“Hubungan bisnis. Kali ini aku menawarkan kerja sama sebagai rekan bisnis.”
“E—eh.” Sofia tergagap mendengarnya.
Wanita itu masih belum mengerti dengan arah pembicaraan Nicholas. Hubungan bisnis?
“Aku tidak mau memiliki hutang dalam bentuk apa pun.” Sofia berkata setelah cukup lama memikirkan.
Nicholas terkekeh mendengarnya. Sofia benar-benar polos dan tidak tahu dalam perihal bisnis. Meski dia tahu tentang latar belakang wanita itu, yang merupakan anak seorang pengusaha terkenal.
“Aku tidak sedang memberimu hutang. Begini ....” Nicholas membenarkan posisi duduknya. “Anggap saja aku sebagai investor dalam usahamu. Aku akan menanamkan sejumlah uang, sebagai modal awal.”
Sofia menganggukkan kepalanya berkali-kali. Kini dia mulai mengerti. “Bagaimana dengan masalah pembagian keuntungan?” tanya Sofia cukup serius. Baginya, modal awal untuk membangun sebuah usaha cukupl
“Apa berita yang aku dengar itu benar?” Arnold kembali bertanya.Pria itu seolah tahu, sumber dari semua hal yang membuat Grace datang. Jika semua itu benar, maka pertanyaan Arnold sama sekali tidak salah.“A-aku benar-benar tidak tau kenapa kabar itu bisa mencuat.” Grace memasang raut sedihnya.Akhir-akhir ini model ternama itu diterpa sebuah skandal. Banyak rumor dari berbagai pihak, yang menyebutnya menjadi seorang wanita panggilan pejabat kelas atas.Arnold menghela napas pelan. Dia sudah tahu perihal pekerjaan sampingan yang dilakukan Grace, selain menjadi seorang model.Bukankah dulu mereka bertemu karena pekerjaan itu?“Ternyata kau masih melakukannya?” Arnold melepas kacamata baca yang baru dikenakan.Grace mengangguk perlahan. Gaya hidup yang selalu mewah, memang membuat wanita itu gelap mata. Toh, selama ini dia bisa melakukan apa pun yang dia mau karena memiliki banyak uang.&ldquo
Sudah dua hari Sofia tidak bertemu dengan Nicholas sama sekali. Entahlah, pria itu menjadi sedikit sibuk akhir-akhir ini. Perihal keputusannya mengenai kerja sama, belum juga dia beritahu.Biasanya pria itu tidak pernah bersikap seperti ini. Entah apa yang terjadi, dengan pria itu. Namun, Sofia merasa bahwa Nicholas sedikit menjauh darinya.“Mom, dad tidak datang lagi hari ini?” Ini sudah pertanyaan ke sekian kalinya yang dilontarkan anak berusia empat tahun di hadapan Sofia.Sofia hanya tersenyum sebagai jawaban. Dia tidak yakin, kapan Nicholas akan datang.Bukankah ini semua sesuai dengan keinginan hatinya? Hidup jauh dan tidak bergantung pada pria berdarah Italia tersebut. Akan tetapi, tetap saja ada sedikit rasa sakit dan kehilangan di hati Sofia.El menunduk sedih. Senyum yang diberikan oleh ibunya, sudah dapat dipahami. Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua orang dewasa itu, El sama sekali tidak mengerti. Apa dia kali
“Maaf kalau aku mengganggu. Kita bisa bicara lain kali.” Sofia berbalik.Dadanya terasa sesak, ketika melihat Nicholas melepaskan tangannya begitu saja ketika ada dirinya. Itu artinya jika dia tidak datang, pria itu mungkin akan membiarkan tangannya terus di genggam oleh wanita yang berada di hadapannya. Dan mungkin saja, selanjutnya mereka akan berbicara lebih jauh lagi.“Sofia!” Nicholas menarik lengan wanita itu, sebelum Sofia benar-benar berlalu.“Lepaskan tanganku, Nic!” ujar Sofia tanpa menoleh. Dia tidak mau Nicholas melihat wajahnya yang sedang kesal.“Bukankah kita ingin bicara?” tanya Nicholas dengan nada datar. Tidak ada perasaan bersalah dari perkataan Nicholas. Pria itu seperti tidak menganggap penting hal yang baru saja terjadi.Sofia menoleh. “Maaf, Nona.” Sofia memandang wanita yang kini tengah memandangnya penuh arti. “Nic, kau sedang bersama seseorang. Selesaikan pe
Ketika hati mulai menemukan sandaran untuk berlabuh kepada tempat yang seharusnya, bagaimana bisa dia menolak? Sekuat apa usaha yang dilakukan, cinta akan lebih kuat dari segalanya.Di sini Sofia berdiri. Di depan jendela kamarnya. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Berusaha memahami apa yang sebenarnya dia rasakan.Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?Apakah ini yang dinamakan dengan cemburu?Hatinya tetap tidak bisa tenang meski dia sudah mandi berkali-kali. Harapan air yang mengalir akan membawa pergi perasaan gundah yang dirasakan, ternyata hanya sebuah harapan semata.Perasaan itu semakin membelenggu hati kecilnya. Bayangan wanita yang menyentuh dan mencium pipi Nicholas, seakan kembali membakar jiwa.Sofia seperti merasa dejavu. Dia kembali merasakan perasaan lima tahun silam, saat melihat Dev bersama dengan wanita lain. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kali ini rasanya jauh lebih besar.“Aku harus
Sofia memeluk erat Nicholas dari belakang. Dia sudah tidak tahan diperlakukan seperti ini lagi. Dia tidak tahan dengan sikap dingin Nicholas.Nicholas terpaku. Pikiran pria itu mendadak melayang entah ke mana.“Jangan tinggalkan aku,” lirih Sofia. Suaranya terdengar parau.“A-aku ....”“Maafkan aku, Nic.” Kini air mata yang sedari tadi ditahan Sofia, keluar turun membasahi punggung Nicholas.Perasaan yang sulit diartikan. Rasa rindu yang menyeruak, membuat Sofia menepis semua tentang harga diri.Dia sadar, bahwa selama ini tidak bisa jauh dari Nicholas. Entah kapan waktu itu tiba, sehingga dia tidak sadar jika sudah mencintai pria itu. Sofia sudah jatuh dalam lautan cinta milik Nicholas.Nicholas, pria itu masih belum mengerti dengan perkataan Sofia. Tubuhnya masih membatu, membiarkan Sofia memeluknya dari belakang. Sebenarnya ada perasaan bahagia, ketika Sofia mencegahnya pulang.Namun, rasa
Cahaya matahari terasa begitu menyilaukan, bagi mata yang masih terlelap di atas tempat tidur. Wanita bertubuh mungil itu tampak mengerjapkan matanya berkali-kali.Sofia melenguh. Wanita itu bergerak dengan mata yang masih enggan terbuka. Meregangkan otot-otot tubuh yang terasa sedikit kaku.Namun, seketika matanya terbuka sempurna, ketika dia menyadari bahwa dia tertidur di sebuah tempat yang nyaman.“Aku di mana?” Sofia terlonjak kaget. Tangannya dengan cepat membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Wanita itu bernapas lega, melihat pakaiannya masih utuh menempel di badan.“Pagi, Sayang. Kau sudah bangun?” Nicholas datang tiba-tiba dari balik pintu. Lalu menghampiri Sofia.Sofia masih terdiam. Dia masih belum sadar kenapa bisa berada bersama Nicholas, di pagi hari.Nicholas tersenyum hangat kepada wanita yang terlihat begitu lucu, dengan wajah bingungnya.“Morning kiss.” Pria itu mencium singkat da
Detik terus berlalu berganti jam. Hari terus berlalu berganti minggu. Pria yang hidupnya hampir dihabiskan untuk mencari Sofia, masih belum mendapatkan informasi apa pun, sama sekali.Arnold mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Pekerjaan yang menumpuk beberapa hari ini, membuat tubuhnya terasa begitu penat. Tak hanya itu, pikirannya jauh lebih lelah.Angan pria itu menerawang entah ke mana. Wajah anak laki-laki yang beberapa minggu lalu ditemui, masih melekat kuat dalam benaknya.Kadang kala, Arnold tersenyum sendiri jika mengingat tentang anak laki-laki itu. Wajahnya yang terlihat begitu tampan, dan sangat menggemaskan, mengingatkan pria itu akan masa kecilnya, yang selalu dipuji karena ketampanannya. Arnold sampai lupa jika dia tidak pernah menyukai anak kecil.Suara ketukan pintu membuat pria itu tersadar. Arnold sedikit membenarkan posisi duduknya. Memperbaiki lengan kemeja yang tadi dia gulung.“Masuk!”Arzan membuka pintu. Pria i
Gemerlap lampu yang menyilaukan mata, suara musik yang berdentum dengan sangat kencang, tidak menyurutkan keinginan seorang pria yang sedang duduk di meja bar. Meneguk setiap gelas kecil berisi wine yang ada di hadapannya.Arnold, kembali mendatangi tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi. Tempat di mana dia bertemu dengan Sofia pertama kali.Merasa frustrasi dengan nasihat yang diberikan Arzan, pria berdarah Belanda itu ingin kembali mencoba hal yang selama ini dia tinggalkan.Banyak wanita yang berkali-kali mendatanginya. Siapa yang tidak mengenal Arnold Danique? Sang petualang wanita yang pernah begitu terkenal di masanya. Sang petualang wanita yang hilang semenjak lima tahun terakhir.Namun, Arnold sama sekali tidak memedulikan para wanita yang datang. Dia hanya ingin minum, dan melupakan Sofia seperti saran Arzan.“Shit! Ternyata para jalang ini masih mengenalku,” umpat Arnold setengah berbisik.Pria itu merasa sedikit ris
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering