Awas Typo:)
Happy Reading ....
***
Wah ..., Regina sungguh tidak percaya dia mendengar kalimat barusan. Pria ini kenapa bisa super dingin? Benarkah keluar dari rahim manusia? Bukan alien dari neptunus seperti di drama-drama korea itu?
"Jadi keluar."
Fuck! Mimik Regina kian terlihat bodoh.
"God," gumam si gadis mendramatisir keadaan. "Aku tidak memintamu tertarik padaku." Setelah itu berucap begini dengan senyum manis. Shit! Regina the real crazy girl.
Lihat Raymond, mimik datarnya sudah sangat terlihat malas. Itu memang benar, dia malas mengurus hal-hal seperti ini. Bagi Raymond semua yang berhubungan dengan kaum hawa pasti menyusahkan.
"Ke mana tujuan Anda?" Pasrah, Raymond memilih menuruti mau Regina dan mempercepat semuanya.
"Rumahmu."
Tapi, jawaban Regina Adinda Putri sungguh mengajak Raymond adu mulut, yang benar saja gadis ini.
"Saya sedang tidak minat mengurusi hal seperti ini, jika Anda tidak ada tujuan, keluar."
"Wahhh!"
Prok, prok, prok.
Regina bertepuk tangan, kegirangan karena dirinya berhasil memancing kalimat lumayan panjang dari Raymond.
"Lagi-lagi, ternyata kamu bisa melisankan kalimat panjang juga. Kirain tidak bisa," ucap Regina membawa tubuh menghadap Raymond yang sudah menahan umpatan.
Hebat, pria datar nan dingin mulai terpancing. Hati-hati, itu warning.
"Keluar."
"Tidak mau hihi."
Regina memang sinting betul, setelah bertepuk tangan kini justru cekikikan. Benar-benar tidak kenal takut.
Diam, hening. Raymond menggenggam stiur dengan satu tangannya, menatap Regina yang membalas tatapan itu tanpa ragu, bahkan senyum si gadis tak luntur walau aura kekesalan Raymond semakin terasa menajam.
"Apa mau Anda?"
"Kamu."
Mantap, sahutan Regina sangat cepat. Dan bagi Raymond sahutan itu seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Kalau sudah begini apa yang akan Raymond lakukan?
*****
Raymond memilih membawa Regina, tapi jangan salah. Niat Raymond hanya satu, menelantarkan gadis ini di pinggir tong sampah.
Entah tong sampah mana masih ia pertimbangankan. Well, saat ini Raymond berusaha fokus menyetir walau jujur ia tidak fokus, kenapa? Bisa-bisanya Regina seperti tak mempunyai sopan santun, membuka dashboard, memegang beberapa barang milik Raymond hingga hal lainnya. Ah! Dosa apa yang kemarin Raymond lakukan sampai dipertemukan dengan Regina?
"Kalau boleh tau-"
"Diam."
Nah, kepala si gadis perawan auto menoleh saat kalimatnya dipotong cepat oleh Raymond yang masih menatap lurus ke depan.
"Kenapa? Ada yang menguping di sini?" tanya Regina polos, salah, lebih tepatnya pura-pura polos, ia tahu Raymond sudah sangat kesal dengannya, dan pria itu berusaha menahan ledakan. Tapi, kalau boleh jujur justru ledakan itu incaran Regina. "Kenapa diam? Aku bertanya Pak Dosen." Memancing dengan nada dibuat-buat, Regina mau tahu sampai mana Raymond bisa bertahan.
Taraaa, ia dilirik.
"Penguntit?"
What?!
"Enak aja! Cantik begini dikatain penguntit, jangan asal mangap kamu ya." Regina auto mengomel, dia bukan penguntit. Dia hanya mencaritahu dari internet, beda, 'kan dengan penguntit?
"Dari mana Anda tahu?" tanya Raymond tidak lagi melirik.
"Ya dicari tahu."
"Itu penguntit."
"Stalker! Sial, berhenti bicara, kamu agak menyebalkan juga," kesal Regina sungguh tidak senang dikatain penguntit.
Raymond tersenyum tipis. Apa? Tersenyum? Bagus, walau itu hanya tipis tapi gerak Regina sangat cepat. Ini masih awal pertemuan dan dia berhasil membuat seorang Raymond Arthur William tersenyum tipis, hebat.
Hening. Regina memilih membuang wajah ke luar jendela, ia sedang berpikir akan berbuat apalagi, suer semua yang Regina lakukan sedari tadi hanya sikap spontannya. Bahkan dia tidak tahu mau apa ke rumah Raymond, itu benar-benar spontan. Oke iya mari tertawakan dia yang gila nan bodoh.
Cittt.
Tiba-tiba mobil berhenti.
"Kenapa berhenti?" pertanyaan bodoh Regina lontarkan.
"Karena ini rumah saya." Tapi Raymond menyahut datar.
Wait-wait, Regina mengintip ke luar jendela. Ah ..., Raymond tinggal di gedung apartemen elit dan sekarang mobil diparkirkan di parkiran lobby.
Si pria keluar.
Brak.
Pintu ditutup. Secepat mungkin Regina ikut keluar dari dalam sana, bagaimana pula dia mau terus di dalam jika yang punya sudah keluar.
Detik Regina keluar langsung saja Raymond kunci mobilnya, lantas pria itu mengambil langkah menuju gedung apartemen.
"Apa yang harus ku lakukan?" gumam Regina menatap punggung Raymond yang sudah melangkah lumayan jauh. "Bodo amat tancap gas aja," ucapnya memutuskan mengejar Raymond. Perihal apa yang terjadi ke depannya itu urusan nomor dua, yang pertama saat ini Regina hanya mau terus mengusik Raymond. "Huh!" Hela napas saat ia berhasil menyamakan langkah dengan si pria.
Raymond diam saja, terus melanjutkan langkahnya. Tidak mau tahu apa yang akan Regina lakukan, tapi ketika itu sudah sangat mengusiknya dapat ia pastikan Regina akan tahu Raymond yang sesungguhnya.
Raymond berhenti melangkah di depan lift, pria itu menekan tombol agar si kotak berjalan itu terbuka.
"Raymond," panggil Regina.
"Seberapa jauh Anda mencaritahu tentang saya?"
Ting.
Pintu lift terbuka, Raymond melangkah masuk, ya Regina mengikuti.
"Itu, lumayan. Kamu terkenal sih, mudah dicari tahu."
Ting.
Pintu lift tertutup, menelan dua anak manusia berbeda jenis kelamin dan usia itu.
Diam, Raymond tak menyahut lagi. Memilih diam menunggu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemennya.
"Aku tadi mau bertanya jadi lupa," gumam Regina tidak berbohong, ia tadi mau menanyakan sesuatu saat memanggil Raymond, namun pertanyaan pria itu membuat ia seketika lupa ingin menanyakan apa.
"Ah! Raymond, benar ya kamu jomblo?" Nah ini dia, ini yang ingin Regina tanyakan.
"Jomblo?"
"Kamu nggak tahu?!" terkejut.
"Tidak."
"Astaga-astaga norak banget! Jomblo saja tidak tahu." Dengan sangat ringan Regina mengatai seorang Raymond. Tapi ya memang benar, masa iya pria itu tidak tahu jomblo. Well, seharusnya Regina ingat, Raymond bukan human +62 alias warga Indonesia.
Ting.
Pintu lift terbuka, Raymond keluar. Tidak ambil peduli akan Regina, tadi ia menyahut karena iseng saja.
"Jomblo itu single, kamu single, 'kan?" Regina tetap mengikuti Raymond yang berjalan menuju pintu apartemennya.
"Jawab, Pak Dosen."
"Tidak, saya mau menikah. Untuk itu menjauhlah," jawab Raymond sudah berdiri di depan pintu apartemen, menoleh menatap Regina yang justru melipat tangan di bawah dada, menyandarkan tubuh ke dinding sisi pintu.
"Masa?" tanya Regina terdengar sangat tidak percaya.
"Saya mau memasukan pin."
"Masukan saja, aku juga tidak akan ingat."
Raymond menatap Regina serius, menelisik apakah gadis ini main-main atau tidak, hebatnya pacaran mata Regina terlihat tidak main-main.
Menghela napas lah Raymond, kembali menoleh menatap ke arah pintu, memasukan pin.
"Kamu benar single atau benar mau menikah?" ulang Regina bertanya.
Cklek.
Pintu terbuka, kepala Raymond menoleh, menatap Regina serius.
"Apapun status saya, yang perlu Anda tahu. Saya tidak tertarik dengan kaum hawa." Selesai. Raymond masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Regina yang semakin tertantang dibuatnya.
.
.
To Be Continued
Terbit: -04/Februari-2k21
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu gay?!" Boom! Tubuh Raymond berbalik menatap ke arah belakang tubuhnya. Apa-apaan ini?! Regina ikut masuk ke dalam? Demi upin ipin si perawan semakin gila. "Tidak dan keluar," jawab juga usir Raymond menatap Regina penuh peringatan. Kepala gadis itu menggeleng, tanda ia tidak mau keluar. "Terus kalau nggak gay apa? Kenapa tidak tertarik dengan kaum hawa? Kamu masih perjaka ya?" Serobot terus, Regina tidak tahu diri. Raymond diam, ia kehabisan cara lembut. Apa harus ia pakai cara kasar? Tapi dia tidak pernah mau mengkasari kaum hawa, karena apa? Jika ia mengkasari kaum hawa sama saja ia juga mengkasari mamanya secara tak langsung. "Saya mohon, keluar." Untuk itu dengan segenap kekesalan yang tertahan Raymond melisankan satu kata, mohon! O-wow sekali Regina bisa membuat seorang Raymond berada di posisi ini. "Jawab pertanyaanku lalu aku keluar." Oke deal, Raymond akan menurut untuk kesekian kalinya. Tadi ia sudah gagal menelantarkan gadi
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Akan Raymond ingat bahwa gadis bar bar tahu caranya mati dengan bermartabat. Kalimat itu pasti memiliki makna yang luas, mendalam. Jadi yang modelannya seperti Regina tak bisa Raymond anggap remeh. "Dor!" "Shit." Tuh kan! Baru juga Raymond membuka pintu apartemennya sebab ingin berangkat kerja eh sudah muncul saja yang seharian kemarin mengganggunya. Ini masih pukul delapan pagi, jangan bilang Regina subuh waktu Melbourne sudah berangkat menuju apartemen Raymond. Tapi ya, itu memang benar. Bahkan Regina sudah berdiri di depan kamar apartemen Raymond sejak empat puluh lima menit yang lalu, eh tidak berdiri tapi duduk. "Calon suami mau berangkat kerja ya? Oh my god tampan sekali," ucap Regina menyatukan kesepuluh jarinya, menatap Raymond dengan mata yang berkedip-kedip ala puppy eyes. Raymond diam, tidak ada membuka suara. Agaknya mendiamkan jalan terbaik bukan? Semoga ia tidak salah pilih jalan. Mengambil langkah, Raymond sadar ia diikuti.
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond memulai bab ini dengan mengadahkan tangan ke depan wajah Regina, meminta kunci mobilnya setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit tempat Raymond bekerja. Gadis itu yang masih pasang senyum manis menjatuhkan kunci mobil ke atas telapak tangan mengadah Raymond. "Pergilah," ucap pria itu membalikan tubuh, menyimpan kunci mobil ke dalam saku celana. Regina mengejar, ambil posisi di depan Raymond. "Aku cuti, mau sama kamu seharian," ucap gadis itu berjalan mundur di depan si pria yang baru saja mendengar kabar duka. Bersama Raymond seharian? Bagus, segera galikan kuburan untuk mister William yang terhormat. "Saya mau bekerja." "Aku akan duduk diam hanya menatap." Senyum Regina masih terpasang baik, dan langkah pun masih sama. Dia mundur, Raymond maju. "Seharusnya Anda tahu pekerjaan psikiater." Tep. Tangan kanan Raymond terjulur tiba-tiba menahan tubuh Regina, tidak, bahkan menariknya. "Jalan dengan benar." Lalu berucap sepert
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina menepati janjinya, tidak akan membuat ulah, hanya diam dan melihat Raymond yang sedari pagi masih sibuk dengan laptop. Entah berbuat apa Regina tidak tahu yang pasti bagian dari pekerjaan si pria. Lantas apa kegiatan Regina selama hampir empat jam sudah berlalu? Mengerjakan tugas! Yaps, biar dia ambil cuti kerja tapi yang namanya kuliah dan tugas mana mungkin bisa gadis itu tinggalkan. Apalagi dia bagian dari mahasiswi pengejar beasiswa, sudah pasti hidupnya tak jauh-jauh dari tugas. Well, seperti yang semua tahu, Regina mengambil jurusan music. Dan jujur itu karena kemauannya sendiri, sukur puji syukur orangtuanya tidak pernah melarang, sebab apa? Mereka melihat bakat sang anak memang ada di sana, suara Regina sangat merdu saat bernyanyi. Kalau kata remaja +62, aduh pasti mbaknya tidak pernah makan gorengan, atau suaranya sopan benar masuk telinga, bisa jadi- fix suaranya sama adem seperti ubin masjid. Begitulah kira-kira, dan mari tungg
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond sungguh tidak tahu suntikan racun macam apa yang Jefri masukan ke dalam otak sinting Regina. Tapi detik ini, saat mereka sedang berada di jalan mau pulang, senyum Regina tak luntur sama sekali. Wanita itu mempertahankan senyum yang sangat mencurigakan bagi Raymond, bentuk tarikan sudut bibirnya begitu berbeda. Oke, katakan Raymond terlalu parnoan, tapi itu memang benar, tidak salah sama sekali, dia memang parnoan. Regina tak diracuni saja sudah gila, apalagi jika diracuni. Lebih baik kisah ini bubar karena berapa pun bayaran untuk Raymond, dia sungguh tidak kuat. "Kita dinner apa, Handsome?" "Tidak tahu," menjawab singkat nan datar. Raymond fokus menyetir, akhirnya dia selalu mengalah dengan Regina. Gadis itu mau ini, dia berikan, mau itu, ya dia berikan. "Di kulkas kamu masih ada bahan masakan bukan?" "Ada." Demi apapun punggung Raymond lelah, tolong jangan ditambah-tambah. Biarkan dia tenang dengan hening. "Oke, nanti aku masa
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina membuka matanya pelan-pelan, rasa di kepala lumayan pusing. Dapat dipastikan itu karena jam tidurnya berlebihan, pasti. Maka meregangkan tubuh dan bersiap memeriksa jam adalah incaran Regina. Well, ia membawa tubuh duduk terlebih dulu, wait, kenapa apartemennya mendadak berbeda? Perasaan tidak begini. Satu ..., dua, dahi Regina mengerut, otak berputar dan indera penciuman menangkap aroma masakan. Tik, tok. Regina masih berusaha memutar otaknya. Sampai. "Raymond!" Dia ingat ini apartemen dan ranjang Raymond Arthur William. Di mana pria itu? Segera menuruni ranjang, Regina dengan rambut khas singa betina berlari kecil menuju kichen. "Ray!" panggilnya menemukan punggung mister William yang sedang mengambil sesuatu di lemari piring. Pria itu tidak terkejut, tidak juga menyahut. Ya dia tetap melakukan kegiatannya, sampai tiba-tiba Regina menarik satu tangannya, menarik tubuh besar yang pasrah menjauh dari lemari piring. "Kamu ngapain? Ya a
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu nungguin aku? Ih, baik banget." Regina menatap tidak percaya saat Raymond belum menyentuh makanannya.c"Tapi udah dingin, pasti kurang enak deh," melanjutkan, Regina ambil duduk di kursi yang tersisa. Sedang Raymond hanya diam, tidak menyahuti namun tangan kanan dan kirinya bergerak menjangkau pisau juga garpu untuk memulai sarapan.c"Ck, kalau orang ngomong ya disahutin gitu, Ray, dasar," ucap Regina menjulurkan tangan kirinya, mencubit pipi kanan Raymond yang auto melirik. "Apa-apa? Apa lihat-lihat?" tantang Regina beralih mengusap yang ia cubit dengan punggung tangan. Raymond memutar bola mata malas, tingkah laku perawan satu ini memang tidak kenal takut. Syukur ketemu dengan Raymond yang malas adu mulut. "Makan," kata pria itu agar Regina segera makan dan tidak bisa bicara karena mulutnya dipenuhi makanan. "Iya-iya, Abang, eh tahu Abang nggak?" Raymond hela napas, ia masih lagi baru mulai memotong daging, tapi dengar? Regina justru melon
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Brak. Pintu apartemen baru saja tertutup menelan sang ibu negara alias nyonya besar Willam, menyisakan Regina bersama si tuan muda Raymond Arthur William. Hening, belum ada suara dan detik ini kedua netra bening Regina yang sempat menghipnotis Raymond masih menatap ke arah pintu, belum dan tidak akan berani menatap si pria yang duduk di sisinya. Perfect, agaknya Regina harus kabur dari sini sebelum mendapatkan amukan seorang mister William. Apalagi aura Raymond sudah sangat siap menelan seseorang, ah Regina memang kudu bergerak cepat. Menarik napas, gadis nakal yang otaknya sangat cerdas dalam menyiksa Raymond itu berdiri dari duduk. "Duduk." Namun suara datar nan dingin terdengar memerintah tegas agar Regina kembali duduk. Ya karena takut, Regina kembali duduk, daripada dibunuh dan mati sebelum menikah lebih baik manut pada komandan. Tapi tetap, tidak berani menatap. Hening lagi, Regina tutup mulut menunggu Raymond yang memang betah membisu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Cklek. Raymond membuka pintu kamar mandi bertepatan dengan gerakan tangan istrinya yang duduk ke pinggir ranjang, memakai kaos super kebesaran milik Raymond sendiri. Mereka baru selesai, tepat pukul satu siang dan thanks tidak ada yang mengganggu. Gairah Raymond rasanya tidak habis kepada Regina, selalu berdebar setiap menyentuh kulit lembut sang istri. Memang yang halal rasanya jauh jauh jauh!!! Lebih nikmat. "Husband ...." Regina memanggil lirih sambil menoleh untuk menatap Raymond yang diam bersandar di ambang pintu kamar mandi, dan hal itu sudah membuat Raymond siap bertempur lagi jika tidak ingat kondisi kehamilan wanita itu. "Iya, Sayang, ada apa?" menyahut tanya, tangan Raymond terlipat di depan dada. Regina bergerak berdiri, berbalik menatap suaminya yang pun menatapnya. "Kerja?" tanya Regina mengusap keringat sendiri di bagian leher dengan punggung tangan. "Tidak minat," jawab Raymond sambil tersenyum kecil akan pemandangan seksi itu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku janji akan pelan." Tangan Raymond menyentuh pipi kiri Regina, mengusap dengan gerakan lembut namun erotis. Regina memejakan mata, menikmati apa yang memang ia incar, sentuhan suaminya. "Janji?" tanya Regina masih menikmati usapan jari Raymond di pipi. "Of course." Regina membuka mata, menatap Raymond yang sudah menindihnya. "Suamiku tidak bekerja?" Oh ya ayolah, kenapa bertanya perihal itu jika adik di bawah sana sudah menggeliat bangun? "Setelah makan siang?" Raymond balik bertanya, mencoba sabar walau tenggorokannya sendiri sudah tercekat oleh gairah. Masa bodoh dulu dengan kerjaan, sebulan lebih dia berpuasa, belum lagi kemarin lembur, biarkan Raymond melepas lelah. "Oke, sini." Lembut Regina tersenyum genit yang langsung disambut Raymond dengan lumatan manis ala mereka. Raymond mendapatkan lampu hijau tentu harus mengumandangkan janjinya dalam otak, pelan, harus lembut. Argh! Sebulan lebih Raymond berpuasa, sudah seperti bulan ramadh
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond ada di posisi urut pelipis sebab keinganan aneh Regina. Ini masih terlalu pagi, perlu diketahui jarum jam masih menunjukan angka tiga pagi. Dan kepala Raymond serasa siap meledak karena mata lelah dan telinga menjerit marah. "Husband ...." Istrinya merengek lagi dan dia bingung mau bagaimana. "Abang ...." Kalau boleh Raymond memilih, ia lebih memilih mengurusi semua pekerjaan saja daripada mendengar rengekan Regina dikala matanya sangat amat berat. "Regina, kita tunggu matahari naik," bisik Raymond yang sudah duduk di atas ranjang, menoleh lemas ke arah istrinya yang menatap cemberut. "Babynya mau sekarang!" Regina mulai memakai nada ngegas. "Kita cari ke mana, Re?" tanya Raymond pada Regina bersungut-sungut lelah agar wanita itu paham. For your information, Raymond baru pulang pukul satu sebab lembur memeriksa essai mahasiswa, dan begitu pulang Raymond belum bisa langsung tidur karena masih harus mengisi beberapa pendataan ke dalam
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond melumat bibir Regina, kali ini dengan gairahnya. Jika tadi sesi mereka saling mengungkapkan isi kepala dan hati maka sekarang sesi Raymond Arthur William menerima hadiahnya. "Hah ...." Napas Regina terengah. Well, nyonya muda William sudah menyiapkan itu. Setelah acara syukuran Raymond sangat sibuk bekerja, suaminya jauh lebih sibuk dari yang Regina bayangkan, maka dari itu hadiah darinya double. "Suamiku tegang aku senang," bisik Regina genit, sukses membuat Raymond menggendong tubuhnya ala ibu koala. "Kita butuh kamar utama." Raymond juga berbisik, segera mengambil langkah menuju anak tangga. Kepala Regina mengangguk, senyumnya masih genit pakai banget. Oke jangan ragukan Regina Adinda Putri dalam menggoda Raymond Arthur William, wanita itu sudah wisuda, tamat! Bersama mata yang saling menyelami, bersama debaran yang saling terasa, Raymond selalu memimpin, maka kakinya melangkah lembut menaiki anak tangga. Cklek. Tidak mau lama-la
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Udah kali natapnya, Abang, nanti tambah cinta baru tahu," ujar Regina tersenyum bersama kepala menunduk, wanita itu sedang sibuk memotong bolu gulung buatan suaminya sendiri. Raymond diam, tidak menjawab. Pria itu mana ambil peduli, selama ia mau maka akan ia lakukan. Well, detik ini jarum jam sudah ada diangka setengah dua belas malam. Awan tidak mungkin masih bergabung dengan kedua orangtuanya, anak itu sudah terlelap di dalam kamar, Regina sendiri membuat pesta kecil-kecilan berdua dengan sang suami. Mereka duduk di meja makan, niatnya akan pindah ke ruang televisi, tapi tunggu, Regina ingin mencicipi hasil tangan Raymond bersama Awan. "Selesai," ujar Regina setelah memindahkan dua potong bolu gulung ke atas piring. Kepala Regina terangkat dari tunduk, menatap ke arah Raymond yang ternyata oh ternyata masih betah menatapnya. "Udah jatuh cintanya?" tanya Regina bermaksud menggoda si suami. Raymond tersenyum manis, sangat tiba-tiba! Jangan
Awas Typo:) Happy Reading... *** Raymond tidak tahu lagi harus berkata apa. "Hahaha!!! Daddy, lucu!" "Ah ..., suamiku seksi." Ia habis-habisan ditertawai oleh Awan karena permintaan konyol istrinya sendiri, mana yang minta pakai acara menatap mupeng segala alias muka pengen. Ya Tuhan. Raymond tidak tahu harus malu atau bangga, satu sisi ditertawakan, satu lagi ditatap penuh cinta. Jadi, dia memilih keduanya, malu dan, bangga. "Awan, diam atau Daddy ke sana?" tanya Raymond sedang menuang tepung ke dalam mangkuk sedang. Istrinya meminta bolu, sudah pasti ia butuh tepung juga pengembang. "Awan saja yang ke sana!" Semangat Awan menyahuti, si gadis kecil itu menoleh menatap ke arah Regina. "Boleh, 'kan Mom?" Meminta izin kepada mommynya. "Hm? Ya, sure. Ganggu daddy," jawab Regina pasang senyum manis. Tentu saja ia memberi izin, sedang ia bayangkan Raymond bekerjasama dengan Awan untuk memenuhi keinginannya, pasti manis. "Okay, Mommy juga belgabung kalau ingin," bisik Awan, mengec
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Abang janji akan pulang pukul delapan, awas kalau telat, aku usir dari kamar." "Masih pagi, Re," balas Raymond menarik tali pinggangnya. "Karena masih pagi itu aku ingatkan." Oke, Raymond kalah. Ia tidak mau melawan istri yang semakin hari semakin bawel saja, dan semakin hari semakin posesif, sungguh Raymond tidak tahu apa yang salah dengan istrinya. Namun, saat ia bertanya pada mama, si wanita paruh baya yang melahirkannya itu berkata, sudah wajari saja, namanya juga sedang hamil, Ray. Begitu. "Sini." Tiba-tiba Regina sudah berdiri saja di depan tubuh Raymond, mengambil alih pekerjaan tangan si suami yang sedang memakai tali pinggang. Kalau kata Regina, dikarenakan Raymond bekerja tanpa dasi yang membuat ia tidak bisa melakukan adegan seperti di novel dan film, maka pekerjaan mengancing kemeja atau memakai tali pinggang menjadi urusan Regina. Aneh? Sangat! Raymond pun merasakan itu, istrinya terlalu menikmati tapi Raymond terlalu sengsara k
Awas Typo:) Happy Reading .... *** What?! Kedua netra Regina membulat mendengar kalimat suaminya. "Mau!!!" Awan sendiri berteriak kuat, membuat kedua netra Regina semakin membulat saja, tidak hanya itu, semua mata auto menatap ke arah si anak. Senyum kecil Raymond terbit, untuk Awan Putri Letta. "Oh my god!" gumam Awan terkejut ala-ala anak enam tahun. Si cantik dengan rambut pirang itu menutup mulut menganganya karena mendapati senyum manis seorang Raymond Arthur William, walau kecil. "Oke, welcome to my life, Awan." Titik, Raymond menggerling sebelum pergi dari hadapan dua kaum hawa berbeda usia. ***** "Abang, are you serious?" Raymond baru menegak jus digelasnya, lantas suara Regina sudah terdengar saja. Cepat juga si istri sadar dari keterkejutan. "Ya," jawab Raymond santai, kembali melanjutkan kegiatannya. Kedua mata Regina berkedip, ini dia berhalusinasi apa bagaimana? Dia mabuk ya? Tapi wait, sejak kapan dia meminum alkohol? Artinya dua kemungkinan, ini nyata atau m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak bisa berkata-kata, serius. Demi para leluhur, rumahnya yang biasa seperti kuburan alias sunyi sepi senyap, kini layaknya pasar pagi, ramai heboh dan gila. Apa yang bisa Raymond lakukan dengan kondisi seperti ini? Tidak ada, hanya berdiri, diam, melihat. Sangkin luar biasanya keturunan William itu tidak bisa berkomentar lagi. Look, halaman belakang rumahnya penuh oleh anak-anak, dari yang usianya sekitar enam tujuh tahun, hingga sembilan sampai sepuluh tahun. keuntungan di sini hanya satu, untung halaman rumahnya, bukan di dalam rumahnya. "Hi, ganteng!" Terdengar sapaan dari belakang tubuhnya, Raymond tahu itu sang istri- Regina. "Kamu tidak mengatakan sebanyak ini." Langsung berujar to the point, Raymond melirik sang istri yang bergerak memeluk lengannya, manja sekali. "Ya namanya anak yatim, Sayang, paling tidak dua sampai tiga puluh lah." Iyaps, right! Benar sekali. Di rumah yang Raymond bangun dengan hasil keringatnya sendir