“Sofia!” panggil seorang pria kepada wanita bertubuh mungil yang sedang berjalan.
Sofia menoleh. Wanita terlihat melihat ke sana-sini, mencari sumber suara yang terasa asing di telinganya.
Terlihat seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putih yang sedang berjalan ke arahnya, mengalihkan perhatian wanita tersebut.
“Sofia! Kau Sofia, bukan?”
Sofia mengernyitkan dahi, bingung. Dia berusaha keras mengingat siapa pria yang sekarang berdiri di hadapannya.
“Anda siapa?” tanya Sofia tanpa berniat menjawab pertanyaan dari pria asing itu.
“Dareen. Kau tidak ingat aku?” Pria di hadapan Sofia itu tersenyum ramah.
Sofia berusaha kembali mengingat. Mungkin saja pria ini adalah teman masa sekolahnya. Bisa juga teman dia kuliah dulu. “Apa kita pernah saling mengenal? Maksudku, aku sedikit pelupa. Maaf.” Sofia tersenyum canggung.
Pria di hadapan Sofia itu tertawa kecil. “Kita
Nicholas mendesah kasar ketika panggilan dari ibunya berakhir. Pikirannya mendadak bercabang ke mana-mana. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, atau apa yang akan ibunya katakan.“Temui saja ibumu!” Kenzo menepuk bahu Nicholas pelan. Pria itu berusaha menjernihkan pikiran Nicholas.Nicholas mengangguk. Pria itu kembali berjalan dan duduk di kursi kerjanya. Entah kenapa mendadak selera ingin pulang cepat, sirna begitu saja. Rasanya Nicholas ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di kantor.Kenzo menatap iba ke arah sahabatnya. Setelah perjuangan mendapatkan cinta Sofia, kini Nicholas harus kembali berjuang untuk bisa mendapatkan restu dari ibunya.Melihat Nicholas yang hanya terdiam saja, membuat Kenzo berniat meninggalkan pria itu. Lebih tepatnya memberikan waktu agar Nicholas dapat berpikir jernih.Diambilnya berkas yang sudah ditandatangani oleh Nicholas tadi. Lantas Kenzo berjalan ke luar tanpa berpamitan.*
Pagi harinya sebelum Nyonya Elina menemui Nicholas, wanita paru baya itu pergi ke acara sosial yang biasa dia lakukan bersama dengan para istri pengusaha lain. Kali ini mereka akan mendatangi sebuah panti asuhan, dan membawa banyak barang. Mulai dari bahan pokok makanan, dan beberapa pakaian yang sudah mereka kumpulkan dari beberapa penyumbang. Serta jumlah uang yang dirasa cukup untuk kebutuhan anak-anak panti untuk beberapa bulan ke depan. Nyonya Elina sendiri memang rutin mengadakan acara seperti ini. Dia senang berbagai kepada anak-anak yang memang membutuhkan. Anak-anak yang memiliki nasib yang kurang bagus, menurutnya. Setelah mereka menurunkan semua barang-barang, dan membagikannya kepada anak-anak yang ada di panti, Nyonya Elina memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di taman. Mendadak pikiran wanita paru baya itu melayang, memikirkan tentang bagaimana nasib putra sulungnya. Menikahi seorang janda? Ya, sampai saat ini Nyonya Elina ma
Sofia berlari dengan langkah tertatih. Dia segera turun dengan menggunakan lift. Tangan mungilnya berkali-kali berusaha menyeka air mata yang berusaha memaksa untuk turun.Sakit. Hatinya terasa seperti dihancurkan untuk berkali-kali. Ya, memang benar jika El adalah anak yang lahir di luar hubungan pernikahan. Memang benar jika dia adalah wanita yang tidak suci lagi.Namun, mendengar penghinaan yang sama untuk yang kedua kalinya seolah kembali membuka luka lama.Sofia melangkahkan kaki dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat. Suara gemuruh yang tiba-tiba datang, tidak lagi dia hiraukan. Bahkan, panggilan Nicholas dari belakang sana dia abaikan begitu saja.“Sofia, tunggu aku!” Nicholas berlari berusaha mengejar Sofia.Hujan turun dengan begitu deras, seolah paham dengan luka dan air mata yang ada dalam diri Sofia. Hujan yang seolah berusaha menutupi luka lama yang kembali terkoyak.“Sofia!” Nicholas menarik tangan So
Sofia membuka mata yang masih terasa berat. Manik cokelat tua itu menatap sekeliling. Kepalanya masih terasa sedikit sakit, mungkin karena terkena air hujan malam tadi.“Sudah bangun?”Suara berat Nicholas tiba-tiba saja membuat wanita itu tersentak. Sofia langsung terduduk. Tangannya terulur memegang kepala yang semakin berdenyut karena kaget.Oh, Tuhan. Manik cokelat tua itu sukses membulat sempurna.“EL!”Nicholas berjalan mendekati Sofia yang masih terlihat acak-acakan.“Dia bersama dengan Kenzo semalam. Pagi ini aku juga meminta tolong Kenzo untuk mengantarnya sekolah.”Sofia menoleh ke arah Nicholas. Menatap pria yang sedang berdiri itu dengan sedikit tajam. Kemudian tatapannya turun, menatap kemeja Nicholas yang melekat pada tubuhnya.Nicholas tertawa kecil. “Aku sudah melihat semuanya.”“Nicholas!” teriak Sofia. Wanita itu segera melemparkan bantal ke ar
Arnold menatap adik laki-lakinya yang saat ini terlihat sedikit gugup. Tidak biasanya Dareen bertingkah seperti sekarang. Tentu saja hal ini semakin membuat Arnold curiga.“Kak, sebentar lagi rapat akan dimulai.” Dareen berusaha mengingatkan kakaknya. Dia merasa bahwa sang kakak sedang menatap ke arahnya dengan kecurigaan penuh.“Aku tahu,” jawab Arnold singkat. Pria itu kembali diam. Dia kembali mengingat foto yang dilihat di ponsel Arzan tadi.Arnold ingat dia pernah melihat punggung itu. Punggung wanita yang terlihat begitu sama. Punggung seorang wanita yang diyakini Sofia, yang dia lihat di kafe beberapa waktu lalu.“Aku pergi jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi.” Dareen bangun dari posisi duduknya.“Duduklah! Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”Dareen menghela napas panjang. Namun, tak urung pria itu juga mengikuti kemauan kakaknya.“Kau bertemu dengan siapa kemarin?&
Arnold menatap wanita yang sedang duduk di hadapannya saat ini. Wanita yang hanya terdiam seraya menunduk.“Ini kesempatan terakhirmu!” desis Arnold. Pria itu benar-benar merasa jengah berhadapan dengan wanita seperti Grace.Grace mengangkat kepalanya. “Ar, maafkan aku,” ujarnya dengan begitu tulus.Raut wajah Grace terlihat begitu menyesal. Wanita itu sudah menyesali semua hal yang telah terjadi. Grace sadar jika selama ini hanya Arnold yang mau membantunya.Arnold mendengkus kasar. “Kau memintaku datang ke sini hanya untuk ini, Grace?” Bosan! Rasanya Arnold sudah bosan mendengar semua permintaan maaf yang diucapkan oleh Grace.Pagi-pagi sekali wanita itu menghubunginya, dan meminta untuk bertemu. Dan hanya ini yang Arnold dengar?“Ar!” Grace menyentuh tangan Arnold yang berada di atas meja, lalu menggenggamnya.Manik mata wanita itu memancarkan sebuah ketulusan. Grace sadar jika selama
“Dad, boleh aku tunggu di sini saja?”Tiba-tiba saja El menghentikan langkah kakinya, membuat Nicholas menoleh, menatap anak laki-laki itu dengan tatapan heran.“Di bawah ramai sekali, El. Mommymu pasti akan sangat khawatir jika kau menunggu di bawah.”“Aku akan duduk bersama dengan kakak itu.” El menunjuk salah satu karyawan kafe. Seorang gadis muda yang memang cukup dekat dengannya.“No!” tegas Nicholas. Dia tidak mungkin membiarkan El di bawah tanpa pengawasan.Wajah El tampak murung ketika mendengar penolakan dari Nicholas. Dia ingin turun ke bawah dan menemui pria yang sedang duduk di pojok ruangan.“Ayo kita naik! Mommy pasti sudah menunggu.”Dengan langkah gontai El terpaksa mengikuti Nicholas. Anak laki-laki itu terlihat sangat ingin menemui seseorang di bawah sana. Namun, penolakan Nicholas membuat dia tidak lagi berani membantah.Sampai seketika bibir mungiln
Arnold melihat ke arah lantai atas. Lantai itu pasti tempat pemilik kafe ini, atau tempat seseorang yang mengelola kafe ini. Ya, itu mungkin saja!“Orang tuamu pemilik kafe ini?”Iris berwarna abu-abu milik Arnold menatap lekat ke arah anak laki-laki, yang memiliki warna bola mata serupa. Arnold tertegun, pria itu baru menyadari jika mereka memiliki warna mata yang sama.El terdiam untuk beberapa saat. Anak itu terlihat memikirkan jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Arnold. Dia sendiri juga merasa bingung. Apakah ibunya pemilik tempat ini?“Sepertinya memang begitu. Mommy-ku bekerja di sini,” jawab El pada akhirnya. Memang benar bukan ibunya bekerja di tempat ini?1. Arnold terdiam. Pria itu tampak memikirkan kemungkinan yang ada. Dia memang belum tahu pasti tentang pemilik kafe ini, tetapi dia yakin bahwa dia pernah melihat Sofia di sini.Mungkinkah Sofia pemilik dari kafe ini? Tiba-tiba saja pert