Hampir semalaman, Mayzura tidak dapat tidur karena memikirkan banyak hal. Merasa tertekan dengan segala masalah yang menimpanya, Mayzura memutuskan untuk pergi pagi ini. Dia membutuhkan udara segar supaya bisa berpikir lebih jernih. Namun, Mayzura menunggu sampai sang ayah berangkat ke kantor, barulah dia akan keluar dari kamar. Jujur, dia sedang tidak ingin bertemu muka dengan ayahnya itu.
Setelah mendengar deru mobil sang ayah, Mayzura perlahan membuka pintu kamarnya. Melihat kondisi rumah yang lengang, Mayzura bergegas menuju ke dapur untuk mencari Bi Darti.“Bi Darti, apa Sadewa ada di rumah?” tanya Mayzura.“Sadewa izin keluar sebentar, katanya mau mengambil baju dan barang-barangnya di kos, Non.”Wajah Mayzura seketika berubah ceria karena dia punya kesempatan untuk pergi diam-diam.“Bagus, aku akan pergi sebentar. Di mana kunci mobilku, Bi?”Bi Darti membasahi bibir bawahnya sebelum menjawab pertanyaan Mayzura. Pelayan setia keluarga Nugraha itu takut bila sang Nona akan marah besar.“Kun-ci mobil dibawa oleh…Sadewa. Dia memakai mobil Non untuk pergi ke kosnya,” jawab Bi Darti terbata-bata.Sontak, darah Mayzura serasa terkumpul di ubun-ubun. Andai saja Sadewa ada di hadapannya saat ini, sudah pasti dia akan memaki pria tidak tahu diri itu.“Apa?! Beraninya dia menggunakan mobilku tanpa izin lebih dulu. Aku akan membuat perhitungan dengannya!” pekik Mayzura dengan emosi yang memuncak.“Sabar, Non. Sadewa membawa mobil itu atas perintah dari Tuan Agam. Tuan bilang Non Mayzura tidak boleh mengemudikan mobil sendiri tanpa pengawasan,” jelas Bi Darti.“Papa benar-benar keterlaluan. Kalau begitu aku akan memesan taksi online, yang penting aku bisa keluar dari neraka ini.”Sambil menghentakkan kakinya, Mayzura berjalan cepat meninggalkan dapur. Namun, Bi Darti berusaha untuk mengerjarnya dari belakang.“Tunggu, Non, Anda tidak bisa keluar dari rumah. Tuan Agam berpesan supaya pintu depan dan gerbang ditutup. Saya dan Pak Benu tidak boleh membukanya,” seru Bi Darti.Secara refleks, Mayzura membalikkan punggung lantas memandang Bi Darti dengan tatapan nanar.“Oh, jadi Papa ingin membuatku jadi tahanan rumah? Baiklah, Bi, aku akan menuruti kemauan Papa. Dia lebih suka melihat putrinya menderita daripada bahagia.”Untuk kesekian kalinya, rongga dada Mayzura terasa sangat nyeri. Segera dia berlari menuju ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Sungguh, gadis itu ingin sekali melakukan sesuatu untuk menyalurkan rasa frustasinya.Sambil berurai air mata, Mayzura membuang semua peralatan make up di meja riasnya. Toh, tidak ada gunanya ia berdandan cantik selama ini, karena hidupnya akan hancur di tangan sang ayah.Di kala air matanya sedang menganak-sungai, Mayzura mendengar getaran ponselnya yang terus berulang. Melihat nama Enzio yang tertera di layar, Mayzura pun menyeka air matanya. Dia merasa perlu menyelesaikan urusannya dengan pria pengecut itu sekarang juga.“Ada urusan apa kamu meneleponku?” tanya Mayzura dengan suara sinis.“Sayang, kenapa kamu ketus sekali padaku? Kamu marah padaku?” balas Enzio dari balik telepon.“Jangan memanggilku “Sayang”, karena itu membuatku muak. Kamu masih bertanya apa aku marah? Aku menunggumu di danau sampai dikejar oleh penjahat, tetapi kamu sama sekali tidak muncul,” cecar Mayzura.“Aku sengaja tidak datang supaya kamu bisa berpikir ulang, May. Sudah kukatakan sejak kemarin, aku tidak setuju jika kita kawin lari. Kita masih bisa mencari jalan keluar lain,” jawab Enzio beralasan.“Hentikan omong kosongmu, Zio! Kamu hanya seorang pria pengecut yang mementingkan diri sendiri. Mulai detik ini, hubungan kita berakhir. Kita putus! Jangan pernah menelepon atau menemuiku lagi,” tandas Mayzura seraya menahan lara di hatinya.Enggan mendengarkan suara Enzio, Mayzura mematikan ponselnya. Gadis cantik itu membenamkan wajahnya di bantal, berusaha meredam isak pilunya dalam keheningan.Lelah mengeluarkan air mata ditambah kurang tidur semalam, membuat Mayzura akhirnya terlelap. Layaknya orang yang pingsan, gadis itu baru tersadar sekitar pukul tiga sore. Itu pun karena dia mendengar bunyi ketukan, diiringi suara perempuan yang memanggil namanya.“Non, tolong buka pintunya. Non Mayzura harus makan sekarang, ini sudah lewat jam makan siang,” seru Bi Darti.“Aku tidak lapar, Bi,” jawab Maura dengan suara parau.“Tetapi dari pagi Non belum makan apa pun, nanti bisa jatuh sakit,” bujuk Bi Darti terdengar khawatir.“Aku tidak peduli! Tinggalkan kamarku sekarang juga, Bi!”Dari balik pintu, Mayzura mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat.“Nona Mayzura, buka pintunya! Jangan bersikap seperti anak kecil.”Suara Sadewa yang terdengar di depan kamarnya, membuat Mayzura semakin meradang. Dia lebih memilih untuk berpuasa seharian penuh daripada harus berinteraksi dengan pria itu.“Terserah kamu mau bilang apa, aku tidak akan pernah membuka pintu!” teriak Mayzura dengan sisa tenaga yang dia punya.“Baiklah, Nona, aku hitung sampai tiga. Jika Nona tetap tidak membuka pintu, aku akan mendobraknya.”“Coba saja kalau bisa. Aku yakin kamu hanya sekadar menggertak. Lenganmu saja belum sembuh, mana mungkin bisa mendobrak pintu,” balas Mayzura meremehkan kemampuan Sadewa.Diam-diam Sadewa menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Dia akan menunjukkan kepada Mayzura bahwa luka sekecil ini tidak akan menghalangi seorang Sadewa Ranggatama untuk menjalankan aksinya.“Oke, aku hitung mundur mulai sekarang. Tiga…dua…satu….”Brakkk!Mayzura terpekik kaget mendengar pintu kamarnya ditendang dengan keras. Alhasil, dia melihat Sadewa beserta Bi Darti sedang berdiri di ambang pintu.“Dasar Om-om gila, kamu sudah merusak kamarku!” umpat Mayzura.Sadewa tidak menanggapi perkataaan Mayzura dan malah meminta nampan yang dibawa oleh Bi Darti.“Berikan makanannya kepadaku, Bi. Aku akan membuat Nona Mayzura menghabiskan makan siangnya.”“Iya, Sadewa. Tolong bujuk Nona Mayzura,” ucap Bi Darti lantas berlalu ke dapur. Dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membujuk sang nona muda.Sesudah Bi Darti pergi, Sadewa pun masuk ke kamar Mayzura. Melihat pria itu menyambangi ranah pribadinya, Mayzura segera bangkit dari tempat tidur. Dia harus memasang mode waspada bila berhadapan dengan pria menyebalkan yang satu ini.“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamarku?”“Aku sendiri, karena ini keadaan darurat. Papamu sudah memberikan mandat kepadaku untuk mengurusmu. Gadis yang masih kekanak-kanakan sepertimu harus ditangani dengan tegas,” kata Sadewa sembari meletakkan nampan di tangannya.Tanpa pikir panjang, Mayzura mendorong tubuh Sadewa agar keluar dari kamarnya. Namun usahanya terasa sia-sia, karena Sadewa sama sekali tidak bergeming.“Pergi sana! Aku benci melihat wajahmu,” usir Mayzura.“Aku tidak akan keluar sebelum kamu makan. Bila perlu aku akan memaksamu untuk membuka mulut dengan caraku, Nona Kecil,” pungkas Sadewa dengan tatapan tajam.Mayzura melayangkan tatapan sinis kepada Sadewa ketika pria itu duduk di tepi tempat tidurnya. Buru-buru Mayzura memundurkan tubuhnya untuk menjaga jarak. Memang Sadewa telah menyelamatkan hidupnya, tetapi saat ini Mayzura justru merasa alergi untuk berdekatan dengan pria ini.“Aku tahu kamu pura-pura perhatian padaku demi menarik simpati Papa. Sayangnya, kamu tidak mungkin berhasil karena aku tidak akan makan,” putus Mayzura dengan mata memincing. Sadewa menaikkan setengah alisnya sambil bersedekap. Melihat betapa keras kepalanya Mayzura, Sadewa justru merasa tertantang untuk menaklukkan gadis muda ini. “Selama kamu tidak makan, selama itu pula aku akan terus berada di kamarmu,” jawab Sadewa dengan enteng.“Silakan saja, aku tidak peduli. Bukankah kamu adalah bodyguard-ku? Sudah menjadi tugasmu untuk selalu berjaga di sekitarku. Kita lihat saja, kamu atau aku yang akan bertahan di kamar ini,” tukas Mayzura acuh tak acuh.Gadis itu berjalan menuju ke rak di sudut kamar, lalu mengambi
Sadewa memperhatikan Mayzura yang makan dengan lahap. Dalam sekejap saja, spaghetti di piring tersebut sudah habis tak bersisa. Senyum tipis pun terbentuk di bibir Sadewa, ia tahu bahwa Mayzura sebenarnya sangat lapar, hanya saja gadis itu lebih mementingkan gengsi daripada kesehatannya.“Ternyata kamu bisa juga menjadi gadis yang penurut,” puji Sadewa.Mayzura meneguk habis jus alpukat yang dibuatkan oleh Bi Darti, sembari memutar bola matanya jengah. Dia malas sekali menanggapi sindiran dari pria yang arogan ini.“Kemenanganmu ini tidak akan berlangsung lama, Om Sadewa. Tidak lama lagi aku akan menendangmu keluar dari rumahku,” ketus Mayzura.“Aku memang hanya sebentar menjadi bodyguardmu. Setelah kamu menikah, aku akan pergi dari sini,” ucap Sadewa berjalan menuju ke pintu.Merasa kewajibannya sudah selesai, Sadewa bergegas keluar dari kamar gadis itu. Akan tetapi, baru beberapa langkah pria itu kembali membalikkan badannya.“Sekadar pemberitahuan, jika kamu bosan di dalam kamar, a
Belum sempat Mayzura menjawab, ponsel di dalam tasnya berdering nyaring. Sadewa pun terpaksa melepaskan Mayzura dan membiarkan gadis itu menerima telepon. “May, kenapa kamu belum keluar? Aku sudah menunggu di depan gerbang sejak tadi. Kalau kamu tidak jadi ke klub, aku akan berangkat sendiri,” omel Bryana. Mayzura menjadi panik karena ia tidak mau ditinggal oleh sahabatnya itu. “Jangan pergi dulu, Bry, aku akan membereskan masalahku sebentar.” “Aku tunggu lima menit lagi, May,” jawab Bryana lantas mematikan sambungan telepon. Melihat wajah Mayzura yang berubah mendung, Sadewa mencoba bertanya dengan cara yang lebih lembut. “Bagaimana, Nona, mau aku temani ke klub?” Mayzura berdecak kesal sembari menatap pria yang kini menjadi musuh terbesarnya itu.“Baiklah, aku akan mengajakmu. Tetapi kuperingatkan, jangan dekat-dekat denganku selama berada di klub. Dan sebelum pergi, ganti dulu bajumu yang jelek ini,” tunjuk Mayzura. Pasalnya, Sadewa hanya mengenakan kaos oblong berwarna puti
Sadewa masih terus memantau mobil yang mengikutinya melalui kaca spion. Tak disangka mobil itu kemudian berbelok ke sebelah kiri, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh Sadewa. Nampaknya si pengemudi sudah tahu bahwa ia sedang dicurigai.Setelah mobil itu pergi, Sadewa tidak mengurangi tingkat kewaspadaannya. Dia harus selalu melindungi Mayzura hingga gadis itu pulang ke rumah dengan selamat. Sadewa tidak akan membiarkan siapapun sampai melukai Mayzura barang seujung jari pun.Baik Sadewa maupun Mayzura tidak saling bicara hingga mereka tiba di Klub Sunday. Suasana di klub itu cukup ramai, tak hanya oleh kalangan anak muda, tetapi juga orang-orang dewasa yang ingin melepas kepenatan. Pesta semacam ini memang sangat ditunggu-tunggu oleh para lelaki mata keranjang yang ingin berburu wanita cantik.Ketika Sadewa memarkirkan mobil di samping Bryana, Mayzura buru-buru keluar dengan perasaan tidak nyaman. Sebenarnya Mayzura bukanlah tipe gadis yang suka dengan hingar bingar dunia malam.
Walaupun kesadarannya berangsur melemah, Mayzura masih berusaha mempertahankan kewarasannya. Bagaimanapun naluri bawah sadarnya sebagai putri dari keluarga Nugraha sudah mandarah daging. Semabuk apa pun kondisinya, Mayzura akan tetap membela kehormatannya sendiri. “Brengsek! Lepaskan aku!” umpat Mayzura. Ingin sekali dia menendang bagian sensitif Mike dengan kaki jenjangnya. Namun tubuh Mayzura yang sempoyongan, membuat gadis itu tak mampu bergerak. Terlebih cengkeraman tangan Mike terlampau kuat untuk dilawan. Sungguh Mayzura merasa tak berdaya di bawah kendali lelaki ini. “Percuma kamu menolakku, Baby. Kamu tidak akan kulepaskan sebelum aku puas menghancurkanmu di atas ranjang. Aku akan segera membawamu keluar dari sini,” bisik Mike dengan suara serak. Pelupuk mata Mayzura mendadak dipenuhi cairan bening, saat Mike hendak meraup bibirnya dengan kasar. Namun di saat bersamaan, seorang lelaki menarik tubuhnya dari arah berlawanan sembari melayangkan bogem mentah ke wajah Mike. Buu
Mayzura merasa harus melampiaskan amarahnya sekarang juga, terutama terhadap laki-laki bernama Sadewa. Bagi Mayzura, Sadewa adalah pembawa nasib buruk dalam kehidupannya. Bagaimana tidak. Sejak bertemu dengan lelaki ini di danau, kesialan demi kesialan tak henti menimpa dirinya.Pengaruh alkohol yang sedang menguasainya, membuat hasrat Mayzura semakin menggebu-gebu untuk membalas Sadewa. Tanpa pikir panjang, gadis itu tiba-tiba naik ke atas pangkuan Sadewa hingga pria itu berjengit kaget.“Nona, apa yang kamu lakukan? Cepat turun dan kembali ke kursimu,” tegur Sadewa kelabakan. Pasalnya, Mayzura tepat menduduki aset berharga miliknya sehingga konsentrasi Sadewa menjadi buyar.Melihat reaksi Sadewa, Mayzura justru tergelak senang. Bukannya berhenti dan menurut, gadis itu malah melingkarkan kedua lengannya di leher sang bodyguard. Kemudian, ia sengaja menggoyangkan pinggulnya untuk menambah siksaan nikmat bagi Sadewa.“Jangan munafik, Om. Aku akan membuatmu menginginkan sesuatu, tetapi
Sinar mentari yang menembus tirai membuat Mayzura terbangun dari mimpi panjangnya. Jajaran bulu mata gadis itu bergerak pelan, sebelum ia membuka kelopak mata. Mayzura memicingkan Netra hitamnya, mencoba menyesuaikan diri dengan silau cahaya yang menerpa.Sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat, Mayzura menatap bingung ke seluruh penjuru kamar. Seingatnya kemarin ia masih berada di klub Sunday, berjoged sendirian untuk melupakan segala beban hidup. Namun kenapa sekarang dia tiba-tiba terbangun di dalam kamar?Otak kecil Mayzura mencoba untuk memindai apa yang terjadi semalam. Tak salah lagi, pastilah semua ini perbuatan dari bodyguard yang sok kuasa dan sangat menyebalkan. Siapa lagi yang bisa memindahkan dirinya dari klub ke rumah, selain Sadewa.Membayangkan wajah pria itu membuat Mayzura bersikap waspada. Kepingan memori mulai bermunculan di kepalanya bagaikan kaset rusak. Sedikit demi sedikit Mayzura teringat bahwa ia dilecehkan oleh seorang laki-laki. Kemudian, Sadewa
“Saya rasa Tuan salah orang. Dulu saya tinggal dan bekerja di luar kota, jadi tidak mungkin kita pernah bertemu sebelumnya,” sanggah Sadewa.Tuan Bramantya masih menatap lamat kepada Sadewa, seolah meragukan penyangkalan yang diucapkan pria itu. Dia yakin pernah mengenal seseorang yang memiliki kemiripan dengan Sadewa, hanya saja dia lupa siapa, kapan, dan di mana dia bertemu sosok tersebut.“Benar juga. Selama ini, aku hanya berinteraksi dengan orang-orang penting dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan. Barangkali kamu hanya kebetulan mirip dengan salah satu dari mereka.”Pria paruh baya itu kembali menyilangkan kedua tangan sembari menegakkan punggungnya di kursi.“Aku mendengar berita yang kurang menyenangkan bahwa Mayzura semalam mabuk di klub, padahal ayahnya sedang tidak berada di rumah. Kenapa sebagai bodyguard kamu tidak becus menjaga Mayzura? Tidak lama lagi gadis itu akan menjadi bagian dari keluarga Maheswara, dan dia tidak boleh bersikap sembarangan,” tandas Tuan
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y