Sinar mentari yang menembus tirai membuat Mayzura terbangun dari mimpi panjangnya. Jajaran bulu mata gadis itu bergerak pelan, sebelum ia membuka kelopak mata. Mayzura memicingkan Netra hitamnya, mencoba menyesuaikan diri dengan silau cahaya yang menerpa.Sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat, Mayzura menatap bingung ke seluruh penjuru kamar. Seingatnya kemarin ia masih berada di klub Sunday, berjoged sendirian untuk melupakan segala beban hidup. Namun kenapa sekarang dia tiba-tiba terbangun di dalam kamar?Otak kecil Mayzura mencoba untuk memindai apa yang terjadi semalam. Tak salah lagi, pastilah semua ini perbuatan dari bodyguard yang sok kuasa dan sangat menyebalkan. Siapa lagi yang bisa memindahkan dirinya dari klub ke rumah, selain Sadewa.Membayangkan wajah pria itu membuat Mayzura bersikap waspada. Kepingan memori mulai bermunculan di kepalanya bagaikan kaset rusak. Sedikit demi sedikit Mayzura teringat bahwa ia dilecehkan oleh seorang laki-laki. Kemudian, Sadewa
“Saya rasa Tuan salah orang. Dulu saya tinggal dan bekerja di luar kota, jadi tidak mungkin kita pernah bertemu sebelumnya,” sanggah Sadewa.Tuan Bramantya masih menatap lamat kepada Sadewa, seolah meragukan penyangkalan yang diucapkan pria itu. Dia yakin pernah mengenal seseorang yang memiliki kemiripan dengan Sadewa, hanya saja dia lupa siapa, kapan, dan di mana dia bertemu sosok tersebut.“Benar juga. Selama ini, aku hanya berinteraksi dengan orang-orang penting dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan. Barangkali kamu hanya kebetulan mirip dengan salah satu dari mereka.”Pria paruh baya itu kembali menyilangkan kedua tangan sembari menegakkan punggungnya di kursi.“Aku mendengar berita yang kurang menyenangkan bahwa Mayzura semalam mabuk di klub, padahal ayahnya sedang tidak berada di rumah. Kenapa sebagai bodyguard kamu tidak becus menjaga Mayzura? Tidak lama lagi gadis itu akan menjadi bagian dari keluarga Maheswara, dan dia tidak boleh bersikap sembarangan,” tandas Tuan
Mayzura segera mempesilakan Alice untuk masuk ke kamarnya. Mereka pun duduk berhadapan, Alice berada di sofa sedangkan Mayzura di tepi tempat tidur. Perkataan Alice tadi langsung membuat Mayzura bertambah risau. Entah peringatan apa yang dimaksud oleh Alice hingga dia rela terbang dari Bali ke Jakarta.“Dari mana Tante tahu tentang perjodohanku dengan pria tua itu?”Alice menarik napas panjang sebelum memberikan penjelasan kepada calon anak sambungnya itu.“Tentu saja aku tahu dari papamu, May. Dia meneleponku malam-malam sebelum dia berangkat ke Surabaya, dan setelah itu aku terus kepikiran.”“Papa dan Tante bersama lagi?” tanya Mayzura ingin memastikan.“Iya, lebih tepatnya kami berencana untuk menikah. Tetapi sesudah mendengar masalah ini, aku sangat kecewa dengan papamu.”Alice menjeda ucapannya sebentar sembari melemparkan pandangannya ke arah jendela.“Aku merasa punya beban moral, untuk menceritakan kepadamu tentang rahasia dari keluarga Maheswara.”Firasat buruk pun memenuhi h
Dengan tergesa-gesa, perempuan itu memungut gaunnya lalu mengenakannya asal. Tanpa menoleh ke belakang lagi, dia berlari meninggalkan tempat penyiksaan itu. Andai saja dia tidak tergiur oleh iming-iming imbalan yang besar, tentu saja dia tidak akan bersedia melayani seorang pelanggan yang sakit jiwa. Selepas perempuan itu menghilang dari pandangan, sang lelaki lantas berpindah ke kamar pribadinya. Dia ingin segera membersihkan diri dari sisa-sisa pergumulan tadi. Kendati menggunakan pengaman, Gavindra Maheswara selalu merasa jijik setiap kali selesai berhubungan dengan wanita bayaran. Namun entah mengapa dia tidak bisa berhenti dari kebiasaan buruk ini. Karena hanya dengan bercinta, Gavindra bisa membuktikan bahwa dirinya bukanlah pria cacat yang tidak berguna. “Dasar hina, dia sudah mengotori aku!” dengus lelaki itu sembari berdiri di bawah shower. Selesai membersihkan diri, Gavindra mengambil sebotol wine lalu berdiri di dekat pagar pembatas balkon. Dengan tatapan datar, lelaki it
“Aku tidak punya waktu untuk menemuimu, karena aku sedang bimbingan skripsi. Lagi pula tidak ada yang perlu kita bicarakan, Zio. Hubungan kita sudah berakhir,” sembur Mayzura dari balik telepon. Entah mengapa masalah yang menimpanya datang silih berganti, seolah tak ada habisnya. Di saat ia tengah risau memikirkan soal pernikahan, kini muncul persoalan baru.“Kamu yang meminta putus secara sepihak lewat sambungan telepon, tetapi aku tidak setuju. Aku akan tetap menunggu di sini sampai kamu selesai bimbingan. Kita perlu meluruskan semua kesalahpahaman,” balas Enzio.Mayzura membuang napas kasar. Jujur, dia sudah muak dengan sikap sang mantan kekasih yang tidak punya pendirian. Tatkala ia memutuskan untuk sehidup semati dengan Enzio, pria itu malah tidak peduli dan mencari berbagai macam alasan. Kini sesudah ia bertekad untuk melupakan kisah cintanya yang pahit, Enzio mendadak muncul dan ingin mengejarnya lagi. Sungguh tindakan yang diambil oleh pria itu sudah sangat terlambat. “Aku t
Peringatan tegas dari Sadewa membuat wajah Enzio berubah pias. Apalagi tatapan pria itu begitu tajam, seolah sedang menguliti dirinya. Untuk saat ini, berkelahi memperebutkan Mayzura rasanya tidak mungkin karena mereka sedang berada di tempat umum. Selain itu, dia juga kalah postur dengan Sadewa yang bertubuh jangkung dan kekar.Di satu sisi, Enzio tidak terima dengan penolakan Mayzura yang begitu frontal. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa gadis itu sudah memilih lelaki lain. Meski begitu, Enzio masih belum yakin apakah Sadewa benar-benar calon suami Mayzura.Para mahasiswa yang kebetulan lewat menatap heran kepada mereka. Alhasil, daripada menjadi pusat perhatian, Enzio pun memutuskan untuk melepaskan genggaman tangannya. “Aku akan melepaskan Mayzura. Tetapi jika nanti terbukti kamu bukanlah calon suami Mayzura, aku akan membuat perhitungan denganmu,” ucap Enzio.Pemuda itu mengalihkan pandangan kepada Mayzura yang masih berlindung kepada Sadewa. “Urusan kita belum selesai, May.
Karena terjebak kemacetan, Mayzura lebih memilih untuk memejamkan mata di dalam mobil. Biasanya ia jarang sekali terlelap di perjalanan, tetapi kali ini Mayzura memilih tidur daripada mematung sepanjang perjalanan. Lagi pula jika terus terjaga, dia akan melihat wajah menyebalkan seorang pria. Siapa lagi kalau bukan sang bodyguard, Sadewa. Sayang sekali dia harus pergi bersama dengan pria ini, karena tidak ada seorang pun yang bisa mengantarnya ke Bogor. Sementara itu, Sadewa masih mengarahkan atensi penuh ke jalan raya. Sambil menunggu kemacetan di depannya terurai, Sadewa diam-diam melirik ke arah Mayzura. Seutas senyum tipis tercetak di bibir pria itu. Dia tahu bahwa Mayzura sedang berpura-pura tidur karena gadis itu sedang dilanda kebosanan. Untuk itu, Sadewa akhirnya menyalakan radio agar bisa menjadi hiburan untuk mereka berdua. “Kenapa bangun? Tidur saja, Nona, nanti aku akan membangunkanmu,” kata Sadewa.“Akhirnya ada orang bisu yang bisa bicara lagi,” sindir Mayzura seraya m
Posisi Sadewa yang kini berada di atasnya membuat pipi Mayzura bersemu merah. Entah mengapa alam semesta seakan-akan terus berusaha membuatnya bersinggungan dengan pria dewasa ini. Lebih parahnya lagi, ia selalu menjadi pihak yang dipermalukan. Mayzura hanya berharap agar Sadewa tidak mendengar detak jantungnya yang bertalu-talu di dalam sana. “Menyingkir dariku, kamu sengaja mencari kesempatan untuk menyentuhku, kan?” tanya Mayzura yang masih terhimpit tubuh kekar Sadewa. Sama-sama merasa salah tingkah, Sadewa buru-buru bangkit berdiri dan menjauh dari ranjang.“Siapa bilang? Aku juga tidak menginginkan kecelakaan ini,” tutur Sadewa membela diri.Pria itu langsung merunduk dan mengambil sebuah guci yang tergeletak di lantai. Untung saja guci tersebut dari bahan kayu, sehingga tidak pecah berantakan saat tersenggol kaki panjang Sadewa. “Lihat sendiri, aku terjatuh bersamamu karena tersandung benda ini. Aku tidak melihatnya karena terlalu fokus menggendongmu,” jelas Sadewa sembari me
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y