"Mereka memang pergi ke sana," cicit Marsha yang melihat tampilan layar laptop untuk kesekian kalinya. Di sana terpampang jelas Andrew yang mulai kehilangan kesadarannya, di papah okeh Pricilla. Perempuan itu tampak memesan kamar hotel, lalu dibantu dengan petugas hotel Andrew dibawa masuk ke sana."Mereka benar-benar memesan kamar hotel?" Tanya Jidan yang masih terkejut. Sementara Julea hanya diam saja, dia tak berkomentar apa-apa meskipun sudah melihat rekaman kamera pengawas itu dengan jelas. Air mata perlahan meleleh membasahi wajahnya, namun buru-buru Julea menghapusnya kasar dengan punggung tangannya. "Bukan mereka, tapi Pricilla. Perempuan itu yang memesan kamarnya, dan aku yakin ini memang keinginannya." Julea berkata yakin, sembari tangannya sibuk membereskan barang bawaannya. Kening Jidan dan Marsha bertaut, mereka tak mengerti aoabyang ingin Julea katakan. Hanya saja mereka paham bagaimana perasaan gadis itu sekarang. "Apa maksudmu itu, kau curiga kalau ini adalah sken
Hari berikutnya Julea tidak bisa fokus sama sekali dengan pekerjaannya, kejadian yang menimpa Andrew semalam membuatnya berpikir keras bagaimana menghadapi semuanya. Jika memang benar ini adalah keinginan Pricilia untuk menghancurkan hubungannya dan Andrew, maka Julea masih bisa mengatasinya. Tapi jika tujuan perempuan itu adalah merusak nama baik Andrew, maka itu tidak mungkin diselesaikan semudah membalikkan telapak tangan. "Jule!" Panggil Marsha sembari menepuk pundak Julea, gadis itu masih duduk di tempatnya. Marsha menggeser kursi yang dia duduki agar lebih dekat dengan Julea, saat ini jam yang menggantung di dinding kantor menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah waktunya para karyawan beristirahat, tapi Julea tidak menyadari hal itu sebab terlalu banyak melamun."Eh iya?" Julea tergagap, dia tersenyum canggung. "Kau melamun, apa yang kau pikirkan?" Tanya Marsha khawatir, apalagi saat melihat monitor komputer di meja Julea yang hanya mengetikkan satu huruf saja sampai berbari
Di saat yang sama ponsel Andrew berdering, ada panggilan masuk di sana. Sontak Andrew menoleh begitu juga dengan yang lain. Ada nama Herfiza di sana, buru-buru Andrew mengangkat telfon itu dan menempelkan benda pipih bermerek ternama itu ke telinga sebelah kanannya. "Halo mam, ada apa?" Tanya Andrew yang berusaha menetralkan suaranya, dia tidak mau terdengar tengah menahan amarah. ["Ada di mana kau?] Tanya Herfiza yang terdengar marah, suaranya sangat ketus dengan nada bicaranya yang dingin. "Aku sedang ada di restoran Chinese dekat kantor untuk makan siang dengan Julea dan dua karyawan ku," jawab Andrew jujur. Terdengar helaan nafas yang kasar dari seberang sana, Herfiza pasti sedang susah payah mengendalikan diri. ["Lekas kembali ke kantor, aku menunggu mu di ruang kerja mu! Dan iya, bawa juga Julea menemui ku!"] Perintah Herfiza mutlak, sedetik kemudian panggilan itu dimatikan sepihak olehnya. Bahkan sebelum Andrew memberikan jawaban ataupun tanggapan. Tut Tut Tut!Julea meno
Setelah selesai dengan kalimatnya, Herfiza bergeser dari tempatnya semula. Wanita itu tampak mengambil sesuatu dari dalam tas jinjing dari salah satu brand ternama yang teronggok di sofa. Brak!Herfiza melemparkan sebuah berkas pada Andrew tepat didepan wajah pria itu. "Lihat itu baik-baik, apa sekarang kau masih berharap aku akan percaya padamu setelah semua bukti-bukti itu?" Tanyanya pada Andrew yang masih tersentak atas perlakuannya. Jujur saja ini adalah pengalaman pertama bagi Andrew mendapatkan perlakuan sebegitu kasar dari sang ibu. Andrew melirik ke bawah, tempat dimana kertas-kertas bergambar tergeletak mengenaskan dibawah kakinya. Bola mata Andrew melebar sempurna saat melihat isi dari gambar di kertas tersebut. Di sana ada cetakan foto-foto tidak senonoh yang diambil saat Andrew tak sadarkan diri malam itu. "Jawab Andrew apa aku masih bisa percaya padamu? Apa pantas kau mendapatkan kepercayaan itu?" Tanya Herfiza dengan nada tinggi. Mendengar itu semua Andrew hanya diam
"Apa? Bagaimana bisa kau malah setuju dengan usulan Andreas yang tidak jelas Julea?" Tanya Andrew yang makin frustasi saat menceritakan apa yang dia lakukan saat di kantor siang tadi. Saat ini mereka berdua tengah ada di rumah, waktu makan malam yang biasanya sangat damai berubah menjadi medan pertempuran bagi keduanya. Baik Andrew atau Julea sama-sama meninggikan suaranya masing-masing dan memberikan tatapan tajam pada lawan bicaranya. "Kau Itu selalu meragukan orang lain, tapi tak pernah cari tahu dulu bagaimana cara menyelesaikan masalahmu sendiri. Ingat Andrew, ini adalah cara yang terbaik untuk membungkam mulut Pricilla itu, lagi pula dia tidak tahu kalau kalian itu punya wajah yang amat sangat mirip. Jadi kita bisa mengelabui dia dengan bantuan Andreas," sergah Julea dengan mata yang menatap Andrew nyalang. Andrew terdiam, dia memang tidak pernah mengatakan pada Pricilla jika memiliki saudara laki-laki yang wajahnya mirip dengannya. Tapi bukan berarti Pricilla tidak tahu, per
Andreas menggeser duduknya, dia mulai menjelaskan detail rencana yang akan dia gunakan untuk menolong sang kakak. Setelah diskusi panjang dengan Julea dan Marsha, mereka kemudian menemukan satu keputusan. "Jadi kita akan menjebak Pricilia seolah-olah Andrew kalah dari perempuan itu dan mau menuruti semua permintaannya begitu?" Marsha mengulang lagi inti diskusi mereka bertiga malam ini. Hal itu diangguki oleh Andreas dan Julea, mereka sudah mantap melakukan rencana ini. Dengan begitu mereka bisa mendapatkan bukti-bukti baru yang bisa digunakan untuk melawan Pricilla. "Benar sekali, jika bukti-bukti yang kita miliki sudah cukup maka kita bisa mengajukan masalah ini ke pihak yang berwajib. Tidak apa-apa jika harus menanggung sedikit malu, toh nanti kita akan memberikan hal yang baik bagi Andrew." Andreas membenarkan ucapan Marsha. "Jadi kapan kita akan memulai rencana ini?" Tanya Marsha lagi. Dia kini membagi atensinya pada Julea dan Andreas. Tapi untuk pertanyaan yang ini Andreas t
Julea masih berdiri tegap memandang lurus ke arah perempuan tak tahu malu itu. Ya, tak tahu malu! Bagiamana tidak, perempuan itu malah duduk dengan tenang sembari menyilangkan kakinya di sofa. Tangannya sibuk mengupas apel yang memang ada di atas meja ruang tamu, itu pasti buah yanag sengaja Andrew keluarkan untuk menjamu Jidan tadi. Pricilla menolehkan kepalanya dan melemparkan pandangan acuh tak acuh. "Rumahmu? Apa aku tak salah dengar, uang dari mana kau bisa membeli hunian mahal di tempat ini hah? Dasar perempuan rendahan," cibir Pricilla yang tak gentar sedikitpun dengan tatapan tajam dari Julea maupun Andrew. "Berhenti menghina istri ku Pricilla, sebaiknya kau segera pergi dari rumah ini karena kau tidak diterima oleh kami!" Andrew segera menjawab, dia tidak terima sang istri diperlukan buruk oleh siapapun. Julea tersenyum manis melihatnya, dia bersyukur memiliki Andrew sebagai suaminya. Tapi senyuman itu tak bertahan lama setelah Pricilla kembali bersuara. "Cih! Apa tadi
Andrew tengah terduduk di ruang tengah rumahnya, dia masih mengatur nafasnya yang memburu sejak pertemuannya dengan Pricilla. Berulang kali pria itu mengecek ponselnya, seolah takut jika tertinggal informasi barang sedetik saja. Jidan sudah pulang sejak satu jam lalu. Sementara Julea tengah membuatkan teh hangat untuknya."Andrew," panggil Julea pelan sekali ketika dia duduk di samping Andrew yang masih kalut.Pria itu menoleh dan berusaha tersenyum sekilas, meski begitu Julea tahu kalau itu adalah senyuman yang hambar dan tidak ada maknanya. "Hmm ya ada apa Jule, kau belum tidur? Ini sudah malam," tuturnya penuh perhatian. Dia juga tak lupa mengusap pucuk kepala Julea penuh sayang. "Aku akan tidur nanti, tapi bagaimana denganmu. Kau tampaknya tak baik-baik saja," sahut Julea yang menatap wajah Andrew dengan tenang. Andrew menghela nafas panjang, kemudian dia menyandarkan kepalanya ke sofa sembari menatap langit-langit rumah mereka yang berwarna broken white. "Mana bisa aku baik-bai
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda