"Bagaimana keadaan Shahnaz, Dokter?" "Apakah Bapak, suaminya?" Tanya Dokter.Galih terdiam, dia tidak mau menjawab apapun pada Dokter yang menangani Shahnaz."Apa yang harus aku jawab?" Bathin Galih"Iya Dokter, aku suaminya.""Baiklah, Pak. Kalau begitu, ayo sekarang kita ke ruanganku!" Galih mengikuti Dokter masuk ke dalam ruangan.Dia sudah yakin kalau Dokter akan mengatakan satu kabar yang tidak bagus pada dirinya "Begini Pak, dengan berat hati kami mengatakan kalau bayi yang ada di kandungan istri Bapak tidak bisa diselamatkan. Kami terpaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi yang malang tersebut."Galih terdiam, dia malah bingung bagaimana caranya dia menghubungi orangtua Shahnaz. Apalagi saat kejadian, Galih sudah tidak melihat ada ponsel d mobil Shahnaz."Aduh, bagaimana ini?"Saat itu juga, Galih ijin untuk pulang, dia ingin mencari tahu dimana orangtua Shahnaz. "Pak Dokter, untuk sementara, istriku disini dulu. Aku harus pulang ke rumah untuk mengatakan kejadian in
Ayah dan Ibu Shahnaz datang dan histeris melihat keadaan putrinya. Ibunya merasa khawatir, bila sesuatu yang buruk terjadi pada Shahnaz "Bagaimana keadaan putri kami, Dokter?""Putri Ibu bisa kami selamatkan, tapi untuk bayinya sudah tidak bisa lagi tertolong. Kami terpaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi tersebut"Syukurlahlah, Shahnaz masih bisa ditolong," ucap Ibunya.Ketiganya duduk menunggu Shahnaz keluar dari ruang operasi. Saat itu Ayah dan Ibu Shahnaz mulai berpikir, siapa lelaki yang dari tadi setia menunggu Shahnaz diluar. "Maaf nak, kamu ini siapa? Sepertinya kami tidak pernah mengenal bahkan melihat kamu sebelumnya," ucap Ibunya Waduh, gimana ini," bathin Galih."Namaku Galih, Bu. Aku adalah teman Shahnaz dan aku kebetulan melihat Shahnaz saat kejadian," jawabnya Pak Karsa mendengar penjelasan hanya berpikir biasa saja. Beda dengan Ibunya, dia teringat dengan nama Galih yang pernah diceritakan oleh Shahnaz yang akan menjadi pengganti Brams dihatinya.Ibu Shah
Brams kemudian memanggil kembali nomor ponsel yang masuk tadi. Sembari berjalan, dia dikejutkan dengan suara dari nomor yang dipanggil."Hallo...!" "Hallo, ini dengan siapa ya?"Pak Karsa sangat geram dengan pertanyaan Brams tersebut. Tapi demi anaknya yang sedang mengalami musibah, dia tetap saja berlapang dada untuk menahan emosi dan menjawab pertanyaan dari Brams."Ini aku, Pak Karsa. Aku adalah Ayahnya Shahnaz," jawabnya. "Pak Karsa..? Tumben dia menghubungi aku," bathin Brams "Ada perlu apa, Pak Karsa? Apa Bapak mau memorot keluargaku demi anakmu, Shahnaz?"Pak Karsa semakin geram. Galih yang ada disampingnya melihat ke arah Karsa. Karsa yang emosi, kini tetap saja bertahan dan bersabar."Brams, kamu jangan banyak tanya, aku sengaja menghubungi kamu hanya ingin mengatakan kalau Shahnaz sedang mengalami musibah. Tadi pagi dia terpeleset ke pinggir kolam yang menjadikan dia dioperasi karena bayi yang di dalam kandungannya tidak tertolong oleh pihak Dokter."Oh..baiklah, terimak
Shahnaz sudah keluar dari ruang operasi, kini Galih dan keluarganya mengikutinya hingga ke ruang inaf. Kedua orangtuanya yang khawatir, masuk dan segera melihat kondisi Shahnaz."Sayang, bagaimana keadaan kamu?" Shahnaz terlihat hanya senyum, tapi lama kelamaan, air matanya juga jatuh karena harus kehilangan bayi yang ada di dalam kandungannya."Shahnaz, kamu jangan terlalu memikirkan itu. Ibu tahu kamu itu sedih. Tapi kamu harus sabar, karena mungkin itu merupakan jalan terbaik bagi kamu dan juga bagi bayi yang kamu kandung. ucap Ibunya.Shahnaz terlihat hanya manggut-manggut. Dia tidak berkata apa-apa lagi, bahkan dia mencoba menghapus airmatanya. Sembari bicara dengan Ibunya, Pak Karsa juga datang dan melihat putrinya itu. "Shahnaz, kamu yang sabar ya nak!" Kamu harus tabah menerima semuanya. Harapan Ayah, kamu bisa menjadikan semua ini sebagai pengalaman yang termahal, untuk dirimu kedepannya.Galih yang juga prihatin, kini hanya bisa melihat Shahnaz dari belakang. Shahnaz meman
Jesselyn dan Brams duduk bersama di sofa ruang tamunya. Jesselyn yang manja, kini tidur dipangkuan suami tercintanya. Brams mengelus rambut Jesselyn sambil menggemgam tangannya."Sayang, kandungan kamu sudah masuk empat bulan. Kamu tentunya sebentar lagi akan jadi seorang Mama," ucap Brams."Tentunya kamu juga yang akan jadi Papanya, sayang."Jesselyn tersenyum bahagia melihat suaminya begitu perhatian pada dia. Jesselyn merasa kalau dia sangat beruntung mendapatkan Brams jadi suaminya."Sayang, kita ke kamar yok!" ajak Brams."Ngapain?" Inikan masih siang," jawab Jesselyn."Sayang, kamu itu masa tidak tahu apa maksut aku?" Tanya Jesselyn."Aduhh..sayang, kamu itu kenapa tidak ada bosan-bosannya, sih?" tanya Jesselyn."Ya..ampun, sayang. Kalau aku bosan, tentunya kamu juga nantinya yang akan sengsara dan tidak puas dengan dunia," canda Brams."Akh..kamu bisa aja, Sayang!" ucap Jesselyn.******Dua hari kemudian, Shahnaz telah diijinkan untuk pulang ke rumah. Galih yang selalu setia me
Dua bulan sudah kejadian berlalu, kini Shahnaz sudah sehat dan sudah fit beraktivitas setiap hari. Shahnaz yang menghabiskan waktu selama dua bulan di dalam rumah, kini berencana keluar untuk keluar jalan-jalan.Sedan merah yang selalu menjadi teman setianya, kini membawanya ke satu tempat yang bisa membuat dia terhibur dan merasa nyaman.Sembari turun dan berjalan ke tempat tersebut. Die memesan segelas es teh, sebagai pelepas dahaganya siang itu.Shahnaz kemudian mengambil tempat duduk di satu meja yang bisa melihat pemandangan indah di sekitar tempat itu."Silahkan Mbak!" Seorang pelayan datang membawa segelas es teh dan juga makanan khas dari tempat tersebut ke meja Shahnaz.Sembari menikmati es teh, tiba-tiba ponselnya berdering."Siapa lagi sih yang mengganggu kebahagiaan ini?" bathin Shahnaz.Dia membiarkan ponsel terus ada di dalam tasnya. Dia merasa tidak ingin diganggu hari itu.******Galih yang sudah mulai bekerja di tempat sahabatnya, kini sudah mulai menyisihkan penghas
"Galih, aku ingin...!" Ucap Shahnaz sambil memegang tangan Galih.Seakan terkena setrum listrik, Galih jadi terpancing, saat Shahnaz mendekatkan tubuhnya menempel ke perut Galih."Shahnaz, apa kamu yakin kita akan aman? Bagaimana kalau orangtua kamu datang?" ucap Galih."Tidak, mereka tidak akan datang sekarang. Paling cepat, keduanya pulang jam Tujuh malam," jawab Shahnaz.Shahnaz menarik Galih masuk ke kamarnya. Dia berusaha menutup lintu aebagai pengaman bila seseorang datang dengan tiba-tiba. Shahnaz yang sudah kehausan langsung merangkul dan memeluk Galih dari belakang. Tangannya menjalar ke leher Galih, membuat Galih jadi semakin tidak tahan.Seketika jagoan Galih mulai bergerak pelan. Tagan Shahnaz, mulai turun. Kini menyentuh Jeans Galih yang terasa bergerak akibat dorongan dari dalam.Tangan Shahnaz semakin lihai. Dia membuka kancing Jeans dan berusaha mengeluarkan jagoannya keluar menatap mana yang akan jadi lawan mainnya."Sentuhan dan emutan dari Shahnaz membuat Galih sem
Pak Karsa melihat sembari membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang wanita datang dan berdiri di depannya."Maaf, anda siapa dan mau mencari siapa?" tanya Pak Karsa."Namaku, Lena. Aku datang kesini ingin mencari wanita yang bernama Shahnaz?" jawabnya "Shahnaz..?""Iya pak. Aku ingin bicara pada dia tentang sesuatu hal, apa dia ada di dalam?""Tali kamu tunggu dulu sebentar. Aku akan memanggil dia terlebih dahulu." Ucap Pak Karsa.Pak Karsa masuk dan memanggil Shahnaz. Dia merasa khawatir dengan wanita yang mencari putrinya tersebut "Shahnaz...!""Iya Ayah, ada apa?" "Seorang wanita sedang menunggu kamu diluar. Katanya dia ada keperluan dengan kamu.""Siapa Ayah?" Tanya Shahnaz."Entahlah, Ayah juga tidak kenal. Sana, kamu lihat! Dia masih ada di luar."Shahnaz dengan penasaran berjalan keluar melihat siapa sebenarnya wanita yang dimaksut oleh Ayahnya.Melihat seorang wanita ada di depan pintu, Shahnaz jadi bungung. Dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ituitu."Anda siapa
Pagi hari telah tiba, Brams terlihat sudah duluan bangun dan terlihat rapi. Dia duduk sembari menunggu Pak Hadi keluar dari kamar. Rasa kecewa tadi malam membuat Brams malas untuk masuk ke kamar Shahnaz. Dia tidak ingin pamit, karena dia merasa tidak akan ada jawaban yang didapat nantinya."Brams, kamu kelihatan sudah rapi. Kamu mau kemana, Brams?" Pak Hadi bertanya dengan penasaran sembari duduk disamping Brams.Tidak lama kemudian, Mama Jesselyn juga keluar dan ikut bergabung dengan mereka. Dia juga heran dengan pakaian Brams yang terlihat rapi seakan ingin pergi kesuatu tempat."Kamu mau kemana, Brams?" "Papa...Mama...pagi ini juga aku harus kembali ke Jakarta. Tadi malam, aku dapat telepon untuk hadir nanti jam satu siang. Aku tidak punya pikiran lain.Tanpa alasan apapun aku harus kembali ke Jakarta, Papa," ucap Brams dengan gaya berbohong pada kedua mertuanya. Keduanya saling berpandangan. Mereka bertanya tentang Jesselyn dan keadaannya."Tapi, Brams. Bagaimana nantinya dengan
Shahnaz dan Galih pergi bersama ke rumah. Sepanjang perjalanan, keduanya terlihat sangat mesra dan tidak jarang suka bercanda dan tertawa bersama. Galih merasa, Shahnaz adalah calon terbaik baginya yang akan menggantikan posisi mantan istrinya dahulu."Shahnaz, apa kamu tidak kepikiran lagi pada lelaki yang bernama Brams?" Sontak Shahanz terkejut. Dia seakan tidak percaya bila Galih bertanya tentang Brams pada dirinya. "Galih, kamu kenapa berkata demikian?"Hmmm...Galih menarik napasnya perlahan hingga mengeluarkannya kembali. Dia merasa bilakah masih ada hati Shahnaz pada lelaki itu."Tidak..aku hanya ingin memastikan apakah kamu masih mengingat dia?" "Galih, semenjak aku mengenal kamu, rasanya kau sudah melupakan orang tersebut. Apalagi kamu itu sangat jauh berbeda dengan dia yang sama sekali tidak perduli denganku," jawabnya "Sayang, maafkan aku! Jujur aku tidak bermaksut membuat kamu jadi teringat pada semuanya," ucap Galih. "Hmmm..," Shahnaz hanya tersenyum tipis. Dia tidak s
Hari sudah menjadi sore. Shahnaz juga sudah mulai bosan melihat Galih bekerja. Ditambah lagi dengan badan yang gerah, membuat dia ingin pulang secepatnya."Galih, hari sudah sore. Aku permisi pulang, ya!" Galih meletakkan kembali alat ukir yang ada di tangannya. Dia mendekati Shahnaz yang ingin segera pulang."Shahnaz, aku ingin ikut ke rumah kamu," ucapnya.Shahanaz terkejut mendengar keinginnan Galih untuk ikut bersamanya. Namun keinginan Galih tersebut, tidak disengkal oleh Shahnaz. Dia bahkan senang mendengarnya karena dia merasa, Galih tidak bisa jauh darinya."Shahnaz, aku madi dulu, ya! Kamu tunggu aja dulu, aku tidak akan lama, kok."Shahnaz mengangguk. Dia tersenyum melihat Galih mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Gemerincing air yang kini terdengar oleh Shahnaz, membuat dia juga ingin membuang rasa gerah untuk segera mandi."Sebaiknya aku menyusul Galih," ucapnya.Shahnaz tanpa ragu pergi ke kamar mandi. Pintu kamar mandi yang sama sekali tidak dikunci, memudahkan
"Shahnaz, ayo masuk!" Galih terlihat sudah menyiapkan makanan di atas mejanya.Shahnaz bahagia. Dia diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh Galih. Keduanya menikmati makanan yang sudah tersaji."Galih, makanan ini enak sekali, kamu beli darimana?" "Ohh..aku hanya pesan saja pada langganan lama yang sudah terkenal dengan rasa dari masakannya," ucap Galih.Mulut mungil Shahnaz tersenyum. Dia melihat ada sebuah nasi yang menempel di atas bibir Galih .Dengan penuh kasih sayang dan juga perhatian, Shahnaz mencoba membersihkannya dengan mengambil nasi tersebut."Ada apa, Shahnaz?" "Tidak, aku hanya mengambil nasi yang lari dari jalannya," ucap Shahnaz.Keduanya tertawa. Mereka merasa lucu dengan hal yang baru saja terjadi. Sembari makan bersama, Shahnaz melihat model dari perabotan yang baru dikerjakan oleh Galih. Dia juga ikut kagum dengan model dari hasil kerja Galih yang sangat beda daripada barang lain yang sering terpajang di berbagai toko yang ada di beberapa tempat yang ada di
Keesokan harinya, Galih keluar untuk membelanjakan semua keperluannya. mulai dari bahan hingga alat yang akan dia gunakan untuk membuka usaha. Galih berniat, dalam waktu singkat dia akan memperoleh kesuksesannya yang dulu telah direbut mantan istrinya. Seminggu kemudian, Galih sudah bisa membuka usahanya. Pagi itu dia masih bekerja sendiri. Dia yakin kalau di tahap permulaan ini, dia masih sanggup bekerja sembari mengenalkan berbagai model hasil tangannya yang terlihat beda dari yang lain. Para pelanggan Yanto yang dulu banyak memesan barang, kini selalu menanyakan dimana keberadaan Galih. Mereka ingin memesan banyak prabotan lain tetapi harus hasil kerja dari Galih. Tanpa merasa tersaingi, Yanto selalu memberitahu dimana Galih sekarang berada. Dia yakin kalau saja Galih punya orderan yang banyak, tanpa diminta, Galih juga akan membaginya pada dia. Sebagai sahabat yang baik, Yanto juga ingin Galih secepatnya berhasil agar cicilan Bank yang sudah dia percayakan pada Galih dapat be
Shahnaz melihat ada tas hitam di depan, dia penasaran tentang tas tersebut. Sembari duduk di samping Galih, Shahnaz meraih tas tersebut dan mengangkatnya."Galih, ini tas siapa?""Shahnaz, atas hal inilah aku sengaja menyuruh kamu datang kesini," ucap Galih.Shahnaz mengerutkan keningnya. Dia semakin bingung dengan maksut Galih sebenarnya. Shahnaz penasaran dan kembali bertanya."Galih, kamu tidak mencuri tas orang, kan?" Galih spontan melihat Shahnaz. Dia tidak yakin kalau Shahnaz bertanya demikian pada dirinya."Kamu bilang apa Shahnaz? Dari aku lahir, aku tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu," jawabnya "Maaf, bukannya aku menuduh. Aku hanya heran saja, kenapa tiba-tiba ada tas seperti ini di rumah kamu.""Hahhh..!" Galih menghela napas yang panjang. Dia menggelengkan kepalanya sembari melihat wajah Shahnaz."Shahnaz, ini adalah uang yang dipinjamkan Yanto padaku untuk membuka usaha baru" ucap Galih "Sebanyak inikah?""Iya, Shahnaz. Uang ini berjumlah sekitar Lima ratus ju
Keesokan harinya, Yanto dan Galih pergi ke salah satu Bank yang ada di dekat lokasi mereka. Yanto membuat permohonan dengan memberikan surat rumahnya sebagai jaminan untuk meminjam sejumlah uang yang akan dia berikan pada Galih.Galih tidak menyangka, Yanto bisa sebaik itu. Hanya dalam hitungan jam, sejumlah uang yang diminta oleh Yanto telah cair dan langsung diberikan pada Galih "Galih, ambil uang ini! Kamu boleh gunakan ini untuk modal usaha kamu. Sementara, kamu boleh memakai lokasi kosong milikku yang tidak terlalu jauh dari sini," ucap Yanto."Terimakasih, Yanto. Galih terlihat memeluk erat sahabatnya yang begitu baik dan begitu ingin menolong Galih dengan tulus."Galih, sekarang kamu pergilah! Bawa uang ini ke rumah kamu! Aku harap kamu harus hati-hati agar uang ini tidak diambil oleh orang yang tidak bertangung jawab. Mulai besok kamu segera mengelolanya agar dalam waktu dekat kamu sudah bisa bekerja seperti biasa," ucap Yanto."Oke Yanto, kalau begitu aku permisi pulang!" Ga
Hari itu, Yanto sahabat Galih sekaligus pemilik panglong menemui Galih yang sedang membuat model lemari hias yang terbaru. Dia begitu salut dan angkat tangan dengan hasil kerja Galih yang membuat omsetnya jadi melejit."Galih, apa kamu lagi sibuk?" Tanya Yanto."Enggak juga, Yanto. Memangnya ada apa?"Sembari meletakkan semua peralatan yang dipegangnya, Galih menemui Yanto yang sedang duduk di sampingnya."Yanto, sepertinya kamu mau bicara sesuatu hal yang sangat penting? Ada apa sebenarnya,Yanto?" "Galih, aku tidak tahu mau bicara mulai darimana. Belum lagi hal yang akan aku katakan itu, apakah kabar yang membuat aku senang atau tidak," ucap Yanto."Kamu ini bagaimana sih, Yanto? Kamu yang mau bicara, tapi kamu tidak tahu hal yang akan kamu bicarakan itu, baik atau buruk untuk kamu. Coba cerita, mana tahu aku bisa bantu!""Galih, ini sebenarnya tentang kamu," ucap Yanto."Tentang aku? Memangnya kenapa sih, Yanto? Apakah aku sudah memberatkan kamu bila aku bekerja disini?" Tanya Gali
Seminggu kemudian, Jesselyn sudah dinyatakan sehat dan sudah boleh pulang. Brams bersama mertuanya membawa Jesselyn kembali ke rumahnya.Saat berada di mobil, Brams melihat Jesselyn selalu terlihat diam dan tidak ada selera untuk bicara. Dia berusaha menghibur istrinya agar secepatnya bisa melupakan kejadian yang telah menimpa mereka."Jesaelyn, kamu jangan diam saja, dong!" Ucap Brams "Iya, Jesselyn. Kamu tidak boleh terlalu bersedih apalagi dalam jangka waktu yang lama," jawab Mamanya.Walaupun semuanya memberi semangat buat Jesaelyn, dia tetap saja terdiam dan tidak mau bicara. Dia sepertinya merasa trauma dengan kejadian yang membuat bayinya harus pergi untuk selamanya "Aku benci pada kamu, Brams. Mungkin karena ulah kamu pada Shahnaz, aku akhirnya mendapatkan karma ini," bathin Jesselyn.Jesselyn berpikir, apa yang sedang dialaminya adalah karma dari perbuatan Brams pada Shahnaz.Tidak berapa lama kemudian, mereka telah sampai di rumah. Jesselyn langsung turun tanpa dibantu lag