"Astaga, kenapa istrimu bisa kemari, Pak? Bapak menjebak saya? Bapak mau saya digerebek dan dilaporkan ke polisi? Tega bener Bapak!" seru Tita dengan mata berkaca-kaca."Aku belum gila, Tita! Aku tidak memanggilnya kesini. Entah kenapa mendadak istriku kemari."Pak Suryo pun terlihat panik. Sedangkan Tita segera membetulkan bajunya yang masih amburadul. Ketukan di pintu berubah menjadi gedoran. "Mas! Kamu ngapain sih di dalam? Ada siapa? Kamu mencurigakan sekali! Buka pintunya, Mas!"Suryo memandang Tita yang juga memucat. Bayangan Tita tentang dia yang diseret dan dijambak tergambar jelas dalam kepalanya. "Pak, saya harus bagaimana?"Suryo berpikir cepat. "Kamu harus keluar lewat jendela. Sekarang!"Suryo membuka jendela di ruangannya. Jendela kaca besar dengan bingkai kayu. Jendela itu tanpa teralis. Tita mendelik. "Apa Bapak tega menyuruh saya untuk melalui jendela ini? Kenapa saya jadi seperti kucing?" protes Tita. "Woy, Mas Suryo! Kalau kamu tidak mau membukakan pintu, akan k
"Bagas, persiapkan dirimu untuk bertemu dengan pelakor cantik seperti aku!"Tita masuk ke dalam restoran Bagas lalu mengamati ruangan. Restoran Bagas cukup besar, namun didekorasi sederhana, sehingga warga menengah ke bawah bisa makan tanpa rasa malu dan warga menengah ke atas bisa datang tanpa rasa risih. "Permisi, silakan ini daftar menunya," sapa seorang pramusaji dengan ramah seraya menyodorkan kertas menu. Tita tersenyum sekilas dan mulai membaca satu per satu menu yang ada. "Mbak, apa pemilik restoran ini bernama Pak Bagas?" pancing Tita. "Iya Mbak, ada apa?""Oh, enggak apa-apa. Sepertinya saya kenal."Tita terus menatap lembar menu tersebut dan menuliskan menu yang diinginkannya. Lelah bercinta, membuatnya ingin melahap banyak makanan."Baiklah, ini menu yang saya pesan." Tita menyerahkan kertas menu yang telah bertuliskan pesanannya pada pramusaji. Pramusaji itu tersenyum dan pamit meninggalkan Tita. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sedang di
Tita menoleh dan tangannya mulai basah serta gemetaran mendengar kata-kata Bagas. "Kenapa kamu diam saja, Bu? Kalau hal ini adalah fitnah, saya tidak akan tinggal diam lo. Restoran saya ini merupakan peninggalan almarhum Ayah saya. Jadi saya tidak akan membiarkan ada orang yang merusak nama baik restoran ini!" tukas Bagas tegas. 'Baiklah. Kita coba cara ini. Siapa tahu bisa mendapat nomor telepon Bagas,' bisik hati Tita. "Saya memilih untuk melihat CCTV saja," sahut Tita tegas. "Baiklah. Saya minta satu orang karyawan saya dan satu orang pengunjung lain secara sukarela ikut ke ruangan saya sebagai saksi. Bagaimana? Siapa yang mau?"Beberapa pengunjung yang benar-benar penasaran akhirnya mengangkat tangannya dan menawarkan diri untuk menjadi saksi cctv. Akhirnya Bagas mempersilahkan Tita untuk memilih saksi diantara para pengunjung restoran. Akhirnya lima orang menuju ke ruangan Bagas dan mulai menyaksikan cctv yang menayangkan bagian ruang makan untuk para pengunjung.Dan sepert
"Astaga!" sahut Eva dan Slamet berbarengan. "Kamu kok mau digrepe-grepe sama pak Suryo? Nanti dilabrak istrinya loh! Istrinya galak, Tit!""Iya nih mbak Tita, kenapa sih kok mau-maunya sama pak Suryo. Udah bau tanah tuh!" timpal Slamet. Tita mendelik dan berkacak pinggang mendengar perkataan kedua saudaranya. "Kalian ya? Tidak pernah mendukungku?! Apa kalian tahu susahnya merayu pak Suryo agar menghapus bunga 30%?"Slamet dan Eva berpandangan. Wajah mereka mendadak bersinar. "Jadi Mbak bisa menghapus bunganya?"Tita dengan bangga membusungkan dan menepuk dadanya. "Tentu saja! Bukan Tita namanya kalau gagal membuat si tua Suryo bertekuk lutut!" tukas Tita dengan hidung kembang kempis. "Wah, kalau gitu aku salut banget, Dek! Lanjutkan deh. Trus kalau kamu jadi sugar baby-nya pak Suryo berarti kamu dibayar dong?!" tanya Eva dengan rasa iri. "Iyalah. Mana mau aku ditiduri gratis sama dia! Nggak lah, eman-eman bodi seksi aku."Eva manggut-manggut. "Kamu berarti enggak usah ke pasar l
"Ini kan baju mas Bagas, Mbok? Bagaimana mungkin ada bekas lipstik di sini?" tanya Yana heran. Dia merasa bahwa itu bukan lipstik nya. Karena dia tidak pernah membeli lipstik warna merah marun. "Iya itu milik Pak Bagas. Saya sebenarnya sudah menemukan tanda lipstik itu beberapa hari yang lalu," tukas Mbok Nem lirih. "Tapi saya tidak merasa membeli lipstik warna merah tuh, Mbok. Ini lipstik milik siapa ya?" tanya Yana lirih. "Nah, itu dia masalahnya Bu. Beberapa hari yang lalu saat saya lihat bekas-bekas lipstik ini di tempat cuci baju, awalnya saya kira itu bekas lipstik Ibu. Karena kan saya tahu Ibu dan Pak Bagas sangat mesra. Tapi lama-kelamaan saya menemukan hal yang aneh.""Hal yang aneh seperti apa Mbok? Apa mbok pernah tahu mas Bagas selingkuh?" tanya Yana dengan hati berdebar. Dia sungguh tidak siap kalau menerima kenyataan bahwa Bagas telah bermain api di belakangnya. "Saya seperti nya menemukan siapa yang melakukan hal ini."Yana mengerutkan keningnya. "Siapa, Mbok?" ta
Yana lalu mengganti bajunya dan sengaja memakai make up tipis dan fresh. Setelah berulangkali mematut diri di depan cermin, akhirnya Yana keluar dari dalam kamarnya. Mata Bagas membelalak saat tahu Yana begitu cantik dan membuat pangling. "Sayang, kamu tahu bedanya kamu dengan ayam goreng nggak?" tanya Bagas seraya menatap istrinya tanpa berkedip. Yana menyinggung kan senyum pada sang suami. "Nggak tahu. Emang apa bedanya aku dan ayam goreng, Mas?" tanya Yana dengan manja. Dia merengkuh dan menggelendot manja di lengan sang suami, membuat Mama Bagas berdehem. "Cie, yang lagi jatuh cinta. Dunia milik berdua ya? Yang lain pasti ngontrak!" seru Mama Bagas. Tapi tak urung juga Mama Bagas merasa bahagia karena anaknya bisa tersenyum kembali setelah kehilangan mantan istrinya pasca melahirkan anak kembarnya. "Wah, ada Mama juga. Ada Ani dan mbok Nem. Bikin aku malu saja."Bagas menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal. "Jadi apa tadi bedanya ayam goreng dengan Yana, Bagas?" tanya Ma
Yana memasuki toko cctv dengan perasaan takjub. Berbagai jenis dan ukuran cctv telah tersedia di dalam toko tersebut. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya salah seorang pramuniaga toko ramah. Yana tersenyum dan melihat ke seluruh penjuru toko. "Saya mencari cctv simpel yang bisa terhubung dengan ponsel secara langsung ada nggak? Sekalian cctv berbentuk mungil atau barang yang tidak akan mencurigakan jika diberikan pada orang lain.""Wah, ada banyak Bu. Mari ikut saya. Ada cctv bentuk pena, lampu, bentuk kancing, bentuk mata boneka untuk gantungan kunci, cctv biasa. Terserah Ibu ingin memilih yang mana?" Yana mengikuti langkah pramuniaga itu dan memasuki toko lebih jauh lagi. Setelah puas bertanya, akhirnya Yana memilih tiga cctv berbentuk lampu dan dua cctv berbentuk mata yang terpasang pada boneka ikan kecil yang lucu. Setelah membayar, Yana pun segera pulang dan memasang semua cctvnya. Satu lampu dipasang di ruang cuci. Satu lampu di teras, dan satu lampu di kamar
Yana menghela nafas panjang dan menahan diri untuk segera melabrak Ani. Bagaimana pun Ani sudah berjasa untuk merawat anak-anaknya. Yana melirik jam yang menempel di tembok kamar. "Masih jam tiga. Jadi hal itu yang sering dilakukan Ani saat semua orang sedang terlelap tidur?" bisik hati Yana tidak percaya. Dia terus memandang ke arah ponselnya. Tampak Ani kembali menciumi dan memeluk baju kotor Bagas dengan segenap perasaan. Hati Yana seperti teremas lagi. "Ya Allah, apa Ani kujadikan madu saja ya? Bukankah mas Bagas tidak bisa memiliki anak dengan ku?" bisik hati Yana bingung. "Tapi Ani juga masih punya suami di kampung. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa marah dengan kelakuan Ani? Apa karena aku merasa aku tidak sempurna dan tidak bisa memberikan mas Bagas anak sehingga aku cuma bisa pasrah saja?"Berbagai pikiran berkecamuk di dalam pikiran Yana. Tapi Ani juga tidak pernah terang-terangan menggoda Bagas. Dia hanya mencium dan memeluk baju Bagas. Yana termangu