209Seminggu berlalu sejak perkelahian itu, semua berjalan tidak seperti yang diharapkan Alexander dan Aira. Alister masih saja menutup diri dari semua. Ia tetap tidak mengizinkan siapa pun untuk berkunjung. Aira putus asa. Tak terhitung berapa kali ia mendatangi apartemen dan resto yang dikelolanya, dan semua berakhir sama. Alister belum datang untuk bekerja. Harapan untuk memperbaiki hubungan Raka dan Alister pun semakin menipis. Raka sendiri terlihat tidak peduli. Ia bahkan terlihat malas bila Aira mulai menyinggung perkara itu. Baginya, semua sudah terlanjur terjadi. Mungkin semua tidak akan bisa diperbaiki lagi. Termasuk pernikahannya. Semua terasa hambar. Cinta untuk Kirana yang dulu menggebu, kini pelan-pelan terkikis dan hanya menyisakan sebulir rasa yang bernama tanggung jawab. Tanggung jawab kepada Alexander bahwa ia akan menjaga wanita itu sampai kapan pun. Raka tidak akan menceraikan wanita itu, kecuali ia yang meminta. Lalu sejauh ini, wanita itu juga tidak pernah men
210Aira melepas pelukan setelah dirasa cukup melepas rindu dengan sang anak susu. Ia bahkan lupa untuk menanyakan Baby Angel saking senang bisa memeluk lagi Alister. “Apa kau mau memeriksakan dirimu juga?” tanya Aira seraya kembali menyentuh bekas jahitan di dagu Alister. Alister mengangguk sebelum menoleh ke arah babysitter yang menggendong Angel. “Mau menemui dokter anak juga. Angel demam.”“Angel demam?”Hening. Semua mata kini tertuju satu wajah yang barusan berseru sangat keras dengan raut khawatir. Bukan, bukan Aira yang barusan berseru keras. Melainkan ... Kirana. Semua mata menatapnya tajam. Tak terkecuali Alister. Rasa tak suka tergambar jelas di wajah lelaki itu. “Aku permisi, Ma. Aku sudah membuat janji dengan dokter.” Alister melepaskan tangan Aira di wajahnya, kemudian menoleh ke arah pengasuh, memberi kode agar segera masuk. Namun, tanpa diduga, dengan tidak tahu malu Kirana menghadang langkah Alister dan pengasuh Angel. Wajahnya yang bagi Alister sangat memuakka
211Alexander dan Aira maju dan memegangi Raka di kedua sisinya. Mereka kaget Raka mengucapkan kalimat itu bahkan di tempat umum seperti ini. Beberapa orang yang kebetulan lewat, berhenti untuk menonton mereka karena penasaran. “Kakak, apa yang kamu ucapkan?” Aira mendesis di dekat telinga Raka. “Ayo, kita pulang. Kita selesaikan di rumah!” timpal Alexander yang tidak nyaman menjadi tontonan. “Biarkan saja, Ma, Pa. Aku hanya memenuhi keinginan wanita itu yang ingin lepas dariku. Lebih cepat lebih baik, bukan?” Raka menatap tajam wajah Kirana yang juga menatapnya sendu. Air mata yang sempat kering, kini meleleh lagi di pipinya. “Kakak menceraikan aku?” tanyanya dengan suara bergetar. “Ya. Bukankah itu yang kau inginkan? Kau ingin lepas dariku agar bisa bersama dia, bukan?” Raka menunjuk wajah Alister yang juga shock mendengar kata talak Raka. “Silakan, sekarang kau sudah bebas. Kau bisa mengejar pujaan hatimu. Aku tak akan menghalangi!” lanjut Raka dengan perih. “Dan ... kau!” I
212Tak ada yang mampu menggambarkan kondisi hati Alister saat ini. Kalau saja Kirana tidak dalam keadaan kritis, mungkin ia sudah membunuh wanita itu. Dan bila saja tidak punya rasa malu, mungkin ia sudah menangis berguling-guling karena menyesalkan kondisi Angel yang belum ada kabar. Alister takut. Sangat takut. Belum sembuh luka karena kehilangan sang istri. Kini, apa ia juga harus kehilangan satu-satunya kenangan hidup bersama Vlo? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Ia akan gila kalau sampai hal itu terjadi. “Aaarghhhh...!” Alister berteriak tertahan seraya memukul dinding dengan kuat. Kalau tahu akan seperti ini, ia memilih tidak akan keluar rumah hari ini. Andai waktu bisa diputar kembali, ia akan menutup semua pintu kemungkinan wanita itu bisa mendekati anaknya. Angel masih ditangani dokter di dalam. Aira yang shock dan pingsan di tempat kejadian juga masih ditangani. Kabarnya hipertensinya kambuh. Lalu Kirana? Ia sudah tak peduli wanita itu. Semua karena wanita itu. Sungguh,
213Raka berjalan gontai menuju ruangan Aira. Sang ibu sudah dipindah ke ruang perawatan. Setidak penting apa pun di matanya, Raka sangat mengkhawatirkan sang ibu. Ia membuka pintu ruangan luas dan nyaman itu. Pemandangan mengiris hati langsung tertangkap netranya. Aira berbaring lemah dengan selang infus dan selang oksigen tersambung ke tubuhnya. Napasnya terlihat sesak dan berat, tetapi ia memaksakan bicara dengan Alister yang duduk di kursi sebelah brangkarnya. Raka menoleh ke arah samping, di mana seorang laki-laki dan perempuan berlari menghampiri dirinya. Dan langsung memeluknya di kanan-kini. Ternyata Sandra dan Aldo sudah berada di sana. “Abang, sabar, ya.” Ucapan Sandra terdengar parau. Wajahnya menyusup di dadanya. “Abang kuat!” Kini giliran Aldo yang bicara. Sungguh, bagai mendapat oase di padang pasir, hati Raka sejuk mendengarnya. Walaupun hanya kalimat sederhana yang mereka ucapkan, itu sangat berarti baginya. Raka merasa masih punya keluarga yang memberinya dukungan
214Raka menarik napas panjang sebelum melangkah mendekati Kirana. Wanita yang wajah dan kepalanya penuh balutan kain kasa. Prihatin. Itu yang Raka rasakan melihat keadaan wanita yang beberapa saat lalu baru saja ia ceraikan. Kondisi Kirana sangat mengkhawatirkan. Kepala penuh balutan perban. Sebelah kakinya patah. Begitu juga tangannya. Wanita itu berbaring tanpa bisa bergerak. Hanya bola matanya yang mengikuti arah gerakkan tubuh Raka yang ingin duduk di sampingnya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Raka datar. Mencoba menekan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Ia kasihan, tidak tega melihat keadaan wanita yang sejatinya masih ia cintai tergolek lemah. Hanya saja, semua karena ulahnya sendiri. Raka sudah meyakinkan dirinya sebelum masuk tadi, agar ia tak luluh karena rasa kasihan. Bukankah kekecewaan yang ditorehkan wanita itu sangat besar? Bahkan, kini di antara mereka sudah tak ada ikatan apa pun selain status suami istri secara hukum negara. Secara agama mereka sudah
215Raka berdiri menunduk di depan gundukan tanah merah bertabur bunga. Mengamini doa yang sedang dilantunkan seorang ustaz dengan khidmat, sebagai rangkaian prosesi pemakaman Kirana. Di sampingnya, berdiri Alexander yang wajahnya sangat kusut. Tidak banyak yang menghadiri pemakaman ini. Hanya beberapa teman dan karyawan kantor yang mengenal Kirana. Terlebih ia tak punya kerabat di sini. Bahkan keluarga inti pun, hanya Alexander, Raka, dan Aldo yang mengantar. Sandra menunggui Aira yang kesehatannya masih buruk. Alister masih mengurus Baby Angel yang terluka dan trauma. Sebagai keluarga yang merasa bertanggung jawab, walaupun Kirana sudah menorehkan luka dan kekecewaan sangat dalam, Alexander dan Raka tetap melaksanakan penguburan dengan semestinya. Bukankah secara negara Kirana meninggal dalam status masih istri Raka? Miris memang, dalam kurun waktu beberapa bulan, keluarga Alexander mengantar kepergian orang-orang terdekat. Rena, Vlora dan kini Kirana. Kirana sendiri dimakamkan
216Alister membuka pintu apartemen setelah menggesek kartu akses dan menekan beberapa nomor. Kemudian menepi untuk mempersilahkan tamunya masuk lebih dulu. Tamu yang sebenarnya bukan tamu, karena apartemen tersebut milik Mr. Willis. Saat gadis muda yang diperkenalkan Mr. Willis sebagai Eva Quiana lewat di depannya, seperti biasa gadis itu mengangkat dagunya dengan angkuh. Alister hanya mengembus napas pelan seraya tersenyum samar. Entah kenapa gadis itu selalu bersikap seperti itu, padahal ini pertemuan pertama mereka. Sebagai kerabat Mr. Willis harusnya mereka saling menyapa dengan sopan di pertemuan pertama. Kedua mertua Alister langsung beramah-tamah dengan Aira yang sudah menunggu sejak tadi sambil menggendong Baby Angel. Angel menangis saat istri Mr. Willis ingin menggendongnya. Mungkin ia lupa dengan neneknya itu. Padahal, mereka baru berpisah sekitar dua bulan. Padahal pula mereka sering video call. Sejak kejadian dengan Kirana tempo hari, Angel jadi trauma dan sulit dekat
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber