Jovita berkali-kali menyesap cangkir kopi miliknya. Entah sudah berapa lama dia duduk di kafe ini, menunggu kedatangan seseorang yang sudah cukup terlambat.
Wanita itu sedikit menggeram kesal. Tidak seharusnya dia diperlakukan seperti saat ini.
“Oh, ayolah, Jo. Kau hanya perlu bersabar sebentar lagi jika memang ingin mendapatkan apa yang kau mau,” ingat wanita itu pada dirinya sendiri.
Tak lama setelah itu, bibir Jovita mengembang sempurna ketika melihat siapa yang datang dari balik pintu masuk.
“Nona Jovita.”
Jovita mengangguk. Wajah wanita itu terlihat begitu antusias.
“Bagaimana?” tanya Jovita tidak sabar.
Pria bertubuh sedikit gempal itu tersenyum, nyaris tertawa kecil. Dia segera duduk di hadapan Jovita meski tidak diminta sekali pun.
“Tentu saja beres. Bukankah aku sudah bilang jika hanya masalah seperti ini, itu tidak sulit.” Pria di hadapan Jovita itu tertawa kecil. Wajahn
“Sofia!” panggil seorang pria kepada wanita bertubuh mungil yang sedang berjalan.Sofia menoleh. Wanita terlihat melihat ke sana-sini, mencari sumber suara yang terasa asing di telinganya.Terlihat seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putih yang sedang berjalan ke arahnya, mengalihkan perhatian wanita tersebut.“Sofia! Kau Sofia, bukan?”Sofia mengernyitkan dahi, bingung. Dia berusaha keras mengingat siapa pria yang sekarang berdiri di hadapannya.“Anda siapa?” tanya Sofia tanpa berniat menjawab pertanyaan dari pria asing itu.“Dareen. Kau tidak ingat aku?” Pria di hadapan Sofia itu tersenyum ramah.Sofia berusaha kembali mengingat. Mungkin saja pria ini adalah teman masa sekolahnya. Bisa juga teman dia kuliah dulu. “Apa kita pernah saling mengenal? Maksudku, aku sedikit pelupa. Maaf.” Sofia tersenyum canggung.Pria di hadapan Sofia itu tertawa kecil. “Kita
Nicholas mendesah kasar ketika panggilan dari ibunya berakhir. Pikirannya mendadak bercabang ke mana-mana. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, atau apa yang akan ibunya katakan.“Temui saja ibumu!” Kenzo menepuk bahu Nicholas pelan. Pria itu berusaha menjernihkan pikiran Nicholas.Nicholas mengangguk. Pria itu kembali berjalan dan duduk di kursi kerjanya. Entah kenapa mendadak selera ingin pulang cepat, sirna begitu saja. Rasanya Nicholas ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di kantor.Kenzo menatap iba ke arah sahabatnya. Setelah perjuangan mendapatkan cinta Sofia, kini Nicholas harus kembali berjuang untuk bisa mendapatkan restu dari ibunya.Melihat Nicholas yang hanya terdiam saja, membuat Kenzo berniat meninggalkan pria itu. Lebih tepatnya memberikan waktu agar Nicholas dapat berpikir jernih.Diambilnya berkas yang sudah ditandatangani oleh Nicholas tadi. Lantas Kenzo berjalan ke luar tanpa berpamitan.*
Pagi harinya sebelum Nyonya Elina menemui Nicholas, wanita paru baya itu pergi ke acara sosial yang biasa dia lakukan bersama dengan para istri pengusaha lain. Kali ini mereka akan mendatangi sebuah panti asuhan, dan membawa banyak barang. Mulai dari bahan pokok makanan, dan beberapa pakaian yang sudah mereka kumpulkan dari beberapa penyumbang. Serta jumlah uang yang dirasa cukup untuk kebutuhan anak-anak panti untuk beberapa bulan ke depan. Nyonya Elina sendiri memang rutin mengadakan acara seperti ini. Dia senang berbagai kepada anak-anak yang memang membutuhkan. Anak-anak yang memiliki nasib yang kurang bagus, menurutnya. Setelah mereka menurunkan semua barang-barang, dan membagikannya kepada anak-anak yang ada di panti, Nyonya Elina memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di taman. Mendadak pikiran wanita paru baya itu melayang, memikirkan tentang bagaimana nasib putra sulungnya. Menikahi seorang janda? Ya, sampai saat ini Nyonya Elina ma
Sofia berlari dengan langkah tertatih. Dia segera turun dengan menggunakan lift. Tangan mungilnya berkali-kali berusaha menyeka air mata yang berusaha memaksa untuk turun.Sakit. Hatinya terasa seperti dihancurkan untuk berkali-kali. Ya, memang benar jika El adalah anak yang lahir di luar hubungan pernikahan. Memang benar jika dia adalah wanita yang tidak suci lagi.Namun, mendengar penghinaan yang sama untuk yang kedua kalinya seolah kembali membuka luka lama.Sofia melangkahkan kaki dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat. Suara gemuruh yang tiba-tiba datang, tidak lagi dia hiraukan. Bahkan, panggilan Nicholas dari belakang sana dia abaikan begitu saja.“Sofia, tunggu aku!” Nicholas berlari berusaha mengejar Sofia.Hujan turun dengan begitu deras, seolah paham dengan luka dan air mata yang ada dalam diri Sofia. Hujan yang seolah berusaha menutupi luka lama yang kembali terkoyak.“Sofia!” Nicholas menarik tangan So
Sofia membuka mata yang masih terasa berat. Manik cokelat tua itu menatap sekeliling. Kepalanya masih terasa sedikit sakit, mungkin karena terkena air hujan malam tadi.“Sudah bangun?”Suara berat Nicholas tiba-tiba saja membuat wanita itu tersentak. Sofia langsung terduduk. Tangannya terulur memegang kepala yang semakin berdenyut karena kaget.Oh, Tuhan. Manik cokelat tua itu sukses membulat sempurna.“EL!”Nicholas berjalan mendekati Sofia yang masih terlihat acak-acakan.“Dia bersama dengan Kenzo semalam. Pagi ini aku juga meminta tolong Kenzo untuk mengantarnya sekolah.”Sofia menoleh ke arah Nicholas. Menatap pria yang sedang berdiri itu dengan sedikit tajam. Kemudian tatapannya turun, menatap kemeja Nicholas yang melekat pada tubuhnya.Nicholas tertawa kecil. “Aku sudah melihat semuanya.”“Nicholas!” teriak Sofia. Wanita itu segera melemparkan bantal ke ar
Arnold menatap adik laki-lakinya yang saat ini terlihat sedikit gugup. Tidak biasanya Dareen bertingkah seperti sekarang. Tentu saja hal ini semakin membuat Arnold curiga.“Kak, sebentar lagi rapat akan dimulai.” Dareen berusaha mengingatkan kakaknya. Dia merasa bahwa sang kakak sedang menatap ke arahnya dengan kecurigaan penuh.“Aku tahu,” jawab Arnold singkat. Pria itu kembali diam. Dia kembali mengingat foto yang dilihat di ponsel Arzan tadi.Arnold ingat dia pernah melihat punggung itu. Punggung wanita yang terlihat begitu sama. Punggung seorang wanita yang diyakini Sofia, yang dia lihat di kafe beberapa waktu lalu.“Aku pergi jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi.” Dareen bangun dari posisi duduknya.“Duduklah! Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”Dareen menghela napas panjang. Namun, tak urung pria itu juga mengikuti kemauan kakaknya.“Kau bertemu dengan siapa kemarin?&
Arnold menatap wanita yang sedang duduk di hadapannya saat ini. Wanita yang hanya terdiam seraya menunduk.“Ini kesempatan terakhirmu!” desis Arnold. Pria itu benar-benar merasa jengah berhadapan dengan wanita seperti Grace.Grace mengangkat kepalanya. “Ar, maafkan aku,” ujarnya dengan begitu tulus.Raut wajah Grace terlihat begitu menyesal. Wanita itu sudah menyesali semua hal yang telah terjadi. Grace sadar jika selama ini hanya Arnold yang mau membantunya.Arnold mendengkus kasar. “Kau memintaku datang ke sini hanya untuk ini, Grace?” Bosan! Rasanya Arnold sudah bosan mendengar semua permintaan maaf yang diucapkan oleh Grace.Pagi-pagi sekali wanita itu menghubunginya, dan meminta untuk bertemu. Dan hanya ini yang Arnold dengar?“Ar!” Grace menyentuh tangan Arnold yang berada di atas meja, lalu menggenggamnya.Manik mata wanita itu memancarkan sebuah ketulusan. Grace sadar jika selama
“Dad, boleh aku tunggu di sini saja?”Tiba-tiba saja El menghentikan langkah kakinya, membuat Nicholas menoleh, menatap anak laki-laki itu dengan tatapan heran.“Di bawah ramai sekali, El. Mommymu pasti akan sangat khawatir jika kau menunggu di bawah.”“Aku akan duduk bersama dengan kakak itu.” El menunjuk salah satu karyawan kafe. Seorang gadis muda yang memang cukup dekat dengannya.“No!” tegas Nicholas. Dia tidak mungkin membiarkan El di bawah tanpa pengawasan.Wajah El tampak murung ketika mendengar penolakan dari Nicholas. Dia ingin turun ke bawah dan menemui pria yang sedang duduk di pojok ruangan.“Ayo kita naik! Mommy pasti sudah menunggu.”Dengan langkah gontai El terpaksa mengikuti Nicholas. Anak laki-laki itu terlihat sangat ingin menemui seseorang di bawah sana. Namun, penolakan Nicholas membuat dia tidak lagi berani membantah.Sampai seketika bibir mungiln
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering