Pandangan Sandra terpaku saat melihat punggung pria pujaannya sedang menggendong seseorang. Namun sayangnya, ia tidak melihat wajah sosok itu. Satu keyakinannya, sosok itu adalah perempuan.
Dengan rasa penasaran Sandra melangkah lebih cepat, namun sebelum lebih dalam, Hans memberi instruksi. "Antar dia ke ruang kerjaku, Liam!" titah Hans. Dengan sigap Liam langsung berdiri di depan Sandra dengan tatapan tajam, "Ayo ikut saya, Sandra!" Sandra terpaku seketika, kemudian memutar bola matanya malas, "Pak Liam, saya mau ketemu Pak Hans!" "Hm, saya juga tau. Tapi Pak Hans mau bertemu kamu di ruang kerjanya. Apa ada yang salah?" Jika sudah berhadapan dengan Liam, Sandra seolah tak dapat berkutik. Ia selalu kalah satu langkah dari asisten itu. "Huh, sial!" umpat Sandra dalam hati. "Padahal kurang sedikit saja aku lihat wajah istrinya. Nggak mungkin kan itu bukan istrinya? Masak iya, pria"Nggak perlu tahu siapa aku," jawab Risma yang mendengarkan percakapan tadi di ruang kerja. Risma sengaja mengambil alih tugas Anti yang seharusnya mengantarkan minuman tadi. "Aku bisa membantumu kalau kamu mau?" imbuhnya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Sandra menarik sudut bibirnya. "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk membantuku, hah?""Semuanya ... Aku tau apapun dalam rumah ini."Namun, sepertinya Sandra tidak mudah terbujuk oleh ucapan Risma. "Huh, atau kamu juga mempunyai masalah yang sama sehingga kamu bekerja sama denganku? Kalau memang begitu, maaf, aku tidak mau bekerja sama dengan musuhku ...!"Ucapan Sandra membuat Risma mati kutu. Benar apa yang dikatakan Sandra, ibarat bumerang tawarannya justru berbalik padanya kembali."Benarkan, apa yang aku katakan?" cibir Sandra, "ah sudahlah, percuma kamu menawarkan hal yang kamu sendiri juga menginginkan."Sandra langsung meninggalkan Risma begitu saja. Ia la
Kebencian Risma tak sampai di situ, ia semakin murka saat melihat Hans membenahi rambut Ashley yang terurai."Dih, jelas aja Pak Hans bisa deket kayak gitu. Ternyata Ashley yang suka mancing-mancing!"Hans memegangi anak rambut Ashley yang terurai, agar tidak menganggu proses laktasi itu. Hatinya terasa damai, karena sang anak tidak menderita kelainan kulit lagi.Di halaman itu memang tidak ada siapapun di sana, sehingga memudahkan Haneul langsung mendapat asupan makanan."Pelan-pelan, sayang." Haneul sangat kuat saat menyerap asupan makanan dari pabriknya, hingga Ashley sedikit meringis. "Argh ..."Mendengar kesakitan Ashley, Hans membungkukkan badan, kedua wajah saling sejajar, "Kenapa, Ash? Ada yang sakit?"Ashley memejamkan mata sejenak. Entah, bagaimana caranya dia menerangkan pada pria itu. Kemudian ia mengangguk lirih."Apa Haneul menggigitnya?" Pertanyaan Hans rasanya ingin membuat Ashley tertawa, namun
Teriakan riuh suara ibu-ibu sosialita yang sedang berbincang, tertawa, dan memamerkan barang-barang berharga mereka, terdengar di Restoran mewah, sekaligus juga berfungsi sebagai tempat olahraga golf. Gedung mewah itu menjadi tempat favorit wanita yang tampaknya tidak kekurangan apapun. Sedang berbicara tentang perhiasan terbaru, koleksi tas desainer, dan liburan ke luar negeri yang eksklusif. "Hallo, Jeng Riana. Apa kabar?" sapa salah satu wanita istri dari pengusaha tambang. Riana menyeka peluh di dahi, mencoba untuk terlihat santai meski sebenarnya ia merasa canggung. Ia tahu betul bahwa kehadirannya di sini karena ia tidak mau diremehkan. "Hai, Jeng Isti." Riana menyambutnya dengan pelukan ringan dengan ciuman di pipi agar terlihat dekat. "Maaf ya, aku sedikit terlambat. Biasalah urusan anak-anak sama suami di rumah," kekeh Isti sambil menarik bangku. Di meja yang penuh dengan wanita yang mengenakan pakaian bermerk dan memamerkan kekayaan mereka, Riana mengenakan gaun
Reaksi Riana begitu tercengang saat mendengar ide buruk dari Nina. Tenggorokannya terasa tercekat. Namun, dengan cepat wanita itu memberi alasan."Ah, itu gampang, Jeng Nina. Nanti kita adakan acara beginian bareng sama pesta pernikahan Sandra. Jadinya kan kita lebih leluasa. Hehehe ..." Riana mencoba mengelabui para wanita di sana."Iya, bener kata Jeng Riana. Nanti kita bisa bikin acara lebih ramai di pesta itu kan ya?" sahut Maya."Hmm, ya oke lah. Kalau begitu, pertemuan ini ditraktir dulu sama kamu kan, Jeng?" Nina kembali membuat masalah.Riana yang tidak ingin kehilangan muka pun terpaksa mengangguk, "Ohh, gak masalah kalau ini. Ya udah biar semua aku yang bayar.""Eh, jangan, Jeng. Biar saya bara sendiri saja," ucap Sari."Nggak papa, Jeng Sari. Ini palingan juga gak seberapa habisnya," kekeh Riana terombang-ambing dalam kegalauan."Wah, kalau begitu makasih lho, Jeng, sudah dibayarin semua."Mau tak mau
Tatapan Risma langsung berubah senang, dalam hatinya bersorak riang. Ia bergegas menyusul langkah sosok pria yang hampir masuk ke outlet ponsel di salah satu toko dalam mall tersebut. "Maaf, Mas Doni," sapa Risma yang kini sudah ada di belakang pria itu. Mendengar namanya disebut, Doni sontak berbalik badan sambil mengerutkan kening, "Ya, kamu siapa?" "Ehm, ... Kenalin aku Risma. Mas Doni masih ingat aku?" Lagi, Doni mengerutkan dahi. Ia semakin tidak tau arah pembicaraan wanita di hadapannya sekarang. Tentu saja Doni tidak akan mengingat banyaknya orang yang ia temui dalam otaknya. Tentunya hanya orang-orang spesial dan berkesan yang akan terpatri di dalam pikirannya. "Ada yang bisa aku bantu?" "Begini, Mas. Mas kenal dengan Ashley kan?" Doni memiringkan wajah, "Ashley yang mana? Nama Ashley kan banyak." "Itu loh, waktu ada kejadian kereta bayi. Mas ka
Setelah selesai dengan pekerjaan di Mall, kini Doni sudah ada di halaman depan rumahnya. Baru saja menstandarkan motor lalu melepas helm, suara teriakan Sandra begitu memekakkan telinganya hingga terdengar keluar rumah.Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah melihat Sandra yang sedang murka pada sang ibu."Mama kan cuma pakai sedikit, San. Cuma 10 juta doang kok," kata Riana tanpa rasa bersalah.Mendengar ucapan sang ibu yang tidak masuk akal, membuat Sandra terkejut hingga kedua mata membelalak. Ia berdiri berkacak pinggang dihadapan sang ibu yang duduk di sofa tamu."Apa, Ma? 10 juta doang? Jadi Mama habiskan 10 juta buat ntraktir ibu-ibu sosialita?!" pekiknya semakin murka."Ya iya Sand, lagian mereka semua pada pamerin perhiasan, tas, dan liburan ke luar negeri. Jadi ya mama traktir aja mereka semua biar diem. Biar gak ngremehin mama." Riana tertunduk dengan meremas jari-jarinya."Ma, 10 juta itu bukan uang sedikit buat
Di rumah mewah milik Hans. Setiap hari, Ashley semakin terikat dengan bayi itu, merawatnya dengan penuh kasih sayang. Sejak tadi, Ashley tampak sibuk karena hari ini adalah jadwal imunisasi Baby Neul. Ia kini bersiap untuk pergi ke rumah sakit dengan sang bayi yang sudah terlihat tampan dengan wajah menggemaskan. "Neul sudah siap ya pergi sama Ibu. Kita jalan-jalan ya, Sayang." Ashley mengajak berbicara sang bayi. Tiba-tiba, ... pintu kamar terbuka. "Apa semua sudah siap, Ash?" tanya kepala pelayan membuka pintu kamar bayi. "Mobilnya sudah menunggu." "Ah, ya, Bu Winda, sebentar lagi kami turun," seru Ashley tanpa menoleh. Setelah menyampaikannya, Winda kemudian menutup pintu kamar dan turun ke bawah. Kepala pelayan tersebut lebih mengurus pekerjaan dapur. Risma juga sudah menyiapkan beberapa keperluan Baby Neul dalam tas kecil bayi. Seperti buku kesehatan anak, pampers dan satu setel baju untuk mengatasi ketika sang anak muntah atau kotor. "Ash, aku tunggu di bawah ya?
Mendengar candaan Bram membuat Hans mendelik kesal. Pernyataan Bram memanglah tidak salah, tapi Hans tidak suka mendengarnya.Entah, mengapa Hans merasa tidak suka saat Bram menatap Ashley secara detail. "Diam! Jangan coba-coba mendekatinya Bram, atau kucongkel kedua matamu!" desisnya.Bram yang mendengar ancaman Hans bukannya takut, tapi justru tersenyum simpul. Reaksi yang diberikan sahabatnya itu sungguh di luar kebiasaannya."Kenapa? Memang dia lebih cantik kan?" Bram mengatakan penuh penekanan, kemudian memicing heran, "Atau jangan-jangan ..."Hans melirik sebal, kemudian membuang pandangan. "Sudah, kami jalan dulu!"Pria itu langsung menarik tangan Ashley meninggalkan Bram yang masih terpaku.Ashley pun mengerutkan kening, merasa aneh dengan tingkah sang majikan yang seperti anak kecil tidak mendapatkan mainannya. Bram melihat keduanya pergi hingga menghilang tepat di tikungan. Sang dokter tersenyum geli mel
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Hans. Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mereka sendiri. Naomi dan Candra tampak enggan melepas mereka, tetapi Ashley dengan lembut meyakinkan bahwa Hans harus kembali bekerja.Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu. Sementara Naomi dan Candra duduk di sofa, terlihat enggan melepas mereka."Kalian yakin sudah harus pulang? Tinggallah beberapa hari lagi di sini. Kami masih ingin bersama Baby Neul." Naomi membuka pembicaraan lebih dulu.Hans dan Ashley bergeming, mencoba memahami keadBaby Neul tertidur nyenyak dalam dekapan Naomi, yang masih enggan melepas cucu kesayangannya. Sang Oma mengelus lembut pipi Baby Neul. "Kenapa harus pulang secepat ini? Kalian kan bisa tinggal beberapa hari lagi. Oma masih belum puas bermain dengan Baby Neul."Candra mengangguk setuju "Iya, rumah ini jadi lebih ramai sejak kalian
Doni berlari dan langsung berlutut di samping Sandra yang tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati, Doni meraih tangan Sandra dan membuka genggaman Sandra perlahan, menyingkirkan pecahan kaca sebelum akhirnya mengangkat tubuh adiknya ke dalam gendongannya.Napas Doni memburu. Tubuh Sandra yang basah kuyup terasa dingin di dekapannya."Mama, ayo!" serunya.Riana bergegas mengikuti Doni dari belakang, air mata terus mengalir di pipi Riana saat melihat kondisi putrinya.Begitu keluar rumah, Doni buru-buru membuka pintu mobil dan membaringkan Sandra di kursi belakang."Ma, pegangin dia," kata Doni sambil masuk ke kursi kemudi.Riana segera masuk dan memangku kepala Sandra di pangkuannya.Doni menyalakan mesin mobil dan segera melaju ke rumah sakit. Jalanan yang mulai lengang membuatnya bisa memacu mobil lebih cepat.Tangan Doni mencengkeram kemudi erat. Napasnya tersengal, matanya terus melirik ke kaca spion
Sandra terbangun dengan kepala yang Mata Sandra membelalak. Napasnya tercekat.Pikiran Sandra langsung melayang ke kejadian semalam. Tangan-tangan kasar itu memperlakukannya dengan brutal—menarik, mencengkeram, dan merenggut harga dirinya tanpa ampun, seolah ia bukan manusia. Semua itu terjadi diiringi desahan dan tawa menjijikkan.Suara mereka masih terngiang di telinga Sandra. Mereka mengolok-olok, menyebutnya murahan, lalu tertawa puas sambil mengatakan betapa mereka menikmati saat Sandra memohon, menangis, meronta sekuat tenaga, dan berteriak ketakutan."Tidaaaak!"Sandra menjerit histeris, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia ingin menyangkal apa yang terjadi, tapi rasa sakit di tubuhnya berkata lain. Ia merasa jijik. Marah dan hancur.Emosi yang membuncah membuatnya meraih gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding. "Bajingan!!!""Bangsat! Hendrik brengsek!!"Sandra bangkit dengan tubuh geme
Hans memang memberi waktu bagi Ashley untuk menyesuaikan diri sebagai istrinya. Ia tidak memaksanya untuk segera menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya. Baginya, sudah cukup jika Ashley tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Pria itu menatap Ashley dengan lembut, membiarkan keheningan di antara mereka sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang kamu inginkan dariku sebagai suamimu, Ash?" Terdiam sejenak, Ashley menatap Hans dengan sorot mata ragu. Mereka kini berbaring saling berhadapan. Kedua bola mata saling menyelami perasaan masing-masing. Begitu pula Hans, menatap teduh sang istri. Ashley tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengangkat wajah, menatap suaminya dengan ragu. "Aku ... aku bersyukur," katanya pelan. "Aku gak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua mertuaku sebelumnya, tapi di sini, aku merasakannya. Aku gak butuh apa-apa lagi." Hans menggeleng kecil, tersenyum hangat. "Bukan itu maksudku, sayang." Ia mendekat, menggenggam tangan Ashley dengan
Setelah acara pesta barbeque usai pada malam itu, Naomi langsung membawa Haneul ke kamarnya. Sementara Hans dan Candra masih berbincang di ruang keluarga. Perbincangan yang santai diselingi tawa dan canda dari anak mantu keluarga Lee.Baru kali pertama Ashley merasakan kehangatan di dalam lingkungan keluarga mertuanya, dan sambutan mereka yang begitu hangat."Ash, kamu jangan sungkan-sungkan kalau di rumah ini ya. Ini rumah masa kecil Hans, jadi kamu pun juga harus merasa nyaman di sini," kata Candra membuat suasana semakin hangat."Mmm, iya, Pi. Aku akan membiasakan diri," balas Ashley terdengar kaku.Pasangan muda itu duduk berdampingan di sofa, sementara Candra duduk tak jauh dari mereka. Setelah mendengar lagi ucapan sang menantu, Candra tersenyum tipis, "Ya ya ya, itu akan jadi lebih baik. Jadi, kapan kalian bulan madu?"Hans dan Ashley saling berpandangan. Ashley menundukkan wajah, tersipu malu, sementara Hans menggar
Entah mimpi apa Sandra hingga terjebak ke dalam permainan Hendrik yang sangat panas. Pria yang memiliki studio itu biasanya menghasilkan gambar-gambar para model untuk cover atau iklan tertentu.Namun, di balik semua itu, ternyata Hendrik memiliki bisnis kotor. Ia memproduksi film porno dengan korban yang ia ancam akan disebar video yang ia rekam.Plak!"Diam dan patuh, Sandra. Atau kamu tiba-tiba jadi artis viral!" bentak HendrikPipi Sandra seketika menjadi panas. Wajahnya langsung memerah marah. Detik itu juga sesuatu terasa keras masuk ke dalam intinya. Dirinya merasa terbelah. Sandra sontak mendongak. "Argh ...!"Hendrik mendorong kuat miliknya yang sudah mengeras dengan sekali hentakan. Sedikit sulit, dan sesuatu yang basah ia rasakan."Hmmm ... Ternyata kamu masih perawan juga ya?" desis Hendrik sambil menarik miliknya sedikit.Sekali lagi, ia hentakkan kuat hingga terdengar jeritan dari wanita yang ada di b
Hendrik mulai melumat bibir Sandra. Perlahan, bibirnya menjelajah leher jenjang Sandra. Sementara kedua tangannya bergerilya menjelajahi tubuh halus Sandra tanpa menghentikan aksinya menciumi leher Sandra. Bahkan pria itu meninggalkan tanda merah yang dalam di kulit putih Sandra.Tiba-tiba Hendrik menghentikan aksinya dan berdiri. Ia memperhatikan tubuh Sandra yang masih terkulai tak sadarkan diri. Sesaat, ia terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya."Gini gak seru," gumam Hendrik. "Kalau dia sadar, reaksinya pasti lebih menarik."Dua teman Hendrik, Riki dan Anton, saling pandang."Maksudnya gimana?" tanya Anton, pria bertubuh besar dengan perut buncit."Bangunin dulu," Hendrik melirik ke wastafel di sudut ruangan. "Ambilin air, Rik."Riki, pria berkepala plontos, mengangkat bahu sebelum akhirnya berjalan ke wastafel. Sementara itu, Anton melipat tangan di dada, wajahnya masih penuh keraguan."Terus kalau
Sandra yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri pun tengah digerayangi dua pria di sekelilingnya. Sementara Hendrik sedang menyiapkan kamera yang tepat dengan tempat yang akan dijadikan membuat video mereka. "Gimana bro, kita mulai sekarang aja, ntar keburu dia sadar?" tanya satu rekan Hendrik. Sementara satu pria lain pun menyahut, "Benar katanya. Kalau kita gak segera, mungkin kita akan gagal semuanya." "Oke, oke, tenang. Sebentar aku siapin lampu sorotnya." Setelah memastikan semuanya sempurna, Sandra yang sudah tak memakai sehelai pakaian pun tersorot kamera dengan sangat jelas. Bentuk tubuh setiap inci wanita itu terekspos melalui lensa kamera Hendrik. "Yuk, kita mulai," kata Hendrik yang mulai menyalakan lampu serta tombol power. Kamera menyala, merekam setiap detiknya tubuh wanita itu. Bagaimana pula Hendrik mendekatkan kamera itu merekam pada bagian tubuh Sandra yang paling inti. "Wow," gumam Hendrik sangat bergairah meskipun hanya melihat melalui lensa kame
Jika Hans dan Ashley dalam keharmonisan keluarga, berbeda dengan Sandra yang semakin terpuruk. Wanita itu benar-benar frustasi akibat tertampar oleh kenyataan yang begitu getir.Malam pun semakin larut, Sandra duduk di meja bar, menatap kosong ke gelas minumannya yang sudah hampir habis. Musik yang keras, lampu yang berkedip, dan keramaian di sekitarnya hanya membuatnya semakin merasa terasing.Dia seharusnya merasa bahagia, atau setidaknya merasa lebih baik setelah mencoba melupakan kenyataan yang pahit. Tapi kenyataan itu terus menghantuinya, seperti bayangan yang tak bisa hilang."Mengapa seolah takdir pun juga tidak memihakku ...?" gumamnya mengangkat gelas, meneguk habis isinya. Sesaat, rasa pahitnya menyeruak, mengingatkan pada betapa pahitnya kenyataan yang dia hadapi. Dia selalu bermimpi menikah dengan Hans, membangun keluarga kecil yang bahagia. Tapi kini, impian itu hancur berantakan."Sandra," bisik suara tiba-tiba dari s