Nicholas duduk dengan perasaan gundah. Haruskah dia menceritakan segalanya tentang Sofia saat ini?
Dilihatnya wanita bertubuh mungil yang kini serang tertawa bahagia, bersama ibu dan adiknya.
Bibir Nicholas tersungging, jarang-jarang dia bisa melihat tawa Sofia seperti ini. Sebuah kejadian langka yang akan terus terekam dalam memori ingatannya.
“Nic, bisa kita bicara?” Tiba-tiba saja suara Tuan Luciano membuat Nicholas sedikit terperanjat.
“Apa sangat penting, Dad?”
Tuan Luciano hanya tersenyum. Pria paru baya itu segera bangkit dan berjalan meninggalkan Nicholas, dan yang lain menuju ruang kerjanya.
“Mau ke mana daddymu?” tanya Nyonya Elina heran.
Nicholas terdiam. “Aku akan menyusul dad dulu.” Pria itu segera bangkit untuk segera menyusul ayahnya.
***
Kini Nicholas duduk dengan perasaan yang tak menentu di depan kedua orang tuanya. Meninggalkan Sofia dan Alicia yang masih
Pagi-pagi sekali Arnold sudah berada di depan kafe, tempat di mana dia melihat Sofia beberapa hari lalu. Entah apa yang pikirkan, Arnold hanya berpikir bahwa mungkin saja dia bisa bertemu dengan Sofia di sini.Dari dalam mobilnya, Arnold melihat dua orang gadis yang sedang membersihkan kafe itu. Belum banyak pengunjung yang datang karena ini memang masih sangat pagi.Namun, itu tidak berlaku bagi Arnold. Pria itu tidak bisa tidur dari semalam. Pikirannya selalu melayang memikirkan Sofia. Bahkan beberapa hari ini pikirannya benar-benar kalut, hanya ada Sofia saja.Di sisi lain.Sofia memaksakan senyumnya ketika melambaikan tangan ke arah El. Setelah melihat El sudah masuk ke dalam, wanita itu bergegas pergi dari sana.Kini tujuannya bukan kafe atau rumah. Sofia hanya ingin menghabiskan waktu seorang diri di tempat ternyaman.Kejadian kemarin malam masih melekat kuat dalam benaknya, dan sejak kemarin juga dia belum berani bertemu dengan Nichol
Jovita berkali-kali menyesap cangkir kopi miliknya. Entah sudah berapa lama dia duduk di kafe ini, menunggu kedatangan seseorang yang sudah cukup terlambat.Wanita itu sedikit menggeram kesal. Tidak seharusnya dia diperlakukan seperti saat ini.“Oh, ayolah, Jo. Kau hanya perlu bersabar sebentar lagi jika memang ingin mendapatkan apa yang kau mau,” ingat wanita itu pada dirinya sendiri.Tak lama setelah itu, bibir Jovita mengembang sempurna ketika melihat siapa yang datang dari balik pintu masuk.“Nona Jovita.”Jovita mengangguk. Wajah wanita itu terlihat begitu antusias.“Bagaimana?” tanya Jovita tidak sabar.Pria bertubuh sedikit gempal itu tersenyum, nyaris tertawa kecil. Dia segera duduk di hadapan Jovita meski tidak diminta sekali pun.“Tentu saja beres. Bukankah aku sudah bilang jika hanya masalah seperti ini, itu tidak sulit.” Pria di hadapan Jovita itu tertawa kecil. Wajahn
“Sofia!” panggil seorang pria kepada wanita bertubuh mungil yang sedang berjalan.Sofia menoleh. Wanita terlihat melihat ke sana-sini, mencari sumber suara yang terasa asing di telinganya.Terlihat seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putih yang sedang berjalan ke arahnya, mengalihkan perhatian wanita tersebut.“Sofia! Kau Sofia, bukan?”Sofia mengernyitkan dahi, bingung. Dia berusaha keras mengingat siapa pria yang sekarang berdiri di hadapannya.“Anda siapa?” tanya Sofia tanpa berniat menjawab pertanyaan dari pria asing itu.“Dareen. Kau tidak ingat aku?” Pria di hadapan Sofia itu tersenyum ramah.Sofia berusaha kembali mengingat. Mungkin saja pria ini adalah teman masa sekolahnya. Bisa juga teman dia kuliah dulu. “Apa kita pernah saling mengenal? Maksudku, aku sedikit pelupa. Maaf.” Sofia tersenyum canggung.Pria di hadapan Sofia itu tertawa kecil. “Kita
Nicholas mendesah kasar ketika panggilan dari ibunya berakhir. Pikirannya mendadak bercabang ke mana-mana. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, atau apa yang akan ibunya katakan.“Temui saja ibumu!” Kenzo menepuk bahu Nicholas pelan. Pria itu berusaha menjernihkan pikiran Nicholas.Nicholas mengangguk. Pria itu kembali berjalan dan duduk di kursi kerjanya. Entah kenapa mendadak selera ingin pulang cepat, sirna begitu saja. Rasanya Nicholas ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di kantor.Kenzo menatap iba ke arah sahabatnya. Setelah perjuangan mendapatkan cinta Sofia, kini Nicholas harus kembali berjuang untuk bisa mendapatkan restu dari ibunya.Melihat Nicholas yang hanya terdiam saja, membuat Kenzo berniat meninggalkan pria itu. Lebih tepatnya memberikan waktu agar Nicholas dapat berpikir jernih.Diambilnya berkas yang sudah ditandatangani oleh Nicholas tadi. Lantas Kenzo berjalan ke luar tanpa berpamitan.*
Pagi harinya sebelum Nyonya Elina menemui Nicholas, wanita paru baya itu pergi ke acara sosial yang biasa dia lakukan bersama dengan para istri pengusaha lain. Kali ini mereka akan mendatangi sebuah panti asuhan, dan membawa banyak barang. Mulai dari bahan pokok makanan, dan beberapa pakaian yang sudah mereka kumpulkan dari beberapa penyumbang. Serta jumlah uang yang dirasa cukup untuk kebutuhan anak-anak panti untuk beberapa bulan ke depan. Nyonya Elina sendiri memang rutin mengadakan acara seperti ini. Dia senang berbagai kepada anak-anak yang memang membutuhkan. Anak-anak yang memiliki nasib yang kurang bagus, menurutnya. Setelah mereka menurunkan semua barang-barang, dan membagikannya kepada anak-anak yang ada di panti, Nyonya Elina memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di taman. Mendadak pikiran wanita paru baya itu melayang, memikirkan tentang bagaimana nasib putra sulungnya. Menikahi seorang janda? Ya, sampai saat ini Nyonya Elina ma
Sofia berlari dengan langkah tertatih. Dia segera turun dengan menggunakan lift. Tangan mungilnya berkali-kali berusaha menyeka air mata yang berusaha memaksa untuk turun.Sakit. Hatinya terasa seperti dihancurkan untuk berkali-kali. Ya, memang benar jika El adalah anak yang lahir di luar hubungan pernikahan. Memang benar jika dia adalah wanita yang tidak suci lagi.Namun, mendengar penghinaan yang sama untuk yang kedua kalinya seolah kembali membuka luka lama.Sofia melangkahkan kaki dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat. Suara gemuruh yang tiba-tiba datang, tidak lagi dia hiraukan. Bahkan, panggilan Nicholas dari belakang sana dia abaikan begitu saja.“Sofia, tunggu aku!” Nicholas berlari berusaha mengejar Sofia.Hujan turun dengan begitu deras, seolah paham dengan luka dan air mata yang ada dalam diri Sofia. Hujan yang seolah berusaha menutupi luka lama yang kembali terkoyak.“Sofia!” Nicholas menarik tangan So
Sofia membuka mata yang masih terasa berat. Manik cokelat tua itu menatap sekeliling. Kepalanya masih terasa sedikit sakit, mungkin karena terkena air hujan malam tadi.“Sudah bangun?”Suara berat Nicholas tiba-tiba saja membuat wanita itu tersentak. Sofia langsung terduduk. Tangannya terulur memegang kepala yang semakin berdenyut karena kaget.Oh, Tuhan. Manik cokelat tua itu sukses membulat sempurna.“EL!”Nicholas berjalan mendekati Sofia yang masih terlihat acak-acakan.“Dia bersama dengan Kenzo semalam. Pagi ini aku juga meminta tolong Kenzo untuk mengantarnya sekolah.”Sofia menoleh ke arah Nicholas. Menatap pria yang sedang berdiri itu dengan sedikit tajam. Kemudian tatapannya turun, menatap kemeja Nicholas yang melekat pada tubuhnya.Nicholas tertawa kecil. “Aku sudah melihat semuanya.”“Nicholas!” teriak Sofia. Wanita itu segera melemparkan bantal ke ar
Arnold menatap adik laki-lakinya yang saat ini terlihat sedikit gugup. Tidak biasanya Dareen bertingkah seperti sekarang. Tentu saja hal ini semakin membuat Arnold curiga.“Kak, sebentar lagi rapat akan dimulai.” Dareen berusaha mengingatkan kakaknya. Dia merasa bahwa sang kakak sedang menatap ke arahnya dengan kecurigaan penuh.“Aku tahu,” jawab Arnold singkat. Pria itu kembali diam. Dia kembali mengingat foto yang dilihat di ponsel Arzan tadi.Arnold ingat dia pernah melihat punggung itu. Punggung wanita yang terlihat begitu sama. Punggung seorang wanita yang diyakini Sofia, yang dia lihat di kafe beberapa waktu lalu.“Aku pergi jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi.” Dareen bangun dari posisi duduknya.“Duduklah! Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”Dareen menghela napas panjang. Namun, tak urung pria itu juga mengikuti kemauan kakaknya.“Kau bertemu dengan siapa kemarin?&