragam dan sepatu boot lalu mulai mengamati para pekerjanya memberi makan sapi-sapi milik Rim
Rima pun tersenyum dan mengambil cangkir teh yang ada di posisi tengah dan mendekatkannya ke mulut lalu meminumnya perlahan."Ayo Met, kita juga minum," ajak Ibu Slamet seraya mengangkat cangkir tehnya.Slamet pun mengikuti dan meminum teh di cangkirnya sampai habis."Duh, ini terlalu manis, Bu. Rima nggak suka manis kan?" kata Rima sambil meletakkan cangkir tehnya yang masih tersisa setengah."Rima, sekali lagi ibu minta maaf dengan setulus hati atas kelakuan Tita dan Eva. Ibu berjanji akan mengajari mereka empati dan sopan santun." "Sudahlah Bu. Jangan dibahas lagi. Saya sudah langsung memaafkannya. Mungkin kemarin saya sedang banyak pikiran karena sapi saya mati mendadak, jadi saya langsung marah.""Makasih ya Nak. Kamu adalah menantu terbaik." Ibu Slamet memegang tangan Rima erat.Rima tersenyum."Evaaa ..., Tita ..., kesini sebentar! Kalian belum minta maaf pada Rima!" Eva dan Tita yang pura-pura memasang wajah segan dan takut mendekat ke arah Rima."Maafkan mbak, Rim. Mbak men
"Maaf, kami menerima laporan kalau ada maling perhiasan sembunyi di rumah ini. Boleh kami masuk ke dalam untuk memeriksa?Tita mendelik. "Gak mungkin Pak. Nggak ada pencuri masuk sini.""Kami membawa surat penggeledahan, jadi kami harus masuk," tukas salah seorang polwan yang ada di belakang polisi itu.Polisi dan kedua polwan itu merengsek masuk ke dalam rumah Rima. Sementara itu Tita berlari mendahului dan sampai di ruang makan."Bu, ada polisi datang. Katanya mau memeriksa rumah ini!" lapor Tita sambil berlari ke belakang ibu dan Eva."Selamat pagi, kami dari kepolisian. Hendak memeriksa rumah ini berdasarkan laporan Ibu Rima," kata salah seorang polisi berbadan tegap."Hah, Rima?""Nggak mungkinkan?"Suara-suara keluarga Slamet berdengungan memenuhi ruang makan."Iya, saya yang menelepon polisi. Karena saya punya buktinya," kata Rima tegas."Tega kamu!" sentak mertuanya."Masak saya tega? Lebih tega mana antara orang yang melaporkan pencuri pada polisi dengan orang yang mencuri di
"Jadi, kamu membalaskan dendam Yana pada keluarga Slamet, Nak?" tanya bapak Yana pada Rima, tak percaya."Rima mengangguk mantap."Astaga, Bapak tadinya sudah pasrah dengan kejadian rahimnya Yana, walaupun bapak tidak terima, tapi bapak tidak tahu harus bagaimana.""Bapak telah menyelamatkan nyawa dan harta saya dari begal saat saya pulang dari pabrik, mana mungkin saya melupakan jasa bapak?" tanya Rima retoris."Tapi saya tidak meminta mbak Rima untuk mengorbankan hidup Mbak demi saya," jawab Yana lirih."Tidak apa-apa. Saya cuma ikut sakit hati sekali atas apa yang mereka lakukan padamu sampai kamu kehilangan harta yang paling berharga bagi perempuan."Yana dan keluarganya memandangi Rima dengan perasaan campur aduk."Terus, nanti kalau mbak ternyata hamil anaknya mas Slamet, gimana?" tanya Yana hati-hati."Nggak mungkin Yan. Aku pakai alat kontrasepsi selama ini. Lain halnya saat aku menikah dengan suami yang pertama dulu. Dia impot*n. Jadi aku tidak bisa hamil. Tapi nggak apa-apa
"Saya terima nikah dan kawinnya Yusriyana binti Suparman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan salah satu cabang resto dibayar tunai.""Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu pada para tamu yang hadir di rumah Yana."SAH!!""Alhamdulillah, barakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir."Yana lalu menyalami Bagas dengan takzim lalu Bagas memegang kepala Yana dan meniup ubun-ubun Yana seraya melantunkan doa :“Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.”Artinya: ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.Yana memejamkan mata saat Bagas meniup ubun-ubun dan mencium keningnya."Yuk, salaman dulu sama para tamu," kata Bagas lembut.Yana mengangguk. Keduanya lalu menyalami satu persatu tamu di ruang depan rumah Yana.
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani
Yana terdiam sambil meraih keripik pare lalu mencicipi nya. "Baik, ada dua hal yang harus saya sampaikan. Kabar bagus dan kabar buruk."Ani mendelik dan menatap wajah Yana dengan tegang. "Itu keripik homemade. Jadi tanpa bahan pengawet, Bu. Aman insyallah."Yana mengangguk. "Iya saya tahu. Makanya saya ingin menyampaikan kabar baik dan kabar buruk. Mana yang ingin kamu dengar dulu?""Kabar buruk dulu saja, Bu."Yana menghela nafas. "Secara pengemasan masih kurang rapi dan karena bahan alami, maka kamu perlu alat peniris minyak atau spinner agar keripik kamu tidak tengik alias bisa awet dalam waktu lama."Ani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu kabar baiknya apa, Bu?""Rasanya enak, renyah, bumbunya pas. Saya suka dan saya setuju kalau mengadakan konsinyasi dengan kamu."Mata Ani berbinar. "Benarkah? Benar. Tapi dengan syarat kamu benahi kemasannya dan belilah spinner dulu untuk meniriskan minyak. Kalau kamu perlu modal, bilang saja. Bayar setiap bulan tanpa bunga."Ani menggeleng
Slamet tercengang dan memandangi Ani yang merentangkan kedua tangannya menghadang lelaki itu. "Menyingkirlah kamu! Kamu itu tidak penting bagi saya! Kamu tidak usah kepo dengan urusan pribadi rumah tangga saya!""Tidak! Saya tidak akan pernah mengijinkan Bapak untuk membuat Bu Yana sedih lagi!"Ani merengsek maju dan merebut Fajar dari tangan Slamet. Tubuh Ani yang tinggi besar dan gempal membuat posisinya dan Slamet seri.Sementara itu Yana bergegas berteriak di depan gerbang rumah nya menarik perhatian seluruh tetangga."Tolong! Tolong saya! Fajar hendak dibawa bapaknya!" seru Yana. Beberapa tetangga menghambur masuk ke dalam rumah. Beberapa orang pria langsung memegangi tangan Slamet. Slamet mendelik saat melihat anaknya yang tengah menangis berhasil berpindah tangan pada Ani. "Sial*n kalian semua! Ini urusan pribadi rumah tangga kami. Apa salah kalau saya ingin membawa anak saya pulang ke rumah saya?" tanya Slamet sambil memandang semua orang yang berkumpul di halaman depan r
Ani menatap ke arah pengacaranya dengan ragu. Pengacaranya berdiri dan menganggukkan kepalanya lalu berjalan terlebih dahulu ke dalam ruang sidang.Pengacaranya dengan langkah pasti menuju ke salah satu tempat duduk lalu Ani mengikuti. Tangan Ani berkeringat dingin dan memandang empat orang hakim dengan satu panitera di dalam ruangan sidang. Pengadilan itu menatap Ani. "Sudahlah, Bu. Jangan cerai saja. Kembali saja pada suami dan kasihan anak," tukas salah seorang dari hakim yang duduk di tengah. Ani menatap ke arah hakim dengan wajah serius lalu menjawab seperti yang diajarkan oleh pengacara Yana. "Maaf, Pak Hakim. Saya tidak kuat dengan temperamennya yang kasar dan tidak memberikan nafkah selama beberapa tahun pernikahan kami. Bahkan dia sering menyiksa saya dan anak saya. Saya sungguh tidak kuat hidup dengan suami seperti itu," tukas Ani dengan mantap. Hakim melihat berkas lembar yang telah ada di mejanya dengan teliti. Lalu memandang ke arah pengacara yang duduk di sebelah An