Terbangun dari tidur dalam suasana yang baru rupanya cukup membuat semangat Ron kembali berkobar. Ia bahkan sempat lupa jika beberapa jam sebelumnya, mentalnya hancur lebur gara-gara Bela. Entah karena tidurnya cukup nyenyak, atau karena tidurnya kali ini ditemani oleh Harsha, Ron merasa perasaannya jauh lebih membaik. Sambil memandangi wajah cantik yang masih terpejam pulas di sebelahnya, senyuman di bibir Ron terulas semakin lebar. Tatapannya lantas beralih pada perut buncit yang sesekali bergerak karena tendangan di dalamnya. "Good morning, Baby," sapa Ron dengan suara lirih, khawatir membangunkan Harsha. "Papa semalam tidur di sini nemenin kamu, kamu seneng, kan?" Tangan Ron perlahan meraba perut Harsha dan mengusapnya lembut. Dan ketika tendangan kecil terasa di telapak tangannya, Ron kembali terkekeh sendiri seperti bocah. "Papa mau olahraga dulu, ya?! Kamu bobo lagi, gih!" pamitnya sebelum berakhir turun dari ranjang dan beringsut ke kamar mandi. Di luar, udara yang sejuk
"Aku tidak mau tahu, Vick. Kamu harus segera mencari detektif terbaik yang bisa menyelidiki siapa sebenarnya Mr. Simon ini." Ron menatap sang sekretaris --yang berdiri tegak di depan meja kerjanya, dengan serius. Setiba di kantor tadi, Ron meminta Vick masuk ke ruangannya untuk membicarakan permasalahan yang sedang ia hadapi. Napasnya yang memburu, juga tangan kanannya yang terkepal di atas meja, sudah cukup meyakinkan Vick bahwa Ron tak sedang main-main dengan perintahnya kali ini. "Aku meragukan pengakuan Bela yang menyatakan bahwa mereka tidak punya hubungan selain hanya pertemanan," sambung Ron Kyle dengan suara tercekat di kerongkongan, karena setiap kali memikirkan pengakuan Bela, hatinya mendadak nyeri. "Kamu bisa 'kan membantuku?" Kali ini tatapan Ron berubah sendu pada sang asisten."Baik, Pak. Saya akan mengerahkan seluruh kemampuan saya untuk membantu anda. Jangan khawatir." Vick mengangguk dengan tegas. "Good. Satu-satunya orang yang bisa aku percaya hanya kamu sekarang
Ini bukan pertama kalinya Harsha datang untuk sekedar kontrol kandungan, tapi malam ini terasa berbeda karena Harsha tak datang sendirian. Ada Ron Kyle yang menemaninya dan duduk di sebelahnya, membantu membawakan tas Harsha padahal beratnya tak seberapa. Sejak sepuluh menit yang lalu keduanya tiba, entah sudah berapa kali Harsha mendengar suaminya menghela napas panjang. Seakan ada beban berat yang sedang Ron pikul sendirian di bahunya, tetapi hanya bisa ia nikmati sendiri. "Ny. Harsha Luvena." Panggilan dari perawat untuk memasuki ruangan dokter lantas membuat Ron berdiri. Tangannya secara reflek membantu Harsha bangkit dari kursi dan menggandengnya menuju ruang praktik dokter. "Selamat malam!" sapa seorang dokter ketika Ron lebih dulu masuk sambil menuntun istrinya. Ron tersenyum kaku, terlebih setelah tahu bahwa dokter yang akan memeriksa istrinya adalah dokter yang tampan. Usianya mungkin beberapa tahun di atas Ron, dan auranya, damn! Sangat kebapakan dan suamiable. Dia
Diawal kehamilan dulu, Harsha menjalaninya dengan terpaksa dan sama sekali tak berharap lebih untuk kesehatan bayi yang ia kandung. Namun, seiring berjalan waktu, tepat setelah ia merasakan tendangan kecil itu untuk pertama kali, hatinya mulai berubah. Setiap harinya, Harsha selalu mengajak bayinya mengobrol seakan janin itu adalah makhluk dewasa yang mengerti apa yang sedang ia bahas. Pun, ia mulai sedikit posesif pada janin tak berdosa ini, berharap kelak bisa terus membersamainya tumbuh. "Jenis kelaminnya perempuan." "Perempuan!?" Harsha memekik dengan bahagia. "Benar. Selamat untuk anda berdua." Dokter Eka menyudahi kegiatannya memutar-mutar transducer itu diatas perut Harsha dan meminta suster Anis untuk membersihkan sisa gel itu. Tepat ketika dokter Eka berbalik menuju mejanya kembali, Harsha menoleh pada suaminya yang masih mengawasi layar monitor. Harsha hanya khawatir Ron tak suka memiliki anak perempuan sebagai anak pertamanya, entahlah. Di perjalanan pulang, Harsha yan
"Untuk apa kita ke rumah tuan besar?" Harsha merasakan tubuhnya mulai meremang ketika mobil yang dikendarai oleh Ron perlahan masuk dan parkir di halaman rumah vila. Perasaan Harsha mulai gundah, apalagi dia datang bersama Ron Kyle! Brigitta dan Alex pasti curiga bila melihat mereka datang berdua. "Ayo." Ron melepas seatbelt dan lebih dulu meloncat turun dari mobil tanpa memperhatikan mimik wajah istri mudanya yang mulai pias. Dengan santainya, Ron berjalan memutari kap mobil dan membukakan pintu untuk Harsha. "Untuk apa kita ke sini, Tuan?" tanya Harsha gugup ketika Ron sudah mengulurkan tangan untuk membantunya turun. "Nanti kamu akan tahu. Sekarang ayo kita temui orang tuaku dulu di dalam," bujuk Ron dengan senyuman manisnya. Tak ada pilihan lain bagi Harsha selain setuju dan mengikuti Ron yang lebih dulu masuk ke dalam rumah orang tuanya. Dengan langkah kaki perlahan, Harsha terus membuntuti suaminya hingga tampaklah Brigitta dari kejauhan. Entah sudah berapa doa yang Harsha
"Kamu serius?" Sekali lagi, Ron mencoba memastikan telinganya tidak salah mendengar. Dan, ketika Harsha menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyuman, saat itu juga Ron merasa ada sedikit nyeri yang menusuk di relung hatinya. "Kamu yakin dengan perkataanmu, Harsha?" Brigitta seakan paham luka itu dari tatapan putranya. "Kamu rela menyerahkan bayi yang kamu kandung susah payah selama sembilan bulan untuk diasuh oleh perempuan lain?" "Nyonya, kehadiran bayi ini sudah ditunggu selama bertahun-tahun oleh Tuan Ron dan nyonya Bela. Saya yakin nyonya Bela pasti akan memperlakukannya dengan baik, toh papanya akan selalu di samping bayi kami. Ya kan, Tuan?" "Tidak."Harsha mengernyit bingung. "Tidak?" ulangnya heran."Kamu akan tetap di sini bersama kami. Kita tidak akan bercerai, Harsha. Kita akan membesarkan bayi ini bersama-sama!" jelas Ron dalam sekali helaan napas. Usai mengutarakan isi hatinya itu, Ron lantas bangkit dan beringsut keluar dari ruangan kerja papinya. Suasana ha
"Bagaimana kabarmu, Devan?" Ron menelisik penampilan sahabat dari istrinya itu dengan teliti. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka bertemu dan bertikai malam itu, kini Devan terlihat semakin kurus dengan bola mata cekung ke dalam dan menghitam. "Baik." Devan menjawab singkat seraya membuang muka. Ia tahu jika Ron sedang mengamati perubahan di tubuhnya. "Bagaimana kabar Harsha? Apa dia baik-baik saja?" Ron sudah mengira jika Devan akan bertanya tentang Harsha, jadi ia tak begitu terkejut mendengar pertanyaan itu. "Baik. Harsha semakin chubby dan menggemaskan." Entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Ron Kyle. Selama beberapa detik, suasana kembali hening. Kebekuan yang terjadi diantara keduanya seolah masih menyisakan dendam atas perseteruan terakhir yang terjadi. "Aku kemari untuk berpamitan. Besok lusa aku akan ke Amerika untuk berobat." Feeling Ron tak keliru, Devan memang sedang tidak baik-baik saja. Pantas saja penampilannya tidak lagi setampan du
Di mana ada Harsha, disitu juga pasti ada Devan. Berteman sejak kanak-kanak hingga dewasa, telah mengikat batin keduanya sedemikian erat. Kedekatan yang bisa dibilang lebih dari sekedar sahabat itu, rupanya telah membuat Devan lupa diri. Dia menganggap Harsha adalah miliknya, tak boleh ada siapapun yang menganggu atau mengusik ketenangannya. Devan bahkan tak segan membantu apapun yang ia bisa lakukan meskipun terkadang terlalu berlebihan sebagai seorang sahabat. Sejak Harsha mengaku bila ia mencintai Ron Kyle, sejak itu pula Devan belajar untuk mundur perlahan dari kehidupan sahabatnya itu. Berat, sangat sulit, karena Devan telah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan Harsha setiap waktu. Namun, demi kebahagiaan perempuan yang ia sayangi melebihi apapun, Devan memutuskan mundur dan menjaga jarak. Hingga akhirnya, semesta ternyata masih belum puas memisahkan keduanya. Penyakit serius yang diderita oleh Devan, pada akhirnya akan membuatnya melupakan segalanya tentang Harsha, tentang