Sofia turun dari mobil Nicholas dengan bibir yang masih terus bungkam. Permintaan serta perkataan ibu Nicholas tadi, masih terus saja terngiang dalam benak wanita itu.
Bahkan ketika Nicholas bertanya pun, wanita itu hanya mampu menggeleng saja. Lidahnya benar-benar terasa kelu untuk menceritakan segalanya.
“El, cepat mandi setelah itu langsung tidur, oke!”
El mengangguk patuh mendengar perkataan Nicholas. Anak laki-laki itu segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
Sebelum itu, El beberapa kali melirik ke arah ibunya. Memastikan bahwa Sofia benar-benar masih marah atau tidak.
Sampai di mana El masih mendapati Sofia yang terdiam tanpa kata.
‘Apa aku berbuat nakal lagi?’ tanya El dengan wajah sendu. Dia merasa bersalah karena tidak segera menuruti perintah ibunya tadi.
Melihat hal itu El segera masuk ke dalam kamarnya dengan langkah lunglai. Anak laki-laki itu sama sekali tidak berani bertanya lebih jauh
Sudah beberapa hari semenjak kejadian itu, Sofia dan Nicholas tidak pernah lagi bertemu. Hanya terjadi komunikasi singkat di antara keduanya.Pikiran mereka berdua terlalu sibuk memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tak hanya itu, pekerjaan Nicholas juga bertambah dua kali lipat akhir-akhir ini sehingga dia sama sekali tidak memiliki waktu untuk sekadar bersantai.Sementara Sofia, wanita itu sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu membayangi benaknya.Apakah semua ini salah?Sofia duduk terdiam di ruang kerjanya. Beberapa hari ini dia lebih banyak menghabiskan banyak waktu di kafe. Bahkan El juga ikut begitu. Mereka berdua pulang larut malam.Sebenarnya Sofia sama sekali tidak berniat membuat anaknya sendiri ke lelah. Namun, apa yang dapat dia lakukan lagi selain bekerja dan terus bekerja?Duduk berdiam diri di rumah, membuat kepalanya terus saja mengingat perkataan orang-orang yang terasa begitu menyakitkan.“Ap
Nicholas tercengang, tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Sofia. Untuk menutupi rasa tidak percaya itu Nicholas sampai tertawa cukup keras.“Sayang, hentikan omong kosongmu. Aku rasa kau belum sepenuhnya sadar dari mimpimu.”Bukan tanpa sebab Nicholas mengatakan semua itu. Menurutnya, apa yang dikatakan Sofia tidak lebih hanya sekadar racauan wanita itu.“Nic!” panggil Sofia lagi. “Aku tidak sedang bercanda. Apa yang aku katakan tadi itu sungguh-sungguh.”Tawa Nicholas mendadak berhenti. Pria itu menatap Sofia dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.“Ayo kita pulang!” ajak Nicholas. Pria itu masih mampu tersenyum kecil. “Aku rasa kau sedikit mabuk.”“Aku tidak mabuk, Nic. Aku memang ingin mengakhiri semua ini!” tegas Sofia, mengulangi perkataan yang dia ucapkan beberapa menit yang lalu.D
Embusan angin malam yang terasa dingin tak membuat Arnold menyurutkan niatnya. Seorang pria putus asa, yang menghabiskan malam dengan berkeliling menggunakan mobil, dan selalu berakhir di taman kota seperti saat ini.Arnold melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Belum terlalu malam, tetapi suasana di taman sudah terlihat begitu sepi. Jauh dari suasana biasanya.Pria berdarah Belanda itu berjalan pelan, menyusuri taman dengan jaket tebal. Akhir-akhir ini, waktu memang sudah memasuki musim hujan, dan angin juga berembus cukup kencang.Pria itu menghela napas berat. Usahanya masih tetap sama saja. Sia-sia! Tidak ada petunjuk apa pun tentang keberadaan Sofia.Sudah beberapa kali dia datang ke kafe, tempat di mana pernah melihat Sofia, tetapi Arnold sama sekali tidak mendapatkan informasi apa pun. Nihil!“Apa semuanya sudah benar-benar berakhir, Fia?” Arnold menghentikan langkah kakinya. Kemudian pria itu duduk di kursi ta
“Sofia!”Sofia menengadahkan kepalanya. Wanita itu terlihat begitu bingung, ketika melihat seorang pria berdiri tegap di hadapannya.“So-sofia!” panggil pria itu lagi dengan mata terbelalak. Wajahnya terlihat sangat terkejut, seperti seseorang yang mendapati sesuatu yang selama ini dia cari.Sofia cepat-cepat menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Wanita itu terlihat bingung, ketika pria itu memanggil namanya. Terlebih lagi, pria itu terlihat seperti mengenali dirinya.“Maaf, mungkin Anda salah orang. Saya tidak mengenal Anda.” Sofia berdiri kemudian meraih tas yang dia letakkan di atas kursi, dan berniat pergi dari tempat ini.Dia hanya merasa bahwa mereka sama-sama tidak saling mengenal, atau mungkin saja pria itu salah mengenali orang.Di dunia ini bukan hanya dia saja yang memiliki nama, Sofia.“Tunggu dulu!” Pria itu menyentuh tangan Sofia, berusaha mencegah Sofia agar tidak per
Tidak ada yang tahu bagaimana takdir kehidupan manusia ke depannya. Meskipun sekeras apa usaha yang sudah mereka lakukan, tetapi jika sang pemilik takdir belum berkehendak, maka semua usaha itu akan tetap terasa sia-sia.Sama seperti hal yang dialami oleh Arnold. Ketika hatinya mulai putus asa, ketika logikanya mulai meminta dirinya untuk berhenti mencari keberadaan Sofia, tetapi hal terduga justru terjadi begitu saja.Pertemuan yang sama sekali tidak pernah Arnold bayangkan. Tempat, dan bahkan momen yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak pikiran pria Belanda itu. Dia sama sekali tidak pernah menduga, akan bertemu Sofia dalam kondisi seperti ini.“Lepaskan aku! Kita tidak saling mengenal, jadi jangan memaksaku seperti ini, atau aku akan melaporkanmu kepada polisi!” teriak Sofia yang langsung membuat langkah kaki Arnold terhenti. Tidak hanya itu, Sofia juga menghempaskan tangan besar Arnold yang mencengkeramnya sejak tadi. Tangan besar ya
Arnold hanya diam seraya membiarkan Sofia duduk, dengan tangisan yang belum saja terhenti sejak tadi. Tangan pria itu terasa kaku, walau hanya untuk membantu Sofia untuk mengusap air matanya.‘Apa kau sangat menderita selama ini, Sofia?’ tanya Arnold pada hatinya sendiri. ‘Apa seorang bajingan sepertiku pantas mendapatkan maaf darimu?’Batin pria itu terus bergelut. Melihat Sofia yang menangis di depannya, membuat perasaan bersalah dalam dirinya kian besar.Sampai di mana Sofia terdiam setelah cukup lama terisak. Ruangan yang dingin itu terasa semakin dingin. Tidak ada suara yang terdengar sama sekali. Hanya denting jam beberapa saat lalu, yang terdengar dan berhasil membuat Sofia tersadar.“Maafkan aku.” Hanya dua kata itu saja, yang masih mampu keluar dari bibir Arnold, yang sedang menatap Sofia dengan tatapan berbeda-beda.Rasanya dia terlalu malu, untuk banyak berbicara kepada Sofia. Bahkan dia sudah merasa m
Jakarta, 26 Maret 2013Arnold menatap wajah wanita yang terlelap dalam pelukannya. Setelah menghabiskan malam yang panjang, pria itu tidak dapat tertidur sama sekali.Bibir tipisnya melengkung, menciptakan sebuah senyuman yang terlihat begitu manis. Di kegelapan kamar, dia terus menatap paras cantik gadis muda yang terlihat begitu menawan.“Kenapa aku seperti ini?” Pria berdarah Belanda itu tertawa kecil. Tangan besarnya terulur, menyibakkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah Sofia.Rambut hitam berwarna panjang, serta aroma manis yang menguar dari rambut itu, membuat Arnold benar-benar merasa melayang. Sungguh, dia tidak bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi.“Kau milikku. Aku janji akan menjadikanmu milikku.” Arnold terus saja berbicara, seraya menatap wajah gadis yang baru saja dia tiduri.Seorang gadis muda yang terlihat begitu polos. Seorang gadis muda, yang membuat Arnold merasakan g
Schiphol Airport, Amsterdam, Belanda.Suasana bandara terlihat cukup ramai di jam-jam seperti ini. Banyak orang yang berlalu-lalang sembari menyeret koper di tangan mereka.Setelah mengudara selama kurang lebih lima belas jam, Arnold kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, setelah beberapa tahun tidak kemari. Pria yang kini sedang menarik koper itu, terlihat berjalan dengan tergesa-gesa.Manik abu di balik kacamata hitam miliknya, melihat ke sana-sini, mencari seseorang yang akan menjemput mereka.Di samping Arnold, berjalan seorang pemuda yang terlihat sangat lelah. Tidak hanya itu, mata pemuda itu jelas menampakkan rasa kantuk yang tidak tertahan lagi.“Kak, bisa pelankan langkahmu?” tanya Dareen dengan suara lesu.Dareen merasa kurang nyaman tidur di pesawat. Tidak hanya itu, dia juga merasa kurang puas jika tidak tidur di atas ranjang empuk. Maka dari itu, dia tampak sangat kelelahan karena kekurangan jam tidur.
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering