Laras kehilangan keseimbangan, tubuhnya hampir jatuh ke lantai, namun sepasang tangan besar Damar dengan cepat menangkapnya. Ia memeluk Laras erat, menahannya agar tak terjatuh. Waktu seakan berhenti sejenak. Mereka saling bertatapan, mata Laras yang basah oleh ketegangan bertemu dengan mata Damar yang penuh kelelahan dan luka. Di dalam sorot mata mereka, tersirat penderitaan yang mendalam, masing-masing membawa beban yang tak terucapkan. Laras melihat kilatan sesuatu di mata Damar—bukan hanya kemarahan atau kebencian yang biasa ia tunjukkan akhir-akhir ini, tetapi juga kerinduan yang tersembunyi, sebuah sisa cinta yang mungkin masih hidup di balik tembok dingin yang ia bangun. Damar, di sisi lain, melihat kepedihan dan keteguhan di mata Laras, sesuatu yang membuat hatinya terguncang meski ia tak mau mengakuinya. Pelukan itu, meski hanya sesaat, terasa seperti jeda dari dunia yang penuh kebencian di sekitar mereka—sebuah momen kecil yang membawa kembali bayangan masa lalu, ketika cint
Ratna meliriknya dengan tatapan penuh hina. “Aku tidak perlu minta persetujuanmu, Laras,” bentaknya. “Lagi pula, ini bukan rumahmu. Ini rumah Damar!”“Iya, Laras,” sambung Raka dengan nada sinis, melangkah mendekat. “Kamu tidak berhak melarang Sofia tinggal di sini. Kamu hanya orang luar yang kebetulan dinikahi kakakku!”“Aku ini istri Mas Damar!” balas Laras, tak mau kalah, suaranya meninggi penuh amarah. “Aku punya hak untuk mengizinkan siapa yang bisa tinggal di sini!”Ratna tertawa kecil, suaranya penuh ejekan. “Kau bukan lagi istri Damar ketika kau sudah menghianati Damar,” ucapnya dingin.“Aku masih sah menjadi istri Mas Damar!” Laras membela diri, tangannya mengepal erat. “Karena dia belum menjatuhkan talak padaku, jadi hakku sebagai istri masih ada di rumah ini!”Ratna semakin kesal, wajahnya memerah oleh kemarahan. Ia menoleh ke Damar dengan tatapan penuh tekanan. “Damar, cepat ceraikan saja dia sekarang!” ucapnya, suaranya penuh provokasi. “Biar dia tahu rasa karena sudah ber
Laras menatap Ratna dengan mata penuh tekad, meski cengkeraman itu membuat rahangnya terasa sakit. “Aku tidak akan menyerah,” balasnya, suaranya tegas meski bergetar oleh emosi. “Aku akan tetap bertahan di sini.”Ratna melepaskan dagu Laras dengan gerakan kasar, lalu tertawa kecil, suara itu penuh ejekan yang menusuk. “Kita lihat saja nanti, Laras,” ucapnya, matanya menyipit penuh keyakinan. “Siapa yang akan menyerah terlebih dulu, kau atau aku.”Sofia, yang berdiri di samping Ratna, melangkah maju dengan senyum licik menghiasi wajahnya. “Sebaiknya kau ikuti saja apa kata Tante, Laras, sebelum kau menyesali keputusanmu,” ucapnya, suaranya manis namun penuh racun. “Aku pastikan Mas Damar akan jatuh ke pelukanku. Dan saat itu tiba, aku pastikan kau ditendang dari rumah ini, lalu aku akan menggantikan posisimu sebagai ratu di rumah ini.”Laras menatap Sofia dengan mata berkilat, api perlawanan membakar di dadanya. “Tidak semudah itu menyingkirkanku, Sofia,” balasnya, suaranya penuh keyaki
Pelayan itu terdiam sejenak, matanya memandang Damar dengan simpati. Namun, Damar tak peduli. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya yang gemetar menunjuk ke arah pelayan. “Sekarang kamu pergi dari sini dan bawakan aku satu botol lagi minuman!” bentaknya, suaranya keras meski terdengar goyah oleh pengaruh alkohol.“Maaf, Pak, tidak bisa,” jawab pelayan itu dengan nada ramah namun tegas. “Kami tidak diperbolehkan memberi minuman lagi kepada tamu yang sudah sangat mabuk.”Damar mengerutkan kening, amarah tiba-tiba membakar di dadanya. Ia menatap pelayan itu dengan mata menyala, wajahnya memerah oleh campuran alkohol dan kemarahan. “Jangan kurang ajar, kamu!” bentaknya, suaranya menggema di tengah kebisingan diskotik. “Kau hanya pelayan di diskotik ini! Jadi sekarang cepat bawakan aku minumannya!” Selama ini, Damar tak pernah berkata kasar pada orang lain—ia dikenal sebagai pria yang tenang dan penuh kendali. Tapi malam ini, dalam kondisi mabuk, ia hilang kendali sepenuhnya, emosin
“Mas Damar, ayo kita pulang sekarang,” ucap suara wanita itu, lembut namun tegas, sambil memapah tubuhnya yang limbung. Damar mencoba menggeleng, namun gerakan itu hanya membuatnya semakin pusing. Wanita itu dengan hati-hati menyangga pundaknya, menuntunnya menuju sebuah mobil yang sudah diparkir di dekat sana, pintunya terbuka lebar menunggu kedatangan mereka.Di dalam mobil, seorang laki-laki duduk di kursi pengemudi, menatap ke depan dengan ekspresi datar. “Mas Raka, kenapa kamu diam? Cepat bantu aku memasukkan Mas Damar ke dalam mobil! Berat, tahu!” bentak wanita itu, yang ternyata adalah Sofia, suaranya penuh kejengkelan tapi tetap terkontrol.Raka tersentak, lalu buru-buru membuka pintu sisi pengemudi. “Maaf, Sofia, aku lupa,” ucapnya cepat, melangkah keluar untuk membantu. Ia meraih lengan Damar yang satunya, dan bersama Sofia, mereka mengangkat tubuh Damar yang nyaris tak sadarkan diri ke dalam jok belakang. Damar menggumam tak jelas, kepalanya terkulai ke samping, dan bau alko
Keesokan harinya, seluruh penghuni rumah dikejutkan oleh suara teriakan Sofia yang menggema memecah keheningan pagi. Teriakan itu penuh kepanikan dan tangis, membuat jantungan semua orang berdegup kencang. Langkah-langkah tergesa segera terdengar di lorong, menuju kamar Sofia yang terletak di lantai bawah. Ratna adalah yang pertama sampai, mendorong pintu kamar itu dengan cepat, disusul oleh Laras yang berlari dengan wajah pucat penuh kekhawatiran. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat pemandangan di dalam—Sofia meringkuk di atas tempat tidur, hanya mengenakan pakaian dalam, tubuhnya gemetar seolah ketakutan. Di sampingnya, Damar berbaring pulas, tubuh telanjangnya hanya ditutupi selimut tipis yang terselip hingga pinggang.“Sofia, apa yang terjadi?” tanya Ratna, suaranya pura-pura terkejut, meski matanya berkilat penuh kepuasan tersembunyi.Sofia masih tersedu-sedu, tangannya gemetar menunjuk ke arah Damar yang tak bergerak. “Mas… Mas Damar, Bu… Mas Damar sudah memaksaku untuk tidu
Damar terdiam, tubuhnya kaku di atas ranjang, matanya menatap kosong ke arah selimut yang menutupi tubuhnya. Pikirannya berputar liar, bingung mengambil keputusan yang tepat di tengah tekanan yang kian menderanya. Ratna, yang melihat keraguan anaknya, tak bisa lagi menahan kesabaran. “Jangan jadi lelaki pengecut!” bentaknya, suaranya nyaring menggema di kamar yang sempit itu. “Cepat putuskan! Apa yang akan kau lakukan untuk bertanggung jawab pada Sofia?” Desakan dalam nada suaranya seperti cambuk yang memaksa Damar keluar dari kebimbangannya.Damar menarik napas panjang, tangannya mencengkeram selimut erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya menimbang-nimbang, kembali pada luka yang ia rasakan—pengkhianatan Laras yang ia percaya, kebohongan tentang Indira yang ternyata bukan anaknya. Setiap ingatan itu seperti menambah beban di pundaknya, menghapus sisa keraguan yang sempat membuatnya ragu. Akhirnya, setelah hening yang terasa abadi, ia mengangguk pelan. “Baiklah, Bu,” uc
Setelah Laras pergi, ruangan itu kembali hening, hanya suara langkahnya yang perlahan menghilang di lorong meninggalkan gema samar yang terasa menyakitkan. Damar duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih setengah telanjang, selimut menutupi pinggangnya. Ia menunduk, tangannya mencengkeram tepi selimut dengan erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Tiba-tiba, ia bergumam lirih, suaranya serak dan penuh kebingungan, seolah kesadaran mulai merayap kembali ke dalam pikirannya yang masih kacau oleh sisa mabuk. “Laras…” ucapnya pelan, nama itu terlepas dari bibirnya tanpa disadari, seperti panggilan dari hati yang tak bisa ia kendalikan.Damar sendiri bingung dengan sikapnya. Satu sisi, ia membenci Laras—setiap kali mengingat pengkhianatan yang ia percaya telah dilakukan istrinya, amarah membakar dadanya, membuatnya ingin menghapus semua kenangan tentang wanita itu. Namun di sisi lain, ada cinta yang masih bersemayam di sudut hatinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia matikan meski ia berusaha
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika
“Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete
Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s
Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek