Share

#13. Menolak, bukan Ditolak

Penulis: Kanaya Aruna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Girl your heart, girl your face is so, different from them others,

I'll say, you're the only one that I'll adore,

Cause every time you're by my side,

My blood rushes from my veins,

And my geeky face, blushed so silly...

Dentingan musik dari radio yang sengaja kuhidupkan demi menghapus sunyi di antara jalanan sore Jakarta yang padat. Pemilik suara dari Petra Sihombing membuatku terombang-ambing dengan tenangnya. Bersama dua netra yang selaras fokus pada langit di depan, pangkal-pangkal mulutku terangkat simpul. Sebentar lagi, setelah 2 bulan lamanya aku tak membaui aroma jalan yang berkabut ini.

Sengaja tak ku-balas beberapa pesannya sejak pagi. Aku sengaja memupuk amarah pria itu, bagus-bagus jika meledak dan berakhir aku ledek balik sembari tertawa. Semua naskah dan skenario yang telah kurangkai sekaligus prediksi begitu mulus. Lagu mine ini, lagu yang seharusnya tak ku-putar karena berujung gregetan sendiri.

Butuh sekitar 20 menit dari rumahku untuk menuju rumah pemuda itu. Melewati
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #14. Uring-Uringan

    "Pulang kkn kok cemberut sih kak. Kenapa? Tugasnya susah?" Ibu bertanya yang membuatku tersadarkan dari lamunan. Dengan mulut masih menguyah lauk, tak urung tangan mengaduk-ngaduk nasi sedari 5 menit yang lalu, aku menggeleng dengan senyum tipis."Bukan karena kkn Bu, Si kakak ribut lagi ini sama Kak Orick." mulutku yang semula tersenyum berubah menjadi garis tajam yang menukik ke atas. Leherku refleks berputar ke arah Erin. Dan tidak takutnya, adikku itu justru mengangkat dua alisnya seolah berkata--emang gue salah?"Ribut kenapa lagi kak?""Nggak, dia sok tahu." Aku kekeuh menggeleng dengan tampang datar. Kembali menyuap makan tapi mataku mengintai Erin agar tidak macam-macam."Aku tahu lah, orang Kak Orick sendiri yang ngechat nanyain keadaan kakak. Aku jawab aja lagi uring-uringan di kamar."MasyaAllah...Berubah lagi senyumku menjadi lebih manis, lebih lebar, dan lebih terpaksa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kelakuan Erin. Jika hubungan ini tak ku-perbaiki dan tak

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #15. Afirmasi dan Afeksi

    Tapi detik itu, saat aku mencoba untuk membenarkan posisi napas, tawa Orick malah membuncah dengan suara menyebalkan. Akhirnya, aku menelan bulat-bulat kesabaranku."Ngapain ketawa? Ada yang lucu?" dua mataku meruncing dengan sendirinya."Kamu.""Aku nggak ngelucu." Aku masih menjaga gestur tubuhku. Tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Menunggu dia menyelesaikan tawanya, dan saat tangannya tergerakan ke atas kepalaku, lebih dulu ku-tepis sebelum rambutku diacak-acak."Kamu kalau lagi marah-marah lucu banget sih Nar." ada ya orang yang senang dimarahi. Lucu darimananya coba? Padahal wajahku sudah mirip singa begini.Dan isengnya Orick, dia kerap kali menertawakanku jika sedang marah-marah begini. Tidak seperti orang-orang yang jika marah itu dipeluk, dicium, boro-boro pret. Dia justru mengejekku dengan sifat watadosnya. Contohnya kala ini, dia berhasil menggoyang-goyangkan pipiku."Ya aku datang kesini tuh ingin menegaskan kalau aku dan Clara itu cuman temen. Dia ke rumahku tuh kar

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #16. Moon Sky

    Aku melihat bagaimana rembulan bersinar disaat langit menggumpal hitam. Seandainya ku-umpamakan adalah malam, Orick bukanlah bintang ataupun hamparan gelap itu.Jika aku pagi, maka dia adalah senja. Jika aku dingin, maka dia adalah panas. Jika aku angin, maka dia adalah cahaya. Jika aku musim, maka dia adalah waktu. Yakni jika aku malam, dia adalah siang. Kami tidak berjalan dalam detik yang serupa. Namun kami berjalan dalam arah yang saling berhubungan. Jika tanpa malam siang takkan hadir, begitu pula sebaliknya. Jika bukan aku yang bersamanya, maka aku tidak akan berdiri di tanah ini. Tidak akan ada skenario yang bahagia layaknya kehidupan yang abadi.Kalau bukan dia, mungkin aku takkan memiliki alasan untuk bertahan. Kalau bukan dia, mungkin takkan ku-lakukan sekelumit naskah memilukan ini. Kalau bukan Orick, mungkin tak kubangun afirmasi serta afeksi yang saling menyokong untuk aku hidup. Apa yang salah dari mencintai terlalu dalam? Siapa yang merasakan ini? Hanya aku, bukan orang

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #17. Setempat Kita Bercengkrama

    "Nanti, kalau kamu ambil S2 bakal sekalian kerja dulu nggak? Apa mau fokus lagi kelulusan?" topik berubah. Dia bertanya hal lain dengan sebelah tangan melilit di ujung rambutku.Atmosfer semakin hening. Jeda kendaraan semakin malam semakin lengang. Angin yang berhembus semakin dingin selayaknya arah jarum jam berlalu. Aku tidak tahu pasnya pukul berapa, tapi yakin ini sudah lewat tengah malam. Dalam keheningan ini, aku tersenyum tipis memandang langit tanpa bintang jauh di seberang."Opsi pertama sepertinya.""Wah keren, nanti aku kerja kamupun begitu. Kita nabung sama-sama ya buat biaya nikah?""Heh!" Aku refleks menyentil mulutnya. "Makin malem makin sompral itu mul---awh!" sialannya, dia membalas dengan menarik ujung rambutku."Kamu nggak mau nikah sama aku? Cukup tahu aja sih." suaranya yang berubah menjadi datar. Ceritanya merajuk, namun tangannya tetap gatal memainkan rambutku. Dasar bocah."Kamu sadar nggak kamu bilang apa?" ujarku sedikit bersungut. Sebal dengan dia yang mudah

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #18. Apa Lagi yang Dia Lakukan?!

    Dahulu, sebelum aku memutuskan untuk membuka jati diriku, aku pernah rasakan sepinya dunia dan lelahnya menelan segala kerapuhan sendiri. Padahal ku-tahu jika manusia diciptakan menjadi makhluk yang tak sempurna agar terlaksananya kerja-sama dan saling bergandengan. Manusia mana yang bisa hidup sendiri? Hanya pikiranku kala itu yang bisa berdiri sejauh itu.Aku yang selalu memberi tekanan tersendiri untuk berdiri dengan kedua kakiku alih-alih menopang pada yang lain. Aku yang selalu menerapkan sistem, bahwa telinga membuka lebih baik ketimbang mulut bergerak. Aku yang selalu memantapkan diri untuk berlaku sempurna di hadapan banyak orang, tanpa kekurangan yang bisa keluar dari celahku. Aku yang selalu memperingati diri agar tidak berlaku lemah di hadapan yang lain. Hanya aku dan malam yang tahu bagaimana rumitnya menjalani kehidupan dengan bermacam-macam topeng.Baik-baik saja? Oh ya, tentu. Aku selalu mengumumkan pada semua orang bahwa hidupku baik-baik saja. Maka tidak aneh ketika b

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #19. Pertukaran Rasa Galau

    Seperti jambret yang tugasnya melanglang barang berharga milik orang lain, Kamala benar-benar membuatku harus mengikuti kemana langkahnya pergi. Aku tidak akan menyebutkan nama kafenya, tapi yang jelas berada di pinggiran jalan. Tidak terlalu jauh dari kampus, cukup 15 menit kami mengendarai mobil tanpa kemacetan sebab ini masih pukul 3 belum turun ke angka 5 petang hari.Dia yang memaksaku untuk mengasingkan diri dari Orick. Dia yang bertekad untuk menenangkanku, pada akhirnya malah aku yang menyenangkannya dengan pesanan makanan bertumpuk di atas meja. Oknumnya sibuk bagai juri master chef yang mengicip ini dan itu. Sementara aku adalah peserta lomba yang memasang wajah lelah."Lo nggak dikasih makan ama bapak lo berapa tahun?""Bismillah dulu lo kalau ngomong!" Dia berdecak dengan mata monolid menyipit padaku. Hal spele begitu yang tadinya ingin kuseriusi, berakhir membuatku tergelak. Ah sial, repotnya memiliki jiwa receh.Sekarang, aku malah memberisiki lingkungan kafe yang sedang

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #20. Keping Demi Keping Mulai Memulih

    Gadis tomboy yang kelakuannya humoris itu tidak disangka-sangka bisa jatuh hati pada seorang lelaki dingin macam Abi. Jika kuingat bagaimana gemasnya tingkah Kamala, dia banyak bergaul dengan kaum adam alih-alih hawa. Belum lagi sifat magerannya yang membuatku takjub, bagaimana bisa dia menjalin hubungan jarak jauh? Sedangkan dia bukan perempuan yang neko-neko."Nggak anjir, gue cuman nanya doang barusan! Elah, males amat galau-galauan!" justru dengan dia berkilah, aku semakin puas menertawainya."Kak, please deh. Ketimbang gue seneng punya cowok kayak Abi----""Cieeeeee, ulululu bucin banget sih La!" potongku. Dia terlihat menghela napasnya dalam-dalam, bahkan matanya yang jengah seperti ingin memarahiku. Tapi aku bertaruh, dia tidak akan seberani itu."Nyebelin banget sih kak, padahal gue lagi seneng karena keadaan rumah."Aku tertegun sebentar. Tawaku lagi-lagi melempem, dan bola mataku melebar kurang percaya. Aku tidak salah dengar, dia senang karena keadaan rumah?"Keadaan rumah?

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #21. Kakak Ingin Se-ceria Kamu, Erin

    Langit berubah mendung sejak kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekitar saat maghrib selesai, aku dan Kamala langsung sepakat berpisah sebab masih ada urusan yang harus kami urus. Bukan apa-apa, dia yang memiliki tugas, aku jua memiliki penyelesaian akhir alias skripsian yang harus ku-urus buru-buru.Datang ke pekarangan rumah, ketika aku memasukan mobil ke depan garasi, terpantau bapak seperti biasa nangkring di depan teras bagai satpam. Dengan koran yang menutupi wajahnya, secangkir kopi tergolek di sisi meja, lantas lampu teras dan taman sudah berjajar menyala. Pemandangan ini bisa disebut sebuah hal wajib. Makanya jika sekali-kali bapak tak nampak di sana, aku selalu merasa aneh.Suara pintu yang kubanting cukup mengalihkan atensinya hingga empat mata itu menoleh ke arahku. Bila bapak lelah memulai sebagai yang pertama, aku yang akan memberikannya senyum sebagai pembuka. Kadang kala jika kuingat bagaimana pandanganku dahulu terhadap keluarga, selalu membuatku sed

Bab terbaru

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #87. Pertanda Hujan

    Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #86. Biru Langit Menyakitkan

    "ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #85. Lembayung Terakhir

    Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #84. Blank Compass

    "Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #83. Mayoritas Selalu Benar

    Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #82. Ceo Menyebalkan

    "Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #81. Kolase Duka

    "Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #80. Ada Begitu Banyak Pilihan Dalam Hidup

    Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #79. Cause I'm Your Home

    Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid

DMCA.com Protection Status