Awas Typo:)
Happy Reading ....
***
Akan Raymond ingat bahwa gadis bar bar tahu caranya mati dengan bermartabat. Kalimat itu pasti memiliki makna yang luas, mendalam. Jadi yang modelannya seperti Regina tak bisa Raymond anggap remeh.
"Dor!"
"Shit."
Tuh kan! Baru juga Raymond membuka pintu apartemennya sebab ingin berangkat kerja eh sudah muncul saja yang seharian kemarin mengganggunya.
Ini masih pukul delapan pagi, jangan bilang Regina subuh waktu Melbourne sudah berangkat menuju apartemen Raymond. Tapi ya, itu memang benar. Bahkan Regina sudah berdiri di depan kamar apartemen Raymond sejak empat puluh lima menit yang lalu, eh tidak berdiri tapi duduk.
"Calon suami mau berangkat kerja ya? Oh my god tampan sekali," ucap Regina menyatukan kesepuluh jarinya, menatap Raymond dengan mata yang berkedip-kedip ala puppy eyes.
Raymond diam, tidak ada membuka suara. Agaknya mendiamkan jalan terbaik bukan? Semoga ia tidak salah pilih jalan.
Mengambil langkah, Raymond sadar ia diikuti.
Grep.
Sekarang lengan kirinya justru dirangkul, dipeluk oleh kedua tangan Regina yang jujur sangat wangi, begitu menyegarkan indera penciuman Raymond.
"Lepas."
"Nggak mau, kamu mau ke kampus atau ke rumah sakit?" menjawab dan bertanya, Regina pun akan jujur. Raymond sama wanginya dengan dia, bahkan mungkin lebih wangi Raymond. Sudah pasti parfum pria ini bukan sembarang parfum yang dijual di supermarket.
Raymond tidak menjawab, bukan kewajiban dia juga memberitahu Regina.
"Menjawab pertanyaan itu kewajiban tahu." Tapi si perawan bar bar tahu saja cara membuat mulut Raymond menganga berbicara.
"Jika pertanyaan tidak perlu dijawab itu bukan kewajiban." Raymond langsung menekan tombol saat sudah sampai di depan pintu lift.
"Itu penting, karena calon istri kamu mau ikut hihi."
Ah sudahlah, lama-lama Raymond si psikiater pergi ke psikiater lain karena stres menghadapi Regina.
"Handsome, nikah yuk."
Hah ..., yang benar saja! Raymond tambah sakit kepala.
Ting.
Pintu lift terbuka, Raymond melangkah masuk yang diikuti Regina. Gadis itu masih merangkul lengan kiri si pria.
"Atau kamu mau aku hamil dulu?"
Fix Regina semakin sinting.
"Kamu butuh ke psikiater," sahut Raymond jelas sekali mengatai Regina sakit jiwa secara tak langsung.
"Yaudah aku daftar jadi pasien kamu," balas gadis itu menyengir.
Hah! Oke baik, Raymond paling tidak bisa begini. So, ia tarik tangannya yang dirangkul oleh Regina. Lalu membawa tubuh menghadap si gadis, menatap serius.
"Tolong berhenti, saya tidak tertarik dengan kamu, saya tidak minat menikah, apalagi memiliki anak. Jadi sudahi, kita tidak saling mengenal."
"Tapi kemarin kita sudah berkenalan." Polos.
Boom! Panjang lebar Raymond berbicara, bisa-bisanya sahutan Regina hanya seperti itu. Sial! Oh ya jerk! Kesabaran Raymond diambang batas.
"Ya, tolong menjauh." Jadi mempersingkat kalimat saja, Raymond kembali berdiri menghadap pintu lift yang hanya butuh empat lantai lagi guna menuju lobby.
Entah sudah berapakali Raymond melisakan kata tolong kepada gadis ini, itu sangat terbukti si pria merasa terganggu. Naasnya. "Kalau mau minta tolong silakan ke kantor polisi, Handsome." Regina memang semenyebalkan itu.
Sabar, sabar, kaum hawa satu ini memang beda, kalau Raymond bisa menangani Regina Adinda Putri yang sudah sangat terobsesi fix ia hebat. Tapi, entah kenapa firasat Raymond, malah dia yang akan menyerah dengan Regina.
Terserah, Raymond hanya patrick, dia tidak paham perihal beginian.
Ting.
Pintu lift terbuka. Tidak mau membuang waktu segera saja Raymond melangkah yang mana mungkin tidak diikuti oleh Regina.
Mau tahu tidak apa yang ada di dalam kepala gadis perawan itu? Dia ..., sedang merencanakan sesuatu yang sangat mengasikkan.
"Handsome, tunggu!" teriaknya berlari mengejar Raymond sebab si pria melangkah sangat lebar.
Untung ini Melbourne, manusia-manusianya tidak terlalu kepoan, jadi berteriak pun Regina jika gadis itu tak jatuh terkapar orang-orang tak akan ambil peduli.
Tep.
Tangan kanan Regina kali ini menjangkau pergelangan tangan kiri Raymond. Gadis itu menarik si pria, mengajak berlari.
"Hei!" Sudah pasti Raymond terkejut.
"Shut, shut, shut!" peringat Regina menyuruh si mister William diam, jangan bersuara.
Hingga akhirnya mereka sampai di dekat mobil Raymond, si gadis membawa pria itu berjongkok di sana. Berjongkok saling berhadapan, ada apa ini?
"Ada apa?" tanya Raymond menoleh ke belakang tubuhnya, memeriksa sesuatu yang membuat Regina berlari seperti dikejar rentenir.
"Hei-hei jangan tatap ke sana," pinta Regina sukses membuat Raymond kembali menatap ke arah gadis itu.
Tik, tok, saling menatap. Satu dan dua detik, perlahan kedua sudut bibir Regina tertarik ke atas, ter ... senyum!
"Tidak ada apa-apa kok hehe, kamu lucu hahaha," ucap gadis itu terbahak sendiri.
Damn! Raymond langsung berdiri, menatap Regina yang ikut berdiri dengan tidak senang. Pria itu panik, menuruti apa yang Regina pinta dan ternyata tidak ada apa-apa? Sialan Raymond dibodohi. Dan sekarang dengan sangat berani Regina menjatuhkan telapak tangan kanannya ke atas dada berdebar Raymond.
"Kapan terakhir kali dia berdebar secepat ini karena panik?" tanya si gadis.
Kontan Raymond dibuat tersentak terkejut. Kapan?
"Bagaimana rasanya? Asik, 'kan?" Lagi Regina bertanya. Senyum manis gadis itu belum luntur. "Aku. Aku pastikan, Mister William, hidup kamu akan berubah sembilan puluh sembilan persen, dan itu ..., karena kehadiranku," lanjutan. Regina berjinjit,
Cup.
Ia berikan satu kecupan di dagu Raymond. Wah ... Regina memang sangat berani, berani sekali.
"Aku yang menyetir hari ini." Lalu setelah itu Regina memperlihatkan kunci mobil Raymond yang entah sejak kapan sudah ada di tangan gadis itu.
Tit-tit.
Suara mobil dibuka kuncinya terdengar.
"Let's go, Baby Boy, supir kamu cantik hari ini," ucap Regina sebelum membuka pintu mobil.
Raymond menoleh, menatap si gadis yang hanya beberapa detik sebab Regina sudah memasuki mobil.
Diam, berdebar. Raymond mengeratkan genggaman pada tas kerjanya. Regina ..., apa mau gadis itu sebenarnya? Kenapa seniat itu mendekati Raymond? Demi apapun, jantung Raymond Arthur William sudah sangat lama tidak semendebarkan ini hanya karena satu alasan ..., panik tanpa sebab.
Tin-tin!
Suara klakson mobil terdengar.
"Hah ...." Raymond menghela napas pelan, lantas bergerak membuka pintu mobil, masuk ke dalam sana. Hal pertama yang ia lihat adalah senyum Regina.
"Sabuk pengaman, Handsome." Ingat Regina menghidupkan mobil Raymond.
Ketuk palu, cupid ..., sudah mengintip dua anak manusia itu.
.
.
To Be Continued
Terbit: -04/Februari-2k21
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond memulai bab ini dengan mengadahkan tangan ke depan wajah Regina, meminta kunci mobilnya setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit tempat Raymond bekerja. Gadis itu yang masih pasang senyum manis menjatuhkan kunci mobil ke atas telapak tangan mengadah Raymond. "Pergilah," ucap pria itu membalikan tubuh, menyimpan kunci mobil ke dalam saku celana. Regina mengejar, ambil posisi di depan Raymond. "Aku cuti, mau sama kamu seharian," ucap gadis itu berjalan mundur di depan si pria yang baru saja mendengar kabar duka. Bersama Raymond seharian? Bagus, segera galikan kuburan untuk mister William yang terhormat. "Saya mau bekerja." "Aku akan duduk diam hanya menatap." Senyum Regina masih terpasang baik, dan langkah pun masih sama. Dia mundur, Raymond maju. "Seharusnya Anda tahu pekerjaan psikiater." Tep. Tangan kanan Raymond terjulur tiba-tiba menahan tubuh Regina, tidak, bahkan menariknya. "Jalan dengan benar." Lalu berucap sepert
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina menepati janjinya, tidak akan membuat ulah, hanya diam dan melihat Raymond yang sedari pagi masih sibuk dengan laptop. Entah berbuat apa Regina tidak tahu yang pasti bagian dari pekerjaan si pria. Lantas apa kegiatan Regina selama hampir empat jam sudah berlalu? Mengerjakan tugas! Yaps, biar dia ambil cuti kerja tapi yang namanya kuliah dan tugas mana mungkin bisa gadis itu tinggalkan. Apalagi dia bagian dari mahasiswi pengejar beasiswa, sudah pasti hidupnya tak jauh-jauh dari tugas. Well, seperti yang semua tahu, Regina mengambil jurusan music. Dan jujur itu karena kemauannya sendiri, sukur puji syukur orangtuanya tidak pernah melarang, sebab apa? Mereka melihat bakat sang anak memang ada di sana, suara Regina sangat merdu saat bernyanyi. Kalau kata remaja +62, aduh pasti mbaknya tidak pernah makan gorengan, atau suaranya sopan benar masuk telinga, bisa jadi- fix suaranya sama adem seperti ubin masjid. Begitulah kira-kira, dan mari tungg
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond sungguh tidak tahu suntikan racun macam apa yang Jefri masukan ke dalam otak sinting Regina. Tapi detik ini, saat mereka sedang berada di jalan mau pulang, senyum Regina tak luntur sama sekali. Wanita itu mempertahankan senyum yang sangat mencurigakan bagi Raymond, bentuk tarikan sudut bibirnya begitu berbeda. Oke, katakan Raymond terlalu parnoan, tapi itu memang benar, tidak salah sama sekali, dia memang parnoan. Regina tak diracuni saja sudah gila, apalagi jika diracuni. Lebih baik kisah ini bubar karena berapa pun bayaran untuk Raymond, dia sungguh tidak kuat. "Kita dinner apa, Handsome?" "Tidak tahu," menjawab singkat nan datar. Raymond fokus menyetir, akhirnya dia selalu mengalah dengan Regina. Gadis itu mau ini, dia berikan, mau itu, ya dia berikan. "Di kulkas kamu masih ada bahan masakan bukan?" "Ada." Demi apapun punggung Raymond lelah, tolong jangan ditambah-tambah. Biarkan dia tenang dengan hening. "Oke, nanti aku masa
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina membuka matanya pelan-pelan, rasa di kepala lumayan pusing. Dapat dipastikan itu karena jam tidurnya berlebihan, pasti. Maka meregangkan tubuh dan bersiap memeriksa jam adalah incaran Regina. Well, ia membawa tubuh duduk terlebih dulu, wait, kenapa apartemennya mendadak berbeda? Perasaan tidak begini. Satu ..., dua, dahi Regina mengerut, otak berputar dan indera penciuman menangkap aroma masakan. Tik, tok. Regina masih berusaha memutar otaknya. Sampai. "Raymond!" Dia ingat ini apartemen dan ranjang Raymond Arthur William. Di mana pria itu? Segera menuruni ranjang, Regina dengan rambut khas singa betina berlari kecil menuju kichen. "Ray!" panggilnya menemukan punggung mister William yang sedang mengambil sesuatu di lemari piring. Pria itu tidak terkejut, tidak juga menyahut. Ya dia tetap melakukan kegiatannya, sampai tiba-tiba Regina menarik satu tangannya, menarik tubuh besar yang pasrah menjauh dari lemari piring. "Kamu ngapain? Ya a
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu nungguin aku? Ih, baik banget." Regina menatap tidak percaya saat Raymond belum menyentuh makanannya.c"Tapi udah dingin, pasti kurang enak deh," melanjutkan, Regina ambil duduk di kursi yang tersisa. Sedang Raymond hanya diam, tidak menyahuti namun tangan kanan dan kirinya bergerak menjangkau pisau juga garpu untuk memulai sarapan.c"Ck, kalau orang ngomong ya disahutin gitu, Ray, dasar," ucap Regina menjulurkan tangan kirinya, mencubit pipi kanan Raymond yang auto melirik. "Apa-apa? Apa lihat-lihat?" tantang Regina beralih mengusap yang ia cubit dengan punggung tangan. Raymond memutar bola mata malas, tingkah laku perawan satu ini memang tidak kenal takut. Syukur ketemu dengan Raymond yang malas adu mulut. "Makan," kata pria itu agar Regina segera makan dan tidak bisa bicara karena mulutnya dipenuhi makanan. "Iya-iya, Abang, eh tahu Abang nggak?" Raymond hela napas, ia masih lagi baru mulai memotong daging, tapi dengar? Regina justru melon
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Brak. Pintu apartemen baru saja tertutup menelan sang ibu negara alias nyonya besar Willam, menyisakan Regina bersama si tuan muda Raymond Arthur William. Hening, belum ada suara dan detik ini kedua netra bening Regina yang sempat menghipnotis Raymond masih menatap ke arah pintu, belum dan tidak akan berani menatap si pria yang duduk di sisinya. Perfect, agaknya Regina harus kabur dari sini sebelum mendapatkan amukan seorang mister William. Apalagi aura Raymond sudah sangat siap menelan seseorang, ah Regina memang kudu bergerak cepat. Menarik napas, gadis nakal yang otaknya sangat cerdas dalam menyiksa Raymond itu berdiri dari duduk. "Duduk." Namun suara datar nan dingin terdengar memerintah tegas agar Regina kembali duduk. Ya karena takut, Regina kembali duduk, daripada dibunuh dan mati sebelum menikah lebih baik manut pada komandan. Tapi tetap, tidak berani menatap. Hening lagi, Regina tutup mulut menunggu Raymond yang memang betah membisu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu kenapa gila banget sih, Bang! Ya ampun aku mau dapat uang dari mana coba? Daftar kerja di sana saja pesaingnya banyak, syukur ini wajah cantik jadi diterima. Tapi seenak jidat kamu, arghhh kesal! Tanggung jawab ya kamu kalau aku beneran dipecat, biayain hidup aku titik!" Mantap. Hanya Regina yang sanggup berbicara kalimat sepanjang itu dengan sangat cepat, dan hanya Raymond yang tahan diam saja padahal sudah seperti dibacai pasal-pasal kehidupan. Sungguh mereka saling melengkapi bukan? "Ini kita mau ke mana pula?" tanya Regina saat sadar ini bukan jalan ke apartemen Raymond atau apartemennya. Si pria diam, tetap diam maksudnya. "Huh! Susah punya calon suami yang hobby bisu," kesal Regina bete luar biasa. Lihat dia, masih menggunakan seragam kerja. Hening. Mustahil Raymond buka suara, pria itu menyiapkan beberapa kalimat singkat yang cocok ia lontarkan untuk Regina nanti. Well, semenit dua menit sudah pasti terlalui, dan sekarang Regina
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu yakin?" tanya Raymond menatap Regina serius. "Why not? Aku tidak sabar malam pertama kita." Raymond menghembuskan napas pelan, "Ikut aku." Lalu, lagi-lagi memerintah Regina agar ikut dengannya. Oh ya kali ini si gadis tidak kesal, yang ada sangat amat bersemangat. Ada kejutan apa lagi yang akan pria itu berikan kepadanya? Mereka keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju lantai satu. "Tunggu di meja makan," titah Ray berjalan berlawanan dari meja makan. Tanpa mau banyak tanya Regina ambil langkah menuju dapur rumah. Jujur ia masih terkagum-kagum, dan sekarang dia yakin. Ini rumah Raymond, pasti! Karena apa? Lantai dua jawabannya. Mendudukan diri ke atas kursi makan, Regina sungguh tidak menyangka Raymond sudah mempersiapkan semuanya. Thanks to God sebab sudah mempertemukan mereka berdua, thanks! Regina happy parah, happy pokoknya happy! Semoga kehappyan itu bertahan lama. Suara langkah tegas terdengar, Regina menatap ke arah san
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Cklek. Raymond membuka pintu kamar mandi bertepatan dengan gerakan tangan istrinya yang duduk ke pinggir ranjang, memakai kaos super kebesaran milik Raymond sendiri. Mereka baru selesai, tepat pukul satu siang dan thanks tidak ada yang mengganggu. Gairah Raymond rasanya tidak habis kepada Regina, selalu berdebar setiap menyentuh kulit lembut sang istri. Memang yang halal rasanya jauh jauh jauh!!! Lebih nikmat. "Husband ...." Regina memanggil lirih sambil menoleh untuk menatap Raymond yang diam bersandar di ambang pintu kamar mandi, dan hal itu sudah membuat Raymond siap bertempur lagi jika tidak ingat kondisi kehamilan wanita itu. "Iya, Sayang, ada apa?" menyahut tanya, tangan Raymond terlipat di depan dada. Regina bergerak berdiri, berbalik menatap suaminya yang pun menatapnya. "Kerja?" tanya Regina mengusap keringat sendiri di bagian leher dengan punggung tangan. "Tidak minat," jawab Raymond sambil tersenyum kecil akan pemandangan seksi itu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku janji akan pelan." Tangan Raymond menyentuh pipi kiri Regina, mengusap dengan gerakan lembut namun erotis. Regina memejakan mata, menikmati apa yang memang ia incar, sentuhan suaminya. "Janji?" tanya Regina masih menikmati usapan jari Raymond di pipi. "Of course." Regina membuka mata, menatap Raymond yang sudah menindihnya. "Suamiku tidak bekerja?" Oh ya ayolah, kenapa bertanya perihal itu jika adik di bawah sana sudah menggeliat bangun? "Setelah makan siang?" Raymond balik bertanya, mencoba sabar walau tenggorokannya sendiri sudah tercekat oleh gairah. Masa bodoh dulu dengan kerjaan, sebulan lebih dia berpuasa, belum lagi kemarin lembur, biarkan Raymond melepas lelah. "Oke, sini." Lembut Regina tersenyum genit yang langsung disambut Raymond dengan lumatan manis ala mereka. Raymond mendapatkan lampu hijau tentu harus mengumandangkan janjinya dalam otak, pelan, harus lembut. Argh! Sebulan lebih Raymond berpuasa, sudah seperti bulan ramadh
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond ada di posisi urut pelipis sebab keinganan aneh Regina. Ini masih terlalu pagi, perlu diketahui jarum jam masih menunjukan angka tiga pagi. Dan kepala Raymond serasa siap meledak karena mata lelah dan telinga menjerit marah. "Husband ...." Istrinya merengek lagi dan dia bingung mau bagaimana. "Abang ...." Kalau boleh Raymond memilih, ia lebih memilih mengurusi semua pekerjaan saja daripada mendengar rengekan Regina dikala matanya sangat amat berat. "Regina, kita tunggu matahari naik," bisik Raymond yang sudah duduk di atas ranjang, menoleh lemas ke arah istrinya yang menatap cemberut. "Babynya mau sekarang!" Regina mulai memakai nada ngegas. "Kita cari ke mana, Re?" tanya Raymond pada Regina bersungut-sungut lelah agar wanita itu paham. For your information, Raymond baru pulang pukul satu sebab lembur memeriksa essai mahasiswa, dan begitu pulang Raymond belum bisa langsung tidur karena masih harus mengisi beberapa pendataan ke dalam
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond melumat bibir Regina, kali ini dengan gairahnya. Jika tadi sesi mereka saling mengungkapkan isi kepala dan hati maka sekarang sesi Raymond Arthur William menerima hadiahnya. "Hah ...." Napas Regina terengah. Well, nyonya muda William sudah menyiapkan itu. Setelah acara syukuran Raymond sangat sibuk bekerja, suaminya jauh lebih sibuk dari yang Regina bayangkan, maka dari itu hadiah darinya double. "Suamiku tegang aku senang," bisik Regina genit, sukses membuat Raymond menggendong tubuhnya ala ibu koala. "Kita butuh kamar utama." Raymond juga berbisik, segera mengambil langkah menuju anak tangga. Kepala Regina mengangguk, senyumnya masih genit pakai banget. Oke jangan ragukan Regina Adinda Putri dalam menggoda Raymond Arthur William, wanita itu sudah wisuda, tamat! Bersama mata yang saling menyelami, bersama debaran yang saling terasa, Raymond selalu memimpin, maka kakinya melangkah lembut menaiki anak tangga. Cklek. Tidak mau lama-la
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Udah kali natapnya, Abang, nanti tambah cinta baru tahu," ujar Regina tersenyum bersama kepala menunduk, wanita itu sedang sibuk memotong bolu gulung buatan suaminya sendiri. Raymond diam, tidak menjawab. Pria itu mana ambil peduli, selama ia mau maka akan ia lakukan. Well, detik ini jarum jam sudah ada diangka setengah dua belas malam. Awan tidak mungkin masih bergabung dengan kedua orangtuanya, anak itu sudah terlelap di dalam kamar, Regina sendiri membuat pesta kecil-kecilan berdua dengan sang suami. Mereka duduk di meja makan, niatnya akan pindah ke ruang televisi, tapi tunggu, Regina ingin mencicipi hasil tangan Raymond bersama Awan. "Selesai," ujar Regina setelah memindahkan dua potong bolu gulung ke atas piring. Kepala Regina terangkat dari tunduk, menatap ke arah Raymond yang ternyata oh ternyata masih betah menatapnya. "Udah jatuh cintanya?" tanya Regina bermaksud menggoda si suami. Raymond tersenyum manis, sangat tiba-tiba! Jangan
Awas Typo:) Happy Reading... *** Raymond tidak tahu lagi harus berkata apa. "Hahaha!!! Daddy, lucu!" "Ah ..., suamiku seksi." Ia habis-habisan ditertawai oleh Awan karena permintaan konyol istrinya sendiri, mana yang minta pakai acara menatap mupeng segala alias muka pengen. Ya Tuhan. Raymond tidak tahu harus malu atau bangga, satu sisi ditertawakan, satu lagi ditatap penuh cinta. Jadi, dia memilih keduanya, malu dan, bangga. "Awan, diam atau Daddy ke sana?" tanya Raymond sedang menuang tepung ke dalam mangkuk sedang. Istrinya meminta bolu, sudah pasti ia butuh tepung juga pengembang. "Awan saja yang ke sana!" Semangat Awan menyahuti, si gadis kecil itu menoleh menatap ke arah Regina. "Boleh, 'kan Mom?" Meminta izin kepada mommynya. "Hm? Ya, sure. Ganggu daddy," jawab Regina pasang senyum manis. Tentu saja ia memberi izin, sedang ia bayangkan Raymond bekerjasama dengan Awan untuk memenuhi keinginannya, pasti manis. "Okay, Mommy juga belgabung kalau ingin," bisik Awan, mengec
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Abang janji akan pulang pukul delapan, awas kalau telat, aku usir dari kamar." "Masih pagi, Re," balas Raymond menarik tali pinggangnya. "Karena masih pagi itu aku ingatkan." Oke, Raymond kalah. Ia tidak mau melawan istri yang semakin hari semakin bawel saja, dan semakin hari semakin posesif, sungguh Raymond tidak tahu apa yang salah dengan istrinya. Namun, saat ia bertanya pada mama, si wanita paruh baya yang melahirkannya itu berkata, sudah wajari saja, namanya juga sedang hamil, Ray. Begitu. "Sini." Tiba-tiba Regina sudah berdiri saja di depan tubuh Raymond, mengambil alih pekerjaan tangan si suami yang sedang memakai tali pinggang. Kalau kata Regina, dikarenakan Raymond bekerja tanpa dasi yang membuat ia tidak bisa melakukan adegan seperti di novel dan film, maka pekerjaan mengancing kemeja atau memakai tali pinggang menjadi urusan Regina. Aneh? Sangat! Raymond pun merasakan itu, istrinya terlalu menikmati tapi Raymond terlalu sengsara k
Awas Typo:) Happy Reading .... *** What?! Kedua netra Regina membulat mendengar kalimat suaminya. "Mau!!!" Awan sendiri berteriak kuat, membuat kedua netra Regina semakin membulat saja, tidak hanya itu, semua mata auto menatap ke arah si anak. Senyum kecil Raymond terbit, untuk Awan Putri Letta. "Oh my god!" gumam Awan terkejut ala-ala anak enam tahun. Si cantik dengan rambut pirang itu menutup mulut menganganya karena mendapati senyum manis seorang Raymond Arthur William, walau kecil. "Oke, welcome to my life, Awan." Titik, Raymond menggerling sebelum pergi dari hadapan dua kaum hawa berbeda usia. ***** "Abang, are you serious?" Raymond baru menegak jus digelasnya, lantas suara Regina sudah terdengar saja. Cepat juga si istri sadar dari keterkejutan. "Ya," jawab Raymond santai, kembali melanjutkan kegiatannya. Kedua mata Regina berkedip, ini dia berhalusinasi apa bagaimana? Dia mabuk ya? Tapi wait, sejak kapan dia meminum alkohol? Artinya dua kemungkinan, ini nyata atau m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond tidak bisa berkata-kata, serius. Demi para leluhur, rumahnya yang biasa seperti kuburan alias sunyi sepi senyap, kini layaknya pasar pagi, ramai heboh dan gila. Apa yang bisa Raymond lakukan dengan kondisi seperti ini? Tidak ada, hanya berdiri, diam, melihat. Sangkin luar biasanya keturunan William itu tidak bisa berkomentar lagi. Look, halaman belakang rumahnya penuh oleh anak-anak, dari yang usianya sekitar enam tujuh tahun, hingga sembilan sampai sepuluh tahun. keuntungan di sini hanya satu, untung halaman rumahnya, bukan di dalam rumahnya. "Hi, ganteng!" Terdengar sapaan dari belakang tubuhnya, Raymond tahu itu sang istri- Regina. "Kamu tidak mengatakan sebanyak ini." Langsung berujar to the point, Raymond melirik sang istri yang bergerak memeluk lengannya, manja sekali. "Ya namanya anak yatim, Sayang, paling tidak dua sampai tiga puluh lah." Iyaps, right! Benar sekali. Di rumah yang Raymond bangun dengan hasil keringatnya sendir