“Sampaikan? Apa ada hal yang penting?”Gama tak lantas memersilahkan pria yang mengaku suami Naura itu masuk. Ia memilih untuk memindai wajah dan penampilan pria itu lebih dulu. Terkesan kurang sopan, tapi Gama tidak bisa mencegah dirinya untuk melakukan hal ini.“Perkenalkan sebelumnya aku Adam.” Suami Naura mengulurkan tangan, tapi Gama terdiam cukup lama, hingga Sabrina yang lebih dulu meraih tangan pria itu.“Silahkan masuk!” Sabrina memersilahkan meski Gama masih terdiam, ini sudah malam dan tidak enak jika sampai ada tetangga yang melihat mereka.Gama dan Adam duduk berhadapan, jika Gama terus menatap Adam dengan sorot mata curiga, tidak dengan pria itu. Adam memilih untuk menunduk menekuri jari kakinya. Sedangkan Sabrina meski sudah selesai membuatkan teh tapi masih enggan keluar menuju ruang tamu.“Apa maksudmu datang ke sini, tolong jelaskan!” ucap Gama. Tentu saja menggunakan bahasa Inggris dengan lancar, sehingga Sabrina yang menelinga pun hanya bisa garuk-garuk kepala. Seha
Pagi itu suasana ruang makan Rudi Tabuti sedikit panas, hal ini karena dia tahu bahwa klien dari istrinya sudah melayangkan laporan ke polisi. Rudi memakan roti selai nanas di meja dengan wajah sebal. Ia bahkan membuat suasana mencekam layaknya sedang barada di tengah kuburan. “Katakan pada klienmu, jika dia masih memiliki hati nurani maka pertemukan anak itu dengan klienku.” Dora membuka perbincangan, mendapati hal itu putri dan putra mereka langsung berdiri. Keduanya berpamitan untuk pergi dari pada harus mendengar perdebatan antara Rudi dan Dora. Bukannya sarapan tapi malah bunyi pasal-pasal yang akan mereka santap nanti. “Memang kenapa? bukankah sudah membuat laporan, ya sudah kita lanjut saja sampai di depan muka hakim,” jawab Rudi jemawa, padahal mereka setiap malam juga melakukan enaena, tapi setelah memakai setelan kerja pasangan itu berubah menjadi seperti kucing dan anjing. “Klienku sakit parah Rudi! Di mana kamu tempatkan hati nuranimu? Ha!” Dora memutar bola mata malas.
“Ka-ka-kamu.”Sabrina masih tak percaya mendapati Gama berada di sana sama seperti dirinya. Gadis itu bahkan menatap dengan raut cemas, meski sebenarnya Gama juga merasakan hal yang sama. Dari perbincangan semalam keduanya sama-sama meyakini bahwa satu sama lain tidak akan peduli dengan keadaan Naura, tapi kedatangan mereka ke rumah sakit secara diam-diam jelas mengindikasikan hal lain.“Sedang apa di sini Sab?” tanya Gama dengan lembut. Ia tahu istrinya itu kaget.“A-aku, lha mas Gama sendiri kenapa di sini?” Sabrina balik melempar pertanyaan. Ia gugup, entah kenapa merasa seperti maling yang baru saja tertangkap tangan mencuri.Gama terdiam, wajahnya ragu-ragu bahkan beberapa detik hanya saling pandang dengan Sabrina, tapi akhirnya Gama memilih berkata jujur, kalau dirinya ke sana memang untuk menjenguk Naura.“Aku ingin memastikan apa yang dikatakan Adam benar,”ujar Gama. Ia toleh suami Naura yang berada di hadapan sang istri, tak perlu mendongak seperti Sabrina karena tinggi badan
Naura termenung, dia merasa syarat yang diberikan oleh Gama tidak bisa dia setujui begitu saja. Entah apa rencananya sekarang, yang pasti pada akhirnya wanita itu memilih jujur.“Apa kamu tahu kalau Maha adalah anak hasil perkosaan? Aku yakin kamu pasti sudah menyelidiki semuanya. Aku diperkosa Ga di saat papa kandungku datang. Kamu tahu bagaimana hidupku sebelumnya?” Naura meneteskan air mata, hatinya jelas sangat sakit jika mengingat peristiwa kelam yang pernah dialami.“Kenapa kamu memilih pergi? kenapa tidak bercerita padaku? bukankah kamu tahu kalau saat itu aku benar-benar sangat mencintaimu. Kamu bisa saja meminta pertanggungjawaban padaku,” ucap Gama.Naura memejamkan mata sambil memalingkan muka, sedangkan Adam yang satu ruangan bersama mereka memilih duduk di kursi dekat ranjang. Pria itu menunduk karena merasa masalah yang dihadapi sang istri memang pelik. Andai Naura mau melepas egonya, semua ini pasti akan jauh lebih mudah.“Ga, waktuku tidak lama lagi! bisakah kamu memper
“Bagaimana hari ini? apa yang kamu lakukan? Apa harimu menyenangkan?”Gama baru keluar dari kamar mandi, dia mengeringkan rambutnya yang masih sedikit basah sambil menatap Sabrina. Istrinya itu sibuk membetulkan sprei ranjang yang berantakan, karena digunakan Maha untuk bermain. Anak itu dijemput oleh Rain dan Embun beberapa menit yang lalu dan diajak jalan bersama.Seharusnya Gama dan Sabrina memiliki waktu menyenangkan untuk berduaan. Namun, kejadian di rumah sakit tadi seperti membuat Sabrina mengikis jarak. Ia bersikap sedikit tak peduli ke suaminya.Setelah membereskan sprei, Sabrina masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Cara melarikan diri yang dipilihnya memang sedikit aneh, hanya untuk menghindari Gama, dia mandi untuk yang ke tiga kali. Pori-porinya pasti sampai kinclong karena sapuan sabun berkali-kali.Meski tidak menunjukkan ekspresi kesal, sebagai pria dewasa Gama pasti sudah tahu kalau istrinya sedang marah. Ia memilih menunggu di atas ranjang, duduk sambil terus
“Aku harap kamu segera hamil, agar rumah ini ramai dengan tangisan bayi. Kamu tahu? mengasuh bayi memang sangat melelahkan, tapi semua itu tidak akan ada artinya saat melihat senyumannya ketika sedang tidur.” Gama tersenyum, dia lega karena sang istri ikut membuat lengkungan manis merespon kata-katanya. “Kamu sudah sangat pengalaman mengurus bayi, sepertinya kelak aku akan berguru padamu.” Sabrina balas menyentuh pipi Gama, dia menatap lekat wajah pria yang sudah membuatnya jatuh hati itu, sebelum dengan sadar menyambar bibir. Sabrina menggigit bibir bawah setelah beberapa detik membuat Gama terbungkam, perlahan dia menjauhkan kelopak matanya yang terpejam. Tanpa rasa malu putri tunggal Mirna itu berujar bahwa dia sejujurnya cemburu. Sabrina sudah membayangkan Gama dan Naura saling membicarakan kenangan saat berpacaran dulu. “Dasar! Sejak hari di mana dia meninggalkan Maha, hatiku sudah mati untuk Naura.” Gama merespon cepat ungkapan hati Sabrina. Ia tidak ingin benih-benih kecembu
“Mungkin dia pernah mendengar Ibu memanggil Maha seperti itu, jadi dia mengikutinya.”Sabrina memberi alasan yang paling mudah diterima oleh Maha. Ia memastikan putranya masuk ke dalam kelas sebelum buru-buru melihat apa yang terjadi ke Naura. Gadis itu berlari, hingga melihat sosok Adam dan sudah ada ambulance yang datang. Karena kebetulan miss fara berada di sana, Sabrina bertanya tentang bagaimana kondisi Naura.“Dia baru saja menjalani operasi, Mom. Pria bule itu bilang kalau dia kabur dari rumah sakit, mungkin efek biusnya belum hilang jadi ngelantur.”Guru Maha itu sampai mengerutkan kening, terlalu heran karena berpikir Sabrina sudah tahu. Bukankah wanita yang pingsan itu pernah mengaku sebagai ibu Maha? Bahkan satpam nampak takut, sebab masalah cokelat sudah Gama laporkan dan sepertinya yang memberi memanglah Naura.“Operasi!” gumam Sabrina dan miss Fara bisa mendengarnya dengan jelas.“Hem … pengangkatan rahim.”“Apa?”__Sementara itu, di kantor polisi Gama sedang menunggu p
“Memang Pak Gama mau ke sini? tadi pagi dia bilang ada urusan, ini sudah siang dan dia juga belum datang.” Leo duduk berhadapan dengan Sabrina, dia makan dengan siku tangan menempel pada meja. Sabrina tahu, dia harus bersikap baik ke Leo agar sekretaris suaminya itu bisa baik padanya. Ia datang ke PG group membawa pizza dan juga rice bowl teriyaki. Jelas bukan untuk menyuap, katakan saja sebuah cara berinvestasi sosial. “Kalau dia tidak datang setidaknya aku bisa mengobrol denganmu, aku ‘kan juga rindu mendengar mulut beracunmu,” ucap Sabrina, setengah guyonan setengahnya lagi sindirian. Ia tertawa karena Leo memiringkan bibir dan membuang muka. “Bagaimana menjadi istri seorang pengusaha? Tau tidak? awalnya aku pikir pak Gama tidak suka wanita, kamu pasti tahu gosip miring tentangnya,” ucap Leo, dia memandang aneh Sabrina lalu mendekatkan muka dengan tangan masih memegang potongan pizza. “Aku penasaran apakah tongkat Pak Gama berfungsi?” Sabrina mendelik, dia pukul lengan Leo sampa
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
“Kamu memang anak tidak bisa diandalkan!”Kalimat kejam itu meluncur dari bibir Bagaskara, dia meminta Naura datang menemuinya dan hanya makian yang diperdengarkan. Ia sama sekali tidak menanyakan kondisi putrinya yang nampak begitu pucat.“Papa tidak akan bisa mengambil Maha dari Gama, dia akan menjadi putra Gama dan Sabrina selamanya,” kata Naura tanpa memandang Bagaskara.Tangan pria tua itu mengepal karena bantahan sang putri. Ia pun melempar vas bunga di dekatnya sampai hancur berkeping-keping.“Terserah! Lakukan sesukamu, aku bahkan tidak peduli kalau kamu mati sekalipun.”Bagaskara pergi meninggalkan Naura dan Adam di ruang tamu. Buliran kristal bening mengalir membasahi pipi Naura. Ia sangat menyesal karena sudah mengambil langkah yang keliru. Seharusnya dia tidak perlu datang ke Bagaskara karena meski bergelimang harta jiwanya terasa begitu hampa.Naura menoleh Adam, masih dengan air mata berlinang dan suara yang berat, dia mengajak suaminya pulang. Dari pada memikirkan tenta
Butuh penjelasan yang agak memakan waktu saat Sabrina dan Gama menjemput Maha. Anak itu benar-benar takut mendengar nama Naura. Maha sampai memeluk erat Sabrina. Awalnya Maha senang karena akan diajak makan es krim bersama, tapi berubah takut kala Gama menyebut di sana sudah ada Naura yang menunggu.“Nggak mau, Maha nggak suka es krim,” ucap Maha. “Mau pulang aja.”Kebetulan di sana ada Embun yang juga menjemput Olla. Ia pun berusaha membantu Sabrina dan Gama dengan berkata, “Apa Olla mau ikut makan es krim? Nanti biar Mami jemput di rumah Maha.”Sabrina dan Gama menoleh Olla, harapannya kini bertumpu pada gadis kecil itu. Mereka merapal doa, berharap Olla mengangguk dan berkata iya.“Oke, aku mau ikut!”Embun tersenyum, dia menoleh ke Sabrina dan Gama yang nampak lega. Sabrina lantas bertanya lagi, jadi Maha mau ikut atau tidak.“Tenang saja Maha, ada aku!” kalimat menenangkan dari Olla seperti mantra bagi Maha. Bocah itu melepaskan pelukannya ke Sabrina dan berganti meraih tangan Ol
Duduk di dalam ruang sidang dan mendengarkan pihak lawan berbicara jelas sangat tidak mengenakkkan. Gama sudah ingin membantah semua ucapan dari pihak Bagaskara, sedangkan Sabrina beberapa kali menoleh ke arah pintu berharap Naura akan segera tiba. Wanita itu adalah satu-satunya kunci untuk membuat persidangan ini tak berlarut-larut. Persidangan kasus hak asuh seperti ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sekitar sembilan sampai dua belas kali hingga putusan.Rudi Tabuti berkata, jika Naura sebagai ibu kandung langsung berkata tidak ingin memperebutkan Maha, maka jalan bagi Gama untuk memenangkan hak asuh sudah berada di depan mata.Pihak pengacara Bagaskara sudah selesai dengan gugatan, dan kini giliran Rudi untuk membela kliennya. Rudi menyampaikan semua bukti sejak awal, baik dari mulai Naura berbohong dan memberikan Maha ke Gama, sampai wanita itu yang berkata tidak ingin memperebutkan sang anak, karena tahu Maha akan jauh lebih bahagia bersama Gama dan Sabrina.“Ini a
“Ibu nggak sayang aku,” raung Maha.Bocah itu terduduk sambil menangis. Sontak saja Sabrina semakin kalut. Bik Mun yang ikut menyusul ke lantai atas pun heran dengan tingkah Maha.“Maha, kenapa? nggak sayang gimana?” tanya Sabrina lagi, dia saling pandang dengan bik Mun. Wanita itu mengedikkan bahu tanda tidak tahu juga, kenapa anak sang majikan seperti itu.“Aku tidak mau punya adik!”Sabrina tercengang, sepertinya baru kemarin Maha berkata sayang, tak sabar melihat adiknya lahir, tapi kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Sabrina memilih berjongkok, tapi Maha malah berdiri. Tanpa sengaja bocah itu menyenggolnya hingga dia jatuh dan pantatnya mendarat kasar ke lantai.“Mas Maha!” pekik bik Mun yang langsung mendekat ke Sabrina. Membantu wanita itu untuk berdiri. “Mas Maha, Ibu Sabsab sedang hamil, nggak boleh ka …. “Sabrina mencegah bik Mun melanjutkan kalimatnya dengan cara meremas tangan wanita itu. Ia menatap Maha yang duduk di kursi belajar dengan raut