Jarak wajah yang begitu dekat membuat Felicia tersadar kalau napas Theo menerpa kulit wajahnya. Sekarang ia khawatir, debaran jantungnya yang begitu keras, apakah Theo mendengarnya?
“Ekhem!” dehem Felicia.
Felicia sampai nyaris gemetar karena Theo masih menatapnya dengan intens. Pelan-pelan ia melepas kancing kemeja Theo paling atas, lalu melepas satu lagi.
“Su-sudah saya lepas. Atau perlu saya lepas satu lagi biar lebih lega?” Suara Felicia terdengar jelas kalau ia gugup.
Setelah bertanya seperti itu, Felicia merutuki dirinya di dalam hati. Seharusnya ia langsung pergi! Mengapa malah menawarkan diri untuk melepas kancing kemeja lagi? Ah, sial!
“Hm.” Theo bergumam singkat seraya mengangguk.
Pandangan Theo masih belum lepas dari Felicia, tapi tetap tak ada ekspresi di sana.
Felicia jadi merindukan ekspresi jahil dan menggemaskan milik Theo, terutama senyum pria itu.
Felicia melepas satu lagi k
Asumsi Felicia semakin kuat kalau Theo menghilang, karena sampai hari berikutnya masih tak ada kabar tentang Theo.Tak ada yang tahu di mana keberadaan Theo.Hingga memasuki libur akhir pekan, Felicia masih tetap mencoba menghubungi Theo, meskipun masih tak ada respon. Setiap harinya ia dilanda kekhawatiran.“Kamu kenapa sih, Kak? Setiap hari mengecek hp, mondar-mandir seperti orang khawatir,” heran William.“Ssttt! Diam dulu!” seru Felicia.Kini Felicia sedang mencoba menelepon Theo entah untuk keberapa kalinya. Ia berharap Theo mengangkat panggilannya meskipun hanya satu kali.Selang beberapa menit, harapan Felicia terwujud.Panggilan Felicia diangkat oleh Theo! Tanpa berbasa-basi, Felicia bertanya,“Theo! Kamu di mana?”Tak ada jawaban dari seberang sana. Namun, Theo benar-benar sudah mengangkat panggilan dari Felicia.“The, kasih tahu aku kamu ada di mana?” tanya
Felicia tidak tahu apa yang terjadi dengan Theo. Tapi, mendengar Theo menangis membuatnya turut ingin menangis. Apalagi suara tangisan Theo cukup menyayat hati Felicia.Mata Felicia sudah terasa panas dan pandangannya berangsur memburam, tapi ia menahan diri untuk tak turut meneteskan air mata. Ia tak mau memperburuk suasana, di sini ia harus menghibur Theo.Felicia turut sedih. Ia tak pernah mendengar atau melihat pria dewasa menangis seperti Theo, bahkan adiknya juga tak pernah sampai begini.“F-Feli …”Theo masih terisak dan sesekali memanggil nama Felicia.“Iya, saya di sini.” Felicia menyahut sambil mengelus punggung Theo.Tatapan Felicia tertuju ke tangan Theo yang meremas erat bajunya sampai kusut. Felicia membiarkan itu, justru ia merasa iba kepada Theo.Setelah Theo berhenti terisak, pelukan Theo mengendur dari tubuh Felicia.Felicia menatap Theo yang menjauh sesaat, menunduk sambil mengu
Theo terus berjalan maju mendekat padanya, tapi Felicia berusaha untuk tenang, walaupun jantungnya sudah berdebar hebat seolah sedang lari marathon.“Ta-tapi saya tidur di mana kalau menginap di sini? Di sofa?” Felicia bertanya dengan nada bicara yang terdengar gugup.“Ada dua kamar. Bu Feli tadi udah keliling ‘kan?” Theo bertanya sambil memajukan langkahnya.Kini, Felicia berhasil terpojok, punggungnya sudah mencium tembok.“Bagaimana?” tanya Theo.Duh, Felicia kehabisan alasan untuk menolak. Akhirnya ia mengangguk setuju.“Oke, saya tidur di sini.”Felicia sudah waswas, mengira Theo akan macam-macam, contohnya menciumnya. Tapi, ternyata tidak.Tiba-tiba senyum Theo terbit.Felicia mengerjap kaget melihat Theo mengulas senyum. Setelah berhari-hari Theo tampak murung, lebih banyak diam dengan raut datar, akhirnya kini Theo kembali tersenyum manis. Terlihat tulus.Theo menjauh perlahan, lalu melepaskan genggaman ta
“Eunghh … Theo …”Felicia mengerang di sela-sela ciumannya dengan Theo. Gerakan bibir Theo yang lembut begitu membuainya. Ia merasakan jemari Theo yang berada di punggungnya mulai bergerak, mengusap lembut, meninggalkan jejak hangat.Hembusan napas hangat saling menerpa, bersatu, terasa intim.Perlahan, Felicia membalas ciuman Theo. Dan, ketika mendapat balasan, bisa ia rasakan Theo semakin intens menciumnya.Tak mau kalah dengan tangan Theo, kini tangan Felicia hinggap di dada bidang Theo yang keras, Felicia mengelus lembut di sana. Giliran Theo yang terdengar mengerang.Felicia butuh mengambil napas, begitu juga dengan Theo. Terpaksa, mereka memutus ciuman.Kedua mata Felicia terbuka perlahan dan langsung bertubrukan dengan netra kecokelatan milik Theo yang sedang menatapnya lekat.“Maaf,” bisik Theo, suaranya terdengar serak, tak dapat ia sembunyikan.Felicia gugup menatap Theo dalam jar
“Ka-kamu ‘kan udah sembuh. Makan sendiri lah!” seru Felicia, suaranya dibuat tegas agar tak terlihat jelas kalau sedang gugup.Felicia mengernyit ketika melihat Theo beranjak dari duduk. Setelahnya, ia dibuat terbelalak karena Theo berpindah duduk di sebelahnya.“Saya sedang nggak nafsu makan. Suapin dong, kalau enggak, nanti sakit lagi gimana?”“Tapi—"“Ayo, suapin! Aaaa …” Theo membuka mulutnya.Felicia tercengang melihat tingkah Theo.Kalau sudah begini, Felicia tak sanggup menolak. Akhirnya ia menyendok bubur, memasukkan ke mulut Theo.Theo menelannya lalu tersenyum dan kembali membuka mulutnya. Tanpa sadar, Felicia tersenyum melihat tingkah Theo, apakah rasa bubur buatannya enak di mulut Theo?Entah berapa suapan sudah masuk ke mulut Theo, dan Theo tampak menikmatinya.Felicia sampai menggeleng heran. Rasanya ia seperti sedang menyuapi bayi besar.&
“Loh, apa kamu belum tahu tentang itu?” tanya Rini.Felicia menetralkan keterkejutannya lantas menggeleng. “Belum, Bu.”Felicia memperhatikan lamat-lamat mantan pengasuh Theo yang kini tampak kaget.“Apa seharusnya saya nggak memberi tahu kamu tentang itu?” gumam Rini, tapi masih bisa didengar oleh Felicia.“Kalau itu hal yang seharusnya nggak boleh saya ketahui, maka saya nggak akan ngomong ke Theo. Bu Rini tenang aja.” Felicia tersenyum, menenangkan wanita paruh baya itu.“Terima kasih, ya.” Rini bisa lebih tenang. “Ngomong-ngomong, saya pikir kalian sudah dekat, jadi kamu pasti tahu banyak hal tentang Theo.”Felicia menggeleng. Ia menghela napas tiba-tiba, menatap lurus ke depan.“Saya memang dekat sama Theo.” Felicia mengakui itu. “Tapi, Theo nggak mau terbuka sama saya.”“Mungkin sulit buat Theo bercerita ke orang baru. Kalau saya bukan pengasuhnya sejak bayi, saya yakin dia nggak akan memberi tahu saya apa pun.”“Boleh saya tahu kelanjutannya, Bu? Saya mau dengar cerita lebih ban
Doni dan Theo tampaknya sudah lelah, mereka berhenti saling meledek. Setelah itu, mereka bergurau dan saling melempar tawa.Tanpa sadar, Felicia tersenyum melihat Theo tertawa. Ia baru menyadarinya ketika Theo menatap ke arahnya. Ia pun buru-buru membuang pandangan ke arah lain.“Capek,” keluh Theo.Tanpa mempedulikan sekitar, Theo yang duduk di sebelah Felicia menyandarkan kepalanya ke pundak Felicia.Felicia terkesiap kaget. “The, masih ada Bu Rini sama Doni,” bisiknya.Felicia tersenyum malu ketika menyadari Doni dan Rini menatapnya serta Theo bergantian.“Biarkan aja.” Theo tampak tak peduli, malah semakin merapat pada Felicia. Ia melirik Felicia sejenak. “Kenapa tadi senyum-senyum sambil natap saya? Kamu jatuh cinta sama saya, ya?”“E-enggaklah! Percaya diri banget kamu!” sangkal Felicia, suaranya terdengar gugup.Enggan mengganggu Felicia dan Theo yang seperti be
“Kata siapa kencan? Anda salah paham, Pak Marcell.” Theo bicara dengan nada tegas, ia tampak lebih tenang dari sebelumnya.Felicia melirik Theo sejenak. Ia merasa lega setidaknya ada Theo yang membantu bicara.“Lalu kalau bukan kencan, bagaimana bisa kalian bersama?” tanya Marcell.Marcell masih tampak tak percaya. Ia yakin ada sesuatu di antara Felicia dan Theo, mereka sudah terlihat dekat sejak awal.“Ini tempat umum, bukankah wajar bertemu di sini?” Masih Theo yang membalas.Felicia menatap Theo dan Marcell bergantian. Dari raut wajah kedua pria itu, mereka terlihat seperti hendak adu mulut.“Wajar saja kalau itu orang lain, tapi enggak kalau kalian berdua. Jujur saja sama saya kalau kalian punya hubungan mendalam,” ucap Marcell.Felicia hendak maju berbicara, tapi Theo menahannya.“Saya sama Bu Feli bertemu di dalam kereta, kami satu gerbong, dan duduk bersebelahan. Bu F
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de