“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”
Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.
Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.
“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.
“Sab!”
“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya.
“Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.
“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, setelah itu kamu bisa kembali ke PG Group mengembalikan mobil dan pulang,” ujar Gama panjang lebar.
“Ja-ja-jadi saya bisa pulang sebelum jam lima sore Pak?”
Sabrina sedikit terkejut dengan perkataan Gama, ini jelas sangat menguntungkan baginya. Jika bisa pulang lebih cepat dari pekerja yang lain, dia bisa membuka jasa les bela diri atau sekadar membantu bekerja di cucian mobil milik ibunya.
“Em … ya … begitu,” jawab Gama ragu-ragu. Sedetik kemudian dia kaget karena Sabrina menyambar kunci mobil dari tangannya dan langsung merubah posisi berdirinya dengan tagap bak polisi militer.
“Silahkan Pak! saya akan mengantar Anda dengan selamat sejahtera dan sentosa sampai ke gedung PG Group.” Sabrina memiringkan badan, tangan kanannya terulur seolah di depan Gama sudah tergelar karpet merah yang siap menjadi pijakan pria itu.
Tingkah Sabrina ini jelas mengundang tawa Gama. Pria yang terkenal baik dan berhati lembut itu pun tersenyum dan bahkan sengaja melangkah dengan tegap untuk membalas perlakuan sang asisten.
“Aku menyukaimu,” puji Gama. Dia jelas menyukai Sabrina karena perilaku yang sopan dan hormat dari gadis itu bukan yang lain.
“Terima kasih Pak, saya juga menyukai Anda,” jawab Sabrina dan hanya dibalas Gama dengan senyuman. Keduanya berjalan keluar dari gedung SIGN Agensi menuju tempat kerja kedua Gama.
_
_
Setibanya di PG group Sabrina bertemu dengan sekretaris Gama, seorang pria yang membuatnya tiba-tiba saja meleyot karena ketampanannya bak aktor korea bernama Cha Eun Woo. Sabrina pun tak bisa menyembunyikan rasa girangnya. Dari pada berpikir seperti sang ibu yang berharap dia akan berjodoh dengan Gama, lebih baik dia mendekati sekretaris pria itu. Namun, siapa sangka saat buka suara, Sabrina langsung bergidik ngeri. Kuduknya berdiri karena suara sekretaris Gama yang bernama Leo itu bak kucing terjepit pintu.
“Yah … lekong,” gumam Sabrina dalam hati. Ia pun nyengir sebelum duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.
Hanya Gama saja lah di perusahaan itu yang memiliki dua orang yang mengurus jadwal pekerjaannya seperti ini, selain kehidupan pribadinya yang memang lain dari pada yang lain, pekerjaan pria itu pun berbeda dari orang pada umumnya.
Sabrina juga diharuskan berkoordinasi dengan Leo yang kini sudah berdiri di depan mejanya dengan tangan memegang sebuah berkas.
“Ini jadwal yang sudah aku susun selama satu bulan untuk Pak Gama, kamu harus bisa menyesuaikannya. Ingat Sabsab! Pekerjaan Pak Gama sebagai model itu hanya sampingan, pekerjaan dia yang sebenarnya adalah di sini, di PG Group,” ucap Leo penuh penekanan.
Sabrina memilih mendengarkan saja saat Leo memerintahnya seperti itu, sebagai anak baru yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah mengikuti perintah senior, tapi bukan Sabrina namanya jika tidak bawel.
“Apa pekerjaanku menjemput anak Pak Gama juga bisa dikatakan sampingan? Atau tambahan? bukankah pekerjaan utamaku menjadi asisten? aku akan berbicara ke Pak Gama untuk membagi tugas kita menjemput anaknya, bagaimana?”
Leo menekuk bibir, pria gemulai itu langsung menggebrak meja dan menatap tajam Sabrina yang sudah memundurkan kepala karena kaget. Tangan gadis itu sudah berada di depan dada, dia tak berani menatap mata Leo karena sepertinya pria itu tidak suka dengan usulnya barusan.
“Jangan libatkan aku jika berurusan dengan Mahameru – anak Pak Gama,” kata Leo.
“Ke-ke-kenapa? apa ada masalah?” tanya Sabrina. Perlahan dia menegakkan punggung saat menyadari Leo sudah menjauhkan badan dari mejanya. Leo yang tak langsung menjawab membuat Sabrina penasaran dan berjalan mengejar pria itu sampai ke meja yang berada di seberangnya.
“Katakan padaku Leonardo Dekaprio! Kenapa kamu tidak ingin berurusan dengan bocah itu?”
Leo memutar bola matanya malas, sebelum membuang napas kasar. “Itu karena …. “
***
Tepat pukul tiga sore Sabrina sudah berdiri di depan sebuah gedung sekolah ternama. Suasana di sana cukup ramai, banyak mobil yang terparkir dan beberapa pria berseragam nampak sedang berbincang.
Sekolah anak-anak kalangan atas memang beda begitu pikir Sabrina, di sana dia sama sekali tidak menemukan mobil merek Alpansa seperti yang ingin dia kredit ke Mas Dodot. Kebanyakan mobil buatan Eropa, bahkan dia melihat ada mobil mirip tank tempur di sana.
Sabrina memandang foto Maha yang dikirimkan Gama ke aplikasi berbalas pesan miliknya, jika dilihat wajah anak itu sangat imut dan menggemaskan, tapi Sabrina agak takut juga mengingat ucapan Leo padanya beberapa jam yang lalu.
“Itu karena dia pernah beberapa kali hampir membuatku masuk UGD. Pertama, dia kabur saat aku menjemputnya dan aku hampir saja tertabrak mobil. Kedua, dia berpura-pura ingin pipis dan malah mengunciku di dalam kamar mandi sampai asmaku kambuh. Ketiga, dia meneriaki aku penculik sampai aku hampir dipukuli oleh orang-orang. Anak itu monster, jangan tertipu wajahnya yang imut.”
Sabrina membenarkan letak tali tasnya yang ada di depan dada setelah memasukkan ponsel. Ia melihat anak-anak satu persatu mulai keluar dan mendekat ke arah sopir dan orang tua yang menjemput mereka. Kepala gadis itu nampak menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari anak sang atasan. Tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Sabrina dia akan melakukan pekerjaan seperti ini. Hingga setelah beberapa menit, bibirnya memulas senyum melihat sosok bocah yang dia cari sejak tadi.
Namun, ada yang berbeda dari penampilan anak itu dari teman-temannya. Jika semua anak terlihat rapi dengan dasi dan rompi seragam. Maha nampak acak-acakan, dasinya berada di tangan sedangkan kerah bajunya sudah setengah tegak. Anak itu berjalan sambil mengentak-hentakkan kaki digandeng sang guru, tak lama seorang anak yang juga digandeng guru lain melepaskan gandengan. Anak itu berlari mendahuli Maha sambil menangis dan langsung memeluk ibunya.
Sabrina dengan jelas mendengar anak itu berkata baru saja dipukul oleh Maha. Namun, dia tak ambil pusing dan memilih menyapa putra atasannya itu dengan ramah.
“Maha, ayo pulang! kakak a …. Aduh!”
Sabrina tercekat, dia memegang bagian belakang rambutnya yang terasa ditarik dengan kasar.
“Apa asisten Anda baru lagi, Pak?”Pertanyaan bik Mun dijawab Gama dengan anggukan kepala. Pria yang baru saja pulang dan sedang duduk melepas sepatunya itu mengerutkan kening. Setelahnya Gama balas melempar pertanyaan ke bik Mun sambil meletakkan sepatu ke rak dan berjalan masuk. “Bukankah aku sudah memberitahu Bibi? aku sudah mengirim pesan.”“Kuota saya habis Pak. Belum beli.” Bik Mun tertawa aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Mendapati sang majikan bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, Bik Mun pun menceritakan bagaimana kondisi asistennya saat mengantar pulang Maha tadi. Bak pembawa acara gosip, wanita itu menjelaskan penampilan Sabrina yang begitu acak-acakan. Menurut cerita yang dia dapat dari Maha, gadis itu terlibat perkelahian dengan ibu dari teman sang putra yang tiba-tiba saja menarik rambut dan menamparnya. Bik Mun bahkan memperagakan beberapa adegan yang ceritanya dia dapat dari bocah itu.“Mereka sampai dipisah oleh dua satpam, dua guru dan
“Kamu rapi banget, apa mungkin kemarin kamu salah kostum dan dimarahi bosmu?”Mirna memindai penampilan putrinya pagi itu. Sabrina yang belum menceritakan peristiwa perkelahian akibat ulah anak sang atasan hanya bisa mencebik lalu duduk. Ia mengangkat piring dan langsung mengambil satu centong penuh nasi. Namun, Sabrina kaget karena Mirna malah menahan tangannya. Wanita yang melahirkannya itu mengambil alih centong nasi sambil geleng-geleng. Alih-alih menambah porsi nasi di piring Sabrina, Mirna malah mengembalikan separuh nasi itu lalu mengingatkan putrinya untuk diet.“Jaga penampilan kamu, kamu itu kerja di agensi model.”“Ya ‘kan cuma kerja Bu, bukannya aku modelnya.” Sabrina merajuk, dia pandangi nasi dipiringnya yang tinggal sedikit, tapi tak mengapa melihat telur dadar dia langsung mengambil dua. Terang saja Murni langsung memukul tangannya dengan centong nasi yang masih dipegang. “Iya tapi kamu setiap hari ketemu model, bosmu saja model, kamu mau kontrakmu nggak diperpanjang
“Aku punya ibu.”Beberapa menit yang lalu Maha kembali berdebat dengan Kenzo. Bocah yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja itu sudah berdiri berhadapan dan adu argumen. Maha bahkan sudah menampilkan wajah masam dengan mata menyipit. “Tidak punya, kamu itu cuma punya papa, jangan bohong!” Kenzo, teman sekelas yang paling menyebalkan untuk Maha. Entah kenapa mereka seperti musuh bebuyutan, padahal sama-sama bau kencur, tapi soal sombong menyombong sudah melebihi orang dewasa. Dua murid berseragam olahraga itu masih saja berdebat di ruang senam sekolah mereka, hingga Miss Farah - sang guru mendekat. Ada perintah dari atasannya untuk mengajak dua anak itu ke ruang kepala sekolah.“Maha, Kenzo kenapa sih kalian berdua itu tidak bisa rukun? Miss sampai bingung atau Miss yang salah ya? Tidak bisa mengajari kalian bagaimana cara berteman yang baik?” Miss Farah menggandeng Maha dan Kenzo di kiri dan kanan, sedangkan dua bocah itu berjalan sambil menunduk. Seolah sadar akan kesalahan
“Anak? Kamu punya anak?”Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.“Ap
“Kenapa kakak memakai baju seperti ini?”Sabrina yang hari itu datang ke kebun binatang mendapat keluhan dari putra atasannya. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tidak menyangka bahwa meski masih kecil, tapi sebagai anak seorang model, selera fashion Maha sangat tinggi, bahkan jauh di atasnya. Anak itu baru berkomentar bahwa dandanannya lebih mirip pekerja kantoran ketimbang ingin jalan-jalan.Sabrina mencebikkan bibir, dia berharap Gama yang sedang berada di kamar mandi segera datang untuk menyelamatkannya dari Maha yang menurutnya sedikit menyebalkan. Entah kenapa tiba-tiba saja bocah itu tidak seramah beberapa hari yang lalu saat memeluknya dan memanggilnya Mama. Pasti ada sesuatu, Sabrina curiga Gama mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangnya.“Harusnya kakak memakai kaos seperti aku dan yang lain.”Karena ucapan Maha, Sabrina pun melihat sekeliling. Matanya tertuju pada orang-orang yang memakai baju berwarna merah muda bertuliskan study wisata dengan logo sekolah internas
Entah berapa kali Sabrina harus mondar-mandir pagi itu. Sebagai asisten Gama dia harus ikut serangkaian pemotretan yang dilakukan bosnya. Ia benar-benar sibuk, bahkan karena berangkat pagi untuk mengejar angkutan yang datang pertama, gadis itu melupakan sarapannya. Sabrina sudah sedikit merasa pusing, tapi dia memilih menenggak air mineral sebanyak-banyaknya. Padahal dia bisa saja meminta izin sebentar keluar mencari roti atau sekadar camilan pengganjal perut di minimarket yang tak jauh dari studio. Namun, pikiran gadis itu memang tidak dia bisa ditebak. Ia memilih duduk lesehan di bagian paling belakang studio sambil melihat bosnya melakukan pemotretan bersama empat model lainnya.Sabrina tersenyum sendiri karena malu. Sepertinya benar kalau melihat orang tampan bisa membuat kenyang. Ia sejenak melupakan perutnya yang keroncongan karena belum sarapan.Sementara itu, Gama nampak sedikit tidak fokus. Beberapa kali fotografer harus mengulangi pengambilan gambar karena pose dan ekspresi
Sabtu pagi, hari di mana Bianca harus dibuat pusing dengan kelakuan kakak iparnya. Felisya mengajaknya untuk datang ke rumah Sabrina. Felisya dengan mudah bisa mendapat alamat gadis itu, tentu saja dibantu oleh orang dalam di agensi tempat Gama bekerja. Bianca mencebik kesal, dia seharusnya bisa tidur dengan nyaman atau sekadar menghabiskan waktu bermesraan dengan suaminya - Skala. Meski tidak bisa dibilang masih muda tapi untuk urusan asmara Bianca masih semangat empat lima, tak kalah saing dengan anak dan menantunya.“Awas kalau sampai ketahuan Gama, aku tidak mau ikut menanggung akibatnya,” ucap Bianca saat Felisya memaksanya masuk ke dalam mobil.“Tenang saja, aku hanya ingin melihat bagaimana keseharian gadis itu, ibunya punya bisnis cucian dan aku ingin berpura-pura mencuci mobil di sana,” kata Feliya dengan santai, dia injak pedal gas untuk melajukan mobil, sudah tak sabar rasanya wanita itu mengorek informasi tentang Sabrina.__“Kamu sepertinya sudah gila, Fel!”Hinaan dari
Mendengar ucapan wanita di depannya, Sabrina limbung. Mulutnya mengaga karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ia menoleh Mirna, dan ibunya itu seketika memutar tumit tak mau melihatnya.“A-a-anda.” Sabrina masih terbata-bata.“Hem … aku ibunya Gama, aku ke sini bukan untuk alasan seperti apa yang ada di dalam pikiranmu, aku ke sini karena ingin bertemu dengan sosok gadis yang sangat disukai oleh cucuku Mahameru.”Penjelasan Felisya membuat Sabrina menelan saliva, Jika bisa memutar waktu beberapa menit ke belakang, tentu dia akan lebih bersikap sopan ke wanita anggun ini. Sabrina pun tersenyum bego, dia menggaruk bagian belakang kepala sebelum menyatukan ke dua telapak tangan di depan dada.“Maaf!” ucapnya dengan mimik muka hampir menangis.__“Dia benar-benar mirip Maha, lihat bentuk matanya,” ujar Felisya saat akan mengantar Bianca pulang ke rumah. Wanita itu benar-benar curiga, tapi untuk mengorek informasi lebih dalam dia tidak bisa karena Sabrina sudah berpiki
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut