~ Happy Reading ~“Maha sudah berapa kali Papa bilang, tante Bening itu istri Om Glass. Tidak boleh bilang begitu lagi ya, Nak!”Pria bernama lengkap Lintang Gutama itu entah sudah berapa kali membujuk putranya yang beberapa minggu lagi berumur lima tahun. Bukan tanpa alasan Gama melakukan ini. Ia hampir saja terlibat adu jotos dengan Glassio, suami dari wanita bernama Bening yang ingin dijadikan ibu oleh Mahameru – putranya.“Mama itu bukan mainan Maha, tidak bisa diminta sembarangan,” imbuhnya.“Semua temanku punya mama, tapi kenapa aku tidak punya? Mereka selalu diantar dan dijemput mama sama papa, bahkan Olla juga dijemput mommy dan daddy-nya, tapi kenapa aku selalu tidak? Aku mau tante Bening, aku mau dia jadi mamaku!”Maha, bocah itu memalingkan badan dan bersedekap dada. Dia demam dan tidak mau sedikitpun makan dan minum. Pembantunya yang biasa mengurus hanya bisa diam melihat pemandangan itu dari dekat pintu kamar.“Maha, Papa tidak tahu dari mana diturunkannya sifat keras kep
“Masih tidak mau turun? Papa sudah terlambat pergi bekerja Maha,” ucap Gama ke putranya yang masih tak mau beranjak dari kursi penumpang.Sebagai seorang pria tak berpengalaman seperti Gama, mengurus anak seorang diri sampai sejauh ini bukanlah perkara mudah. Dia pernah frustrasi dan nyaris menyerah, tapi setiap kali perasaan itu muncul hati kecilnya selalu berkata, bahwa Maha hanya memiliki dirinya. Gama pun tak tega ke bocah yang kini sudah mulai banyak maunya itu.Maha diam bak patung, matanya terus menatap dashboard mobil tanpa mau menoleh ke arah pria yang mengajaknya bicara. Bukan pertama kali ini saja Maha malas-malasan pergi ke sekolah. Setiap kali keinginannya tidak dipenuhi, maka anak itu pasti akan merajuk dan hal ini membuat Gama tidak bisa melakukan apa-apa.“Maha, Tabebe tidak mungkin bisa menjadi ibumu, Nak. Jadi Papa tegaskan sekali lagi, Tabebe tidak akan jadi ibu Mahameru Gutama.Titik.”Mendengar ucapan sang papa Maha merasa sedih, bibirnya yang mengerucut sudah berg
“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.“Sab!”“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya. “Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, sete
“Apa asisten Anda baru lagi, Pak?”Pertanyaan bik Mun dijawab Gama dengan anggukan kepala. Pria yang baru saja pulang dan sedang duduk melepas sepatunya itu mengerutkan kening. Setelahnya Gama balas melempar pertanyaan ke bik Mun sambil meletakkan sepatu ke rak dan berjalan masuk. “Bukankah aku sudah memberitahu Bibi? aku sudah mengirim pesan.”“Kuota saya habis Pak. Belum beli.” Bik Mun tertawa aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Mendapati sang majikan bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, Bik Mun pun menceritakan bagaimana kondisi asistennya saat mengantar pulang Maha tadi. Bak pembawa acara gosip, wanita itu menjelaskan penampilan Sabrina yang begitu acak-acakan. Menurut cerita yang dia dapat dari Maha, gadis itu terlibat perkelahian dengan ibu dari teman sang putra yang tiba-tiba saja menarik rambut dan menamparnya. Bik Mun bahkan memperagakan beberapa adegan yang ceritanya dia dapat dari bocah itu.“Mereka sampai dipisah oleh dua satpam, dua guru dan
“Kamu rapi banget, apa mungkin kemarin kamu salah kostum dan dimarahi bosmu?”Mirna memindai penampilan putrinya pagi itu. Sabrina yang belum menceritakan peristiwa perkelahian akibat ulah anak sang atasan hanya bisa mencebik lalu duduk. Ia mengangkat piring dan langsung mengambil satu centong penuh nasi. Namun, Sabrina kaget karena Mirna malah menahan tangannya. Wanita yang melahirkannya itu mengambil alih centong nasi sambil geleng-geleng. Alih-alih menambah porsi nasi di piring Sabrina, Mirna malah mengembalikan separuh nasi itu lalu mengingatkan putrinya untuk diet.“Jaga penampilan kamu, kamu itu kerja di agensi model.”“Ya ‘kan cuma kerja Bu, bukannya aku modelnya.” Sabrina merajuk, dia pandangi nasi dipiringnya yang tinggal sedikit, tapi tak mengapa melihat telur dadar dia langsung mengambil dua. Terang saja Murni langsung memukul tangannya dengan centong nasi yang masih dipegang. “Iya tapi kamu setiap hari ketemu model, bosmu saja model, kamu mau kontrakmu nggak diperpanjang
“Aku punya ibu.”Beberapa menit yang lalu Maha kembali berdebat dengan Kenzo. Bocah yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja itu sudah berdiri berhadapan dan adu argumen. Maha bahkan sudah menampilkan wajah masam dengan mata menyipit. “Tidak punya, kamu itu cuma punya papa, jangan bohong!” Kenzo, teman sekelas yang paling menyebalkan untuk Maha. Entah kenapa mereka seperti musuh bebuyutan, padahal sama-sama bau kencur, tapi soal sombong menyombong sudah melebihi orang dewasa. Dua murid berseragam olahraga itu masih saja berdebat di ruang senam sekolah mereka, hingga Miss Farah - sang guru mendekat. Ada perintah dari atasannya untuk mengajak dua anak itu ke ruang kepala sekolah.“Maha, Kenzo kenapa sih kalian berdua itu tidak bisa rukun? Miss sampai bingung atau Miss yang salah ya? Tidak bisa mengajari kalian bagaimana cara berteman yang baik?” Miss Farah menggandeng Maha dan Kenzo di kiri dan kanan, sedangkan dua bocah itu berjalan sambil menunduk. Seolah sadar akan kesalahan
“Anak? Kamu punya anak?”Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.“Ap
“Kenapa kakak memakai baju seperti ini?”Sabrina yang hari itu datang ke kebun binatang mendapat keluhan dari putra atasannya. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tidak menyangka bahwa meski masih kecil, tapi sebagai anak seorang model, selera fashion Maha sangat tinggi, bahkan jauh di atasnya. Anak itu baru berkomentar bahwa dandanannya lebih mirip pekerja kantoran ketimbang ingin jalan-jalan.Sabrina mencebikkan bibir, dia berharap Gama yang sedang berada di kamar mandi segera datang untuk menyelamatkannya dari Maha yang menurutnya sedikit menyebalkan. Entah kenapa tiba-tiba saja bocah itu tidak seramah beberapa hari yang lalu saat memeluknya dan memanggilnya Mama. Pasti ada sesuatu, Sabrina curiga Gama mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangnya.“Harusnya kakak memakai kaos seperti aku dan yang lain.”Karena ucapan Maha, Sabrina pun melihat sekeliling. Matanya tertuju pada orang-orang yang memakai baju berwarna merah muda bertuliskan study wisata dengan logo sekolah internas
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut