Felicia masih merasakan kantuk, tapi ia terbangun dari mimpi saat merasakan ada yang menciumi permukaan wajahnya. Dan, tepat saat kecupan itu mendarat di bibir, bola mata Felicia langsung terbuka lebar.“Theo!” seru Felicia.Theo menyengir, tanpa rasa bersalah ia memposisikan diri di atas tubuh Felicia, mengungkung Felicia di bawahnya.“Jam berapa ini?” tanya Felicia sambil melirik jam dinding.Felicia melotot ketika melihat jam baru menunjukkan pukul empat pagi.“Kenapa kamu membangunkan aku sepagi ini, Theo?” protes Felicia.“Aku harus kembali ke kamarku, biar nggak ketahuan keluargamu. Aku perlu pamitan ‘kan? Jadi, aku membangunkan kamu.”Felicia berdecak, tapi setelahnya tersenyum. Theo ada-ada saja, mengapa harus pamitan? Padahal nanti juga mereka bertemu lagi.“Iya, sana ke kamarmu,” kata Felicia.Theo mengangguk. Sebelum itu, ia kembali mencuri satu kecupan di bibir Felicia.Cup!“Jorok, ih! Aku baru bangun tidur, belum sikat gigi!”“Tenang, nggak bau. Tadi ‘kan cuma kecup, buka
Sementara itu, lumatan Theo ke bibir Felicia masih berlangsung. Felicia sampai merasa kehabisan napas. Ia bergegas mendorong Theo, dan langsung terengah ketika ciuman terlepas.“Masuk ke dalam dulu!” seru Felicia.“Oke,” kata Theo akhirnya.Theo membuka pintu, kemudian dengan terburu-buru menarik Felicia. Begitu masuk ke dalam, Theo langsung mendorong Felicia hingga menghimpit pintu, tidak sempat mengajak Felicia duduk atau ke kamar, Theo kembali menyerbu bibir Felicia.Felicia mengerti mengapa Theo begini, karena mereka lama tidak bertemu, tidak saling menyentuh, apalagi berciuman. Theo pasti amat merindukannya, seperti ia yang juga merasa begitu.Tangan Felicia mengalung ke leher Theo, kini ia mulai membalas ciuman Theo. Dengan sama bergairahnya, mereka melahap bibir satu sama lain.“Theo …” erang Felicia ketika bibir Theo berpindah menjelajahi lehernya.Theo mencium dan menghirup leher Felicia dengan rakus, ia menghisap dan menggigit di sana untuk meninggalkan jejak, menandakan bah
Theo panik bukan main. Ia tak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri, dan sekarang terbangun dengan kondisi berada di atas kasur, di dalam sebuah kamar yang luas.Saat Theo menatap jendela, di luar sedang turun salju. Yang jelas, ini pasti di luar negeri.Theo panik, ia bergegas beranjak dari atas kasur lantas berlari ke pintu. Ketika pintu terbuka, ada beberapa pria berbadan besar yang sempat menculiknya.“Di mana saya sekarang?!” teriak Theo.“Anda berada di Inggris. Pak Martin memerintahkan kami untuk membawa anda kemari dan melanjutkan kuliah di sini. Semuanya sudah diurus, anda cukup menurut dengan patuh,” kata salah satu dari mereka.Theo yang mendengar itu langsung mengepalkan tangannya lalu mengumpat dengan kasar. Ia benci ini! Kehidupan yang diatur oleh Papanya, menjadi boneka Papanya. Sejak kecil hingga sekarang, apakah ia hanya bisa menurut?Theo duduk diam, meratapai nasibnya yang selalu menjadi boneka Martin, diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan Martin. I
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti