Menyadari kalau Theo mengikutinya, Felicia pun menghentikan langkah lalu berbalik menghadap Theo.
“Jangan ikuti saya atau saya marah!” ancam Felicia.
Ternyata berhasil, Theo langsung berhenti melangkah. Tapi, Theo menatap Felicia dengan sorot mata yang terlihat sedih. Dan, Felicia menyadari itu.
Jangan goyah!
Felicia berlanjut melangkah ke toilet. Sesampainya di toilet, Felicia terdiam. Apakah yang tadi itu tidak masalah? Ia baru saja mengancam anak bosnya!
Namun, Felicia yakin Theo bukanlah anak pengadu. Tak mungkin Theo mengadu kepada Papanya tentang perlakuan Felicia ‘kan?
Kembali ke kursinya, Felicia bersiap mengobrol lagi dengan teman-temannya. Namun, sosok Theo lewat. Ah, sial! Felicia langsung menunduk dan pura-pura sibuk sambil mengaduk minumannya.
“Eh, ada Theo!” seru Diana. “Theo! Sini!”
Felicia harap Theo tak kemari. Sayangnya, ia bisa mendengar suara langkah kaki yang mendek
Felicia tak bisa berkata-kata. Pengakuan Theo yang terlalu mendadak dan tak terduga tentu saja membuatnya terkejut.“Bagaimana bisa kamu … ke saya …” Felicia tak melanjutkan ucapannya.Apa benar perkataan Theo tadi? Pria itu menyukainya?“Apa kamu nggak peka?!” seru Theo, terlihata agak kesal. “Apa nggak tahu kalau perhatian yang selama ini saya tunjukkan itu bukti kalau saya suka sama kamu?”“Saya pikir kamu cuma tertarik sama tubuh saya,” ucap Felicia dengan suara pelan.Theo terlihat kaget dengan ucapan Felicia, setelah itu ia menghela napas.Theo mendekat pada Felicia, memeluk Felicia dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Felicia.Entah apa yang Theo lakukan, cukup lama Theo tidak mengangkat kepalanya, dan tiba-tiba Felicia merasakan pundaknya basah serta mendengar suara isak tangis.Astaga, jangan bilang Theo menangis?!Duh, kenapa ini? Apa gara-gara
Sekitar delapan orang, termasuk anak magang, turut serta dalam liburan ke Bali. Selama dalam perjalanan, Felicia terus menatap Theo, tapi tak sekalipun Theo balas menatapnya.Sore ini matahari bersinar dengan indah. Sunset yang hangat menyelimuti pantai.Sekarang mereka semua sudah tiba di pantai dan bersiap untuk bermain. Felicia diam mengamati sambil menikmati angin laut yang berhembus dan menerbangkan helaian rambut panjangnya.“Kamu nggak bawa topi, Fel?”Suara berat terdengar. Tapi, bukan Theo, itu suara Marcell. Ya, manajer mereka ikut ketika mendengar kabar para karyawan dan anak magang akan liburan.“Bawa sih, tapi saya taruh di sana,” tunjuk Felicia ke sebuah meja.Posisi Felicia sedang berdiri di dekat bibir pantai. Ia ingin mencelupkan kakinya ke air pantai, tapi mungkin nanti. Sekarang masih ingin menikmati pemandangan.Felicia menatap Marcell yang berjalan menjauh darinya. Ia pikir Marcell hendak k
Felicia gugup untuk sesaat. Angin malam yang berhembus di pantai seketika menyadarkannya.Tidak langsung menjawab, Felicia berpikir sambil menunduk. Ditatapnya pasir pantai yang terhampar di bawah alas kaki.Jantung Felicia berdegup kencang, masih bingung bagaimana harus bicara. Terutama memikirkan kata-kata yang disusun untuk meminta maaf kepada Theo.Sepertinya kalau to the point alias langsung pada intinya tak apa ‘kan?Felicia mendongak, menatap dengan berani tepat ke mata Theo yang sedetikpun belum berpaling darinya.“Theo, saya minta maaf.” Felicia bicara dengan suara yang lembut, tapi ada nada penyesalan di sana.Theo memasang wajah datar, ia mengangkat alisnya tanpa berkata apa-apa, menunggu Felicia melanjutkan perkataannya.“Maaf kalau kamu sakit hati karena saya nggak bisa memberi kepastian setelah kamu mengungkapkan perasaan ke saya.”Felicia menunduk lagi, memainkan pasir pantai dengan
Permainan berlanjut, dan Felicia merasa lega karena Theo tak lagi menatapnya.Namun, hati Felicia terasa berat karena kini melihat Sophia dan Theo semakin dekat. Felicia tak tahu ada apa dengan dirinya?Sophia tertawa lalu Theo tersenyum, para anak magang asyik mengobrol. Hati Felicia terusik melihat interaksi Theo dan Sophia. Mengapa Theo mau tersenyum saat bersama Sophia, tapi tidak saat bersamanya?‘Kenapa aku merasa begini?’ pikir Felicia.Suasana malam di villa terasa lebih hangat dari biasanya, meski angin pantai sesekali berhembus masuk melalui jendela yang terbuka. Namun, Felicia tidak merasa gembira.Di saat yang lain tertawa dan mengobrol, perhatian Felicia terus terfokus pada Theo dan Sophia.Sophia semakin dekat dengan Theo. Felicia memperhatikan bagaimana Sophia tertawa renyah, meletakkan tangan di lengan Theo dengan cara yang terlalu akrab untuk sekadar teman.Felicia merasa tidak nyaman, namun tak mampu mele
Felicia dan Theo masih berciuman, suhu tubuh mereka meningkat. Ciuman yang penuh emosi terjadi.Bibir mereka masih saling bertaut. Hembusan napas menderu. Dan, bisa Felicia rasakan kalau tangan Theo mengusap pinggangnya.Ketika mendengar suara lenguhan Felicia, Theo menarik diri dengan napas terengah."Bu Feli, kita nggak bisa begini," ucap Theo pelan tapi tegas. Meskipun suaranya terdengar aneh setelah ciuman tadi.Felicia mengerjap, seolah baru tersadar dari mimpi. Wajahnya memerah antara mabuk, malu, dan bingung.“M-maaf, The.” Felicia bicara lirih.Lalu, dengan tergesa Felicia bangkit dari tempat tidur. Ia berlari keluar dari kamar Theo.Felicia tiba di kamarnya, ia menutup pintu rapat-rapat dan merebahkan tubuh di atas kasur. Ia berusaha memejamkan mata, namun sulit.Sial! Malam ini Felicia yakin kalau ia akan sulit tidur. Bayangan ciuman tadi terus menghantui pikirannya. Hatinya mulai diliputi rasa bersalah da
Malam yang panas dan penuh gairah itu berlanjut.Di dalam kamar yang remang-remang, tubuh Theo dan Felicia bergerak seirama, mengikuti hasrat mereka yang tak tertahankan.“Feli …” bisik Theo dikuti erangan seksinya.“Theo …” Felicia menyahut dengan suara yang tak kalah seksi didengar oleh Theo.Nafas mereka saling bersahutan. Bibir mereka kembali bertemu untuk kesekian kalinya. Suara desahan dan erangan memenuhi ruangan, menambah intim suasana di antara mereka.Setiap sentuhan meninggalkan jejak panas seperti percikan api, mampu membakar gairah mereka.Felicia tak dapat mengendalikan dirinya lagi, setiap gerakan Theo seolah menambah percikan api dalam tubuhnya.Saat Theo menatapnya dalam-dalam dengan sorot mata yang dipenuhi kabut gairah, Felicia merasa berdebar sekaligus tak dapat menjuhkan pandangannya dari Theo.Hingga akhirnya, mereka mencapai puncak kenikmatan bersama, menahan teriakan
Felicia berdiri di pinggir sungai dengan jaket Theo yang melindungi tubuhnya dari pandangan orang lain. Hatinya berdebar tak karuan melihat perhatian yang diberikan oleh Theo.Ketika pandangan mereka bertemu, Felicia gugup ditatap intens oleh berondong itu. Tatapan Theo terasa menusuk hingga ke dalam hati."Makasih, Theo," ucap Felicia dengan suara lirih, mencoba menenangkan diri.Theo hanya tersenyum, lalu berkata, "Sama-sama, Feli. Nanti ganti baju jangan yang warna putih lagi.”“Uhm … oke.”Felicia mengangguk.“Theo!”Felicia dan Theo menoleh, datang sosok Sophia dengan baju yang juga basah.“Aku kedinginan, The. Kamu nggak mau pakaikan aku jaket juga?” tanya Sophia dengan ekspresi sok imut.“Jaket yang aku bawa cuma satu,” kata Theo, tak lagi tersenyum.Sophia cemberut lalu melirik ke jaket Theo yang Felicia kenakan. Hal itu membuat Felicia canggung,
Felicia masih tertegun dengan hangatnya genggaman tangan besar Theo, melingkupi tangannya yang lebih kecil.Saat sesi foto berakhir, Felicia perlahan melepaskan genggamannya dan menarik napas dalam-dalam.“Mau lihat hasilnya!” seru Sophia.Semua orang mulai bergerak mendekati sang fotografer untuk melihat hasil foto mereka, termasuk Felicia. Dan, Felicia cemberut melihat hasilnya.Bagaimana tidak? Di hasil foto, wajah Felicia menampakkan raut kaget. Ini gara-gara Theo yang membuatnya terkejut dengan menggenggam tangannya! Tapi, untungnya tak terlihat di kamera kalau tangannya sedang digenggam oleh Theo, terhalang tubuh yang lain.“Haha, Fel! Mukamu kenapa begitu? Seperti terkejut melihat hantu,” tawa Diana.Felicia makin cemberut, ia pun menatap tajam ke arah Theo. Tapi, Theo malah tampak menahan tawa.Setelahnya, mereka kembali ke vila untuk bersiap-siap pergi belanja oleh-oleh. Malam ini adalah malam terakhir
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de