"Astaga! Ibu, kenapa Ibu berpenampilan seperti itu?"
Aku terkejut ketika melihat Ibu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang panjangnya hanya di atas lutut saja, padahal Mas Rohman ada di rumah."Ish, Nella! Kenapa sih heboh banget? Ibu kan habis mandi, jadi wajar dong kalau pakai handuk!""Tapi, Bu. Di rumah kan ada Mas Rohman--""Halah, pikiranmu itu terlalu berlebihan, Nella! Si Rohman nggak mungkin doyan sama Ibu, apalagi Ibu?""Huh, mentang-mentang Ibu janda, kamu malah nuduh Ibu yang macem-macem," gerutunya sambil berlalu masuk kamar."Bu-bukan begitu maksud Nella, Bu. Tapi, seenggaknya Ibu kan bisa pakai daster gitu, jangan pakai handuk doang."Aku sedang mencoba menjelaskannya secara perlahan, namun ibuku sepertinya tersinggung, hingga Beliau menutup pintu kamarnya cukup keras.Huft ....Aku sungguh lelah, padahal aku baru saja pulang bekerja, tapi sampai di rumah sudah disambut dengan kejadian seperti ini.Sumpah! Aku sebenarnya tidak mempunyai pikiran, kalau ibuku akan menggoda suamiku, karena yang aku tahu ibuku sangat membenci Mas Rohman.Namun, yang aku inginkan, ibuku harus tetap menjaga marwahnya sebagai mertua, contohnya seperti menjaga cara berpakaiannya, sebab bagaimanapun juga status Mas Rohman hanyalah menantunya, bukan anaknya sendiri.Tapi, mungkinkah aku memang terlalu berpikir berlebihan ya?"Nella, kamu sudah pulang?" tanya Mas Rohman yang membuatku terkejut.Mas Rohman baru saja keluar dari pintu dapur, dengan mengunyah sebuah kerupuk, dan juga keringat yang masih bercucuran di dahinya. Sepertinya Mas Rohman baru saja makan makanan yang pedas."Eh, iya Mas. Lho, kamu baru sarapan, Mas?""Iya," sahutnya seraya tersenyum.Lalu tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamarnya, dengan pakaian yang sudah rapi, sepertinya ibu mau pergi."Huh! Kelakuan suamimu memang hanya seperti itu. Jam segini baru bangun, lalu kemudian sarapan. Enak banget jadi dia, kamunya yang disuruh kerja!" Lagi-lagi ibu menghina Mas Rohman, yang membuatku jadi tidak enak hati pada suamiku."Bu, Mas Rohman kan sedang libur.""Halah, libur kok setiap hari." Setelah mengatakan itu, Ibu langsung berlalu pergi.Aku hanya bisa menghela napas panjang, untungnya saja suamiku bisa sabar menghadapi mertua seperti ibu. Kalau tidak, mungkin saja kita sudah berpisah sejak dulu."Maafin Ibu ya, Mas. Sepertinya beberapa hari ini Ibu lagi sensi."Mas Rohman mengangguk. "Sudah, biarkan saja. Sekarang kan masih musim padi, jadi wajar kalau Ibu sering uring-uringan melihat aku banyak menganggur. Nanti kalau sudah musim tembakau, omongannya juga tidak terlalu pedas lagi," sahut Mas Rohman seraya terkekeh. Sesabar itulah suamiku, aku pun merasa beruntung memilikinya."Baiklah, kalau begitu aku mau cuci baju dulu."Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi ke kamar, mengambil semua pakaian kotor, dan kemudian mencucinya.Inilah rutinitasku setiap harinya setelah berjualan di pasar. Ya, pekerjaanku adalah pedagang sayur di pasar pagi, aku berangkat bekerja jam dua pagi, lalu pulangnya paling lambat jam sembilan pagi, namun kalau sedang laris manis, jam tujuh pagi aku sudah ada di rumah.Kami para pedagang di pasar pagi, memang kebanyakan melayani para pedagang sayur keliling dan juga pemilik warung-warung yang menjual sayuran. Jadi, tidak heran kalau aku harus berangkat di pagi buta, sebab para pembeli dagangan ku juga harus menjajakan dagangan mereka pagi-pagi sekali."Eh, Nella. Udah pulang? Berarti dagangannya udah habis dong?" sapa tetanggaku, Mbak Yuyun namanya.Di jam segini Mbak Yuyun dan tetangga lain memang suka melakukan rutinitas 'petan' rambut putih di belakang rumah, jadi mereka bisa melihatku ketika sedang menjemur baju, karena rumah kami tidak ada yang memiliki pagar pembatas."Iya, Mbak. Alhamdulillah ...." sahut ku seraya tersenyum."Waahh ... enak ya, jadi suamimu. Nggak perlu kerja keras, sebab kamu nya pintar cari duit," balas tetanggaku yang satunya lagi."Iya, Nell. Eh, kalau sudah selesai, sini dong main bentar. Masa kamu nggak pernah ngegosip bareng kita sih," timpal tetanggaku yang lainnya.Aku hanya tersenyum canggung, dan meski malas, namun aku harus tetap ke sana untuk menghargai mereka.Aku bukan tipe orang yang suka kumpul-kumpul seperti ini, karena aku termasuk orang yang introvert. Apa lagi, sebenarnya badanku sangat lelah karena habis bekerja, jadi biasanya aku memang langsung tidur setelah menyelesaikan pekerjaan rumahku.Namun, meladeni mereka cerita sesekali, tidak apa-apa bukan?"Eh, udah pada denger nggak? Itu si Ika, kemarin lusa katanya ke hotel bareng Pak kepala desa. Aduh, jangan-jangan gosip yang mengatakan mereka selingkuh, benar lagi?""Ih, masa to, Mbak Jum. Aduh, amit-amit kalau gitu. Eh, berarti tahun depan kita jangan milih dia lagi. Kan katanya dia mau mencalonkan diri lagi?""Iya, iya. Jangan sampai!"Aku hanya menganggukkan kepala saja mendengar gosip mereka, toh aku juga tidak mengenal siapa itu Ika, sebab dia warga baru di gang sebelah, yang sudah dicap sebagai janda gatel oleh warga sini."Eh, Nella. Kamu kan kerjanya pagi buta, dan kamu kalau sudah pulang, biasanya juga cuma di rumah. Jadi, kamu tuh harus jaga baik-baik suamimu, ya walaupun suamimu jarang kerja, tapi dia kan lumayan ganteng. Jadi, hati-hati aja?!""Hehe ... iya, Bu.""Eh, jangan cuma iya-iya aja. Kami ini kasihan sama kamu, soalnya kamu udah kerja keras, banting tulang ngehidupin suami kamu, lalu jangan sampai si Rohman pakai duit hasil kerjamu untuk biayain janda gatel seperti Ika.""Iya, Mbak. Tapi, aku rasa Mas Rohman nggak mungkin seperti itu, soalnya meskipun aku yang kerja, dia juga jarang banget minta uang sama aku, ya palingan sekali dua kali pernah minta uang untuk beli rokok. Jadi, mana ada wanita di luaran sana yang mau sama dia, hehe ...""Iya, juga ya. Haha ...."Aku mengangguk. Ya, Mas Rohman memang jarang meminta uang sama aku, namun sebagai seorang istri, kadang aku suka mengeluh karena Mas Rohman jarang kerja.Di mata orang-orang, mereka mengira aku menerima kekurangan Mas Rohman yang seperti itu, tapi mereka tidak tahu saja kalau kami suka berantem jika bahas soal ekonomi.Ya, di dunia ini mana ada wanita yang menerima suaminya jarang memberi nafkah, dan kita yang menjadi seorang istri, harus rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Tapi, jikapun itu ada, berarti wanita itu benar-benar berhati malaikat. Namun, meski aku bukan wanita yang berhati malaikat itu, tapi aku tetap kekeuh mempertahankan rumah tanggaku ini, karena aku termasuk orang yang menganut paham bahwa, rezeki itu meski kamu sudah bekerja keras mencarinya, tapi kalau belum waktunya dapat, kamu tetap tidak akan dapat.Jadi, aku hanya bisa bersabar dengan kondisi suamiku saat ini. Ya, siapa tahu di depannya Tuhan akan memberi rezeki lebih untuk keluarga kami.Namun, bagaimana jika ternyata, Mas Rohman selama ini memang kurang berusaha?"Astaga! Sudah jam setengah dua." Aku pun buru-buru bangun dan mandi, kemudian tidak lupa melakukan ibadah salat malam sebelum berangkat kerja.Untungnya saja sebelum tidur, semalam semua sayuran sudah aku masukkan ke dalam karung, jadi aku tinggal mengangkatnya saja ke sepeda motor."Emh, akhh ...." Aku menghela napas panjang setelah mengangkat karung paling besar untuk diletakkan di atas obrok yang berisi sayuran juga. Lalu setelah itu aku membangunkan suamiku untuk meminta tolong mendorong motor, karena motor dalam keadaan standar tengah."Sudah semuanya?" tanya Mas Rohman dengan kondisi yang masih mengantuk."Belum, Mas. Itu, karung yang ada di sana, tolong angkat dan taruh di depanku."Mas Rohman menurut, ia mengambil satu karung sayuran yang masih bersandar di tembok."Hati-hati," ujarnya.Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku mulai melajukan motorku. Terdengar suara gerbang garasi di tutup dan dikunci kembali, dan aku berangkat di saat jalanan masih sangat sepi, dan mungkin
"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku."Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku."Iya, ini berapa bayamnya seikat?""Seribu lima ratus, Bu.""Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya.""Iya, Bu. Lalu apalagi?""Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?""Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur.""Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?""Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih
Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya."Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung."Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan.""Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja.""Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?""Oh, Ibu lagi di kamar mandi."Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga.""Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohm
"Lho, itu bukannya Mas Rohman?" Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo." "Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Ak
"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Satu Minggu kemudian...."Sayang, memang kamu tidak apa-apa kalau aku tinggal pergi?" tanya Yoga yang sudah ke sekian kalinya, Yoga hendak pergi keluar kota untuk perjalanan bisnis, namun ia tidak tenang jika meninggalkan istrinya yang sudah dekat dengan HPL."Nggak apa-apa, Mas. Kan masih ada tiga hari lagi, sedangkan kamu besok sudah pulang.""Iya, tapi kata orang-orang melahirkan itu bisa kurang atau lebih dari HPL, terus jika tiba-tiba besok kamu melahirkan, dan tidak ada aku di rumah, lantas bagaimana?""Sayang, di rumah kan ada pelayan, dan sebentar lagi Ayah dan Ibu juga pulang, jadi kamu nggak usah khawatir lagi, cukup doakan aku dan anak kita selamat dan lancar lahirannya."Yoga memeluk Nella, ia benar-benar merasa berat meninggalkan Nella, namun ia juga tidak bisa mengabaikan pekerjaannya yang ada di luar kota."Baiklah, kalau begitu aku mau telepon Ibu dulu, aku mau memastikan kalau Ibu dan Ayah nanti sudah ada di rumah ketika aku sudah berangkat."Setelah menelepon ibunya,
Satu tahun kemudian....Tidak ada yang bisa dilakukan Nella kecuali hanya makan dan tidur, sebab Yoga dan mertuanya melarangnya melakukan pekerjaan rumah, walaupun hanya sekedar merapikan tempat tidurnya saja."Mas, aku bosan. Aku bolehkan hanya menyiram bunga saja?""Nggak! Kasian dedek bayinya kalau kamu panas-panasan di luar.""Lha terus apa bedanya dengan kita jalan-jalan pagi di setiap hari Minggu, kan aku juga terkena sinar matahari.""Ya beda dong, Sayang ... kalau matahari pagi kan sehat, nah ini jam sepuluh kamu ingin panas-panasan di luar."Nella mencebikkan bibirnya kesal, ia diam-diam tidak bisa melakukan pekerjaan rumah jika ada suami dan mertuanya di rumah. Apalagi semenjak Nella hamil, ia sudah seperti tawanan yang harus diawasi setiap hari."Kalau begitu aku harus ngapain dong? Aku bosan kalau hanya luntang-lantung tak jelas di rumah.""Kamu kan bisa pergi jalan-jalan, belanja, atau apapun, asalkan harus diikuti pengawal.""Huh! Ternyata rasanya jadi istri CEO itu kehi
Setelah disuguhi banyaknya hal yang mengejutkan, namun kejutan untuk Nella tidak hanya sampai di sini saja, Nella benar-benar akan dibuat syok setengah mati hari ini."Kita sudah sampai," ujar Yoga dengan wajah yang tampak bahagia. Yoga sangat senang karena akhirnya ia bisa membawa calon istrinya ke rumah."Lho, kita di mana? Ini kan bukan hotel?" tanya Nella bingung."Rumah mertuamu," sahut Yoga santai."Hah?" Nella semakin panik ketika pintu mobil di sampingnya dibuka Yoga, lalu kemudian Yoga mengulurkan tangannya."Lho, tapi ... Mas, kenapa ke rumahmu sih? Aku kan--"Yoga mengguncangkan tangannya lagi karena Nella tidak segera menyambut uluran tangannya.Sedangkan Nella yang tidak bisa kabur dari sini, ia pun dengan terpaksa menerima uluran tangan Yoga."Lho Mas, bukankah kesepakatan kita itu kamu harus bertanya dulu ke orang tuamu, tapi ini kenapa aku sudah diajak ke rumahmu?" Nella semakin panik ketika langkah mereka sudah hampir sampai di teras rumah Yoga, ia bahkan mengeluarka
Nella hampir tidak bisa tidur karena masih memikirkan siapa Yoga sebenarnya, sebab Yoga tidak mau menjawabnya dan berjanji akan memberitahukan semua tentangnya besok.Hingga akhirnya pagi-pagi sekali Nella sudah siap, begitu juga dengan Yoga yang memang sudah tidak sabar lagi mengungkapkan jati dirinya pada calon istrinya tersebut.Ya, meskipun Nella belum menjawab mau menikah dengannya, akan tetapi Yoga merasa sangat yakin bahwa Nella mau menjadi istrinya.Namun, jika Nella tetap menolak menikah dengannya, maka ia akan menggunakan cara yang sedikit menyebalkan agar Nella mau menikah dengannya."Sudah siap?"Nella yang baru saja membuka pintu sontak terperanjat ketika melihat Yoga yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Sudah," sahut Nella sedikit canggung, dan Yoga pun juga merasakan bahwa sikap Nella kini menjadi terlihat berhati-hati padanya."Huh, sialan! Jika saja housekeeper itu tidak membocorkan identitas ku, maka Nella tidak akan berubah seperti ini hingga aku memberi kej
Sedangkan di tempat lain, saat ini Nella dan Yoga sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, Yoga mengatakan bahwa mereka akan menemui teman dokternya untuk membicarakan masalah bisnis baru mereka."Nanti aku tinggalnya di mana ya? Kan kalau tinggal di hotel pasti mahal," batin Nella seraya memandang ke luar jendela, ia tengah memikirkan akan menginap di mana, sebab Yoga nanti pastinya akan tinggal di rumahnya, dan Nella tidak mungkin akan menginap di rumah Yoga.Di saat Nella tengah melamun, tiba-tiba saja pundaknya terasa berat, saat ia menoleh ke kanan, Nella langsung dapat mencium rambut Yoga yang harum.Nella hanya bisa diam ketika melihat Yoga yang tertidur pulas menyandarkan kepalanya ke bahunya, ia tidak mungkin membangunkan Yoga karena merasa kasihan, sebab perjalanan mereka memang terlalu jauh untuk ditempuh menggunakan jalur darat.Untungnya saja bus yang mereka tumpangi terbilang bagus, dan bus yang mereka tumpangi ini memang khusus untuk perjalanan langsung ke Jakarta, jadi
Winda yang terlalu mencintai Sugeng dan tidak percaya bahwa ia sudah diceraikan, akhirnya dengan penuh kenekatan ia berangkat sendiri ke kota Malang, dengan hanya berbekal alamat yang diberikan oleh salah satu teman Sugeng yang berada di kampung mereka, kini akhirnya Winda sampai juga di depan rumah alamat tersebut.Dengan perasaan sedikit ragu Winda mulai mengetuk pintu rumah tersebut, akan tetapi ia terkejut ketika melihat yang membukakan pintu adalah seorang wanita cantik yang Winda perkirakan seumuran dengannya."Maaf, Mbak nya mau cari siapa ya?" tanya wanita itu ketika melihat sosok asing di hadapannya."Oh, maaf ini apa benar dengan rumahnya Mas Sugeng?"Belum sempat wanita itu menjawab, dari arah belakang wanita tersebut terdengar suara lelaki yang Winda kenal."Sayang, siapa tamunya?"Jantung Winda berdebar keras ketika mendengar suara laki-laki yang dirindukannya selama beberapa bulan ini, akan tetapi ia hampir limbung ketika melihat sosok lelaki itu dengan nyata.Sugeng ben
Beberapa bulan kemudian....Karena bisnis jualan online ternyata menjanjikan, maka dari itu kini Nella juga ingin menambah produk baru untuk jualannya, namun untuk yang ini ia ingin namanya sendiri menjadi merek dagang barang tersebut."Mas Yoga, setelah tahu rasanya jualan online, entah mengapa lama-kelamaan aku jadi ingin punya merek dagang sendiri gitu. Tapi, aku bingung, kira-kira aku cocoknya produksi apa ya?" ujar Nella, saat ini mereka berdua sedang duduk di bangku pantai setelah melakukan pemotretan.Yoga terlihat berpikir sejenak, lalu kemudian ia menjawab, "Bagaimana kalau skincare? Kebetulan aku punya seorang teman yang jadi dokter kulit, dan istrinya itu seorang dokter kecantikan. Jadi mereka berdua itu ingin memproduksi skincare, tapi sedang terkendala modal. Jadi, bagaimana kalau kita bekerja sama dengan mereka saja?""Hah, skincare? Tapi, itu kan modalnya nggak sedikit, Mas. Lalu aku berkontribusi apa untuk kerja sama ini? Aku kan juga nggak punya modal sebanyak itu.""
"Mbak, make up nya tolong jangan tebal-tebal ya? Aku nggak suka, hehe ....""Aduh, Mbak Nella ini ada-ada saja, Mbak tanpa makeup aja udah cantik, jadi ngapain harus tebal-tebal, Mbak? Mbak tenang aja, ini aku kasih tipis kok, jadi biar kelihatan natural."Nella mengangguk. Nella sebenarnya tidak menyangka jika hanya melakukan foto untuk model produk saja harus dandan seperti ini, padahal di FB saja banyak orang yang langsung foto dengan produk mereka tanpa perlu repot berdandan seperti ini."Mbak Mei, memangnya ini nggak berlebihan ya? Kenapa harus pakai blus on dan tetek bengek lainnya ini? Bukannya hanya memakai bedak dan lipstik saja sudah cukup?" tanya Nella pada fotografer yang sedang duduk tidak jauh darinya."Nggak berlebihan kok, Mbak Nell. Mbak sih belum lihat para selebgram memamerkan foto mereka, nah Mas Yoga ini maunya Mbak agar bisa terlihat seperti mereka, jadi biar sedikit lebih berkelas gitu dalam mempromosikan dagangan Mbak nantinya."Nella mengangguk. "Tapi, ini ka
Keesokan harinya....Winda dengan perlahan mulai membuka matanya saat mendengar suara seorang wanita yang sedang mengerang kesakitan. Ia sempat terkejut ketika melihat ranjang pasien di sampingnya telah ditempati seseorang."Oh iya, sekarang kan aku masih di rumah Bu bidan," batin Winda yang kemudian teringat dengan kejadian semalam."Bu Winda sudah bangun?" tanya Bu bidan yang baru saja masuk dan hendak memeriksa pasien di sebelah Winda.Winda mengangguk lemah, lalu kemudian bidan tersebut mengatakan, "Baiklah kalau begitu tunggu sebentar ya Bu, setelah saya memeriksa Mbak ini, nanti saya akan periksa Bu Winda."Lagi-lagi Winda hanya mengangguk, lalu setelah gorden yang berada di tengah mereka ditarik bidan tersebut, Winda kemudian mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, pantas saja suaminya sudah tidak kelihatan di sini, sebab mungkin saja Sugeng saat ini sudah berangkat bekerja.Winda tidak mempermasalahkan Sugeng yang tetap pergi bekerj