Schiphol Airport, Amsterdam, Belanda.
Suasana bandara terlihat cukup ramai di jam-jam seperti ini. Banyak orang yang berlalu-lalang sembari menyeret koper di tangan mereka.
Setelah mengudara selama kurang lebih lima belas jam, Arnold kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, setelah beberapa tahun tidak kemari. Pria yang kini sedang menarik koper itu, terlihat berjalan dengan tergesa-gesa.
Manik abu di balik kacamata hitam miliknya, melihat ke sana-sini, mencari seseorang yang akan menjemput mereka.
Di samping Arnold, berjalan seorang pemuda yang terlihat sangat lelah. Tidak hanya itu, mata pemuda itu jelas menampakkan rasa kantuk yang tidak tertahan lagi.
“Kak, bisa pelankan langkahmu?” tanya Dareen dengan suara lesu.
Dareen merasa kurang nyaman tidur di pesawat. Tidak hanya itu, dia juga merasa kurang puas jika tidak tidur di atas ranjang empuk. Maka dari itu, dia tampak sangat kelelahan karena kekurangan jam tidur.
Setelah satu bulan lebih berada Di Belanda, kini Arnold kembali lagi ke tanah air. Tidak hanya sendiri, kali ini mereka pulang berempat. Selain itu, dalam kepulangannya kali ini Arnold tidak lagi memakai penerbangan komersial. Kakeknya memaksa mereka untuk pulang menggunakan pesawat pribadi milik keluarga Danique. Dengan berbagai alasan yang menurut Arnold sangat berlebihan. Beberapa kali Arnold sempat menolak permintaan sang kakek. Pria itu sama sekali tidak suka diperlakukan seperti ini. Dia lebih suka bepergian sama seperti orang pada umumnya. Namun, kakeknya iri terus saja bersikukuh. Sikap keras kepala pria paru baya itu sama sekali tidak ada yang mampu menandingi. . . “Opa, aku akan pulang dengan penerbangan biasa saja. Jika mau, Opa bisa meminta yang lain saja untuk menggunakan pesawat pribadimu itu!” Arnold kembali teringat percakapannya dengan sang kakek sebelum kembali. “No. Semua aset yang aku miliki
Sofia terdiam. Wanita itu tidak mampu mengucap sepatah kata setelah mendengar penjelasan Arnold. Bahkan, dia mendengarkan semua cerita Arnold dengan saksama, tanpa berniat memotong ataupun bertanya.“Aku selalu mencarimu selama lima tahun ini, Sofia.” Arnold menatap manik cokelat Sofia dengan tatapan sendu.Pria itu sudah menceritakan segalanya. Dia sama sekali tidak berniat meninggalkan Sofia begitu saja. Tidak pernah sama sekali.Sofia bergeming. Wanita itu masih belum mampu memikirkan segalanya. Dia terlalu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Wanita itu bertanya-tanya pada hatinya sendiri, mengapa dia mau mendengarkan penjelasan pria itu?“Semua usaha sudah aku lakukan. Aku mencarimu ke mana-mana, tapi aku tidak pernah mendapatkan satu petunjuk pun.” Arnold menyentuh rambut pendek Sofia. Pria itu masih coba meyakinkan Sofia, bahwa dia sama sekali tidak pernah meninggalkan wanita itu, dengan sengaja.Tatapan pria i
“Kau ingin aku memaafkanmu?” tanya Sofia pada akhirnya.Arnold mendongakkan kepalanya. Pria itu mengangguk pelan. Sejak tadi kata-kata inilah yang ingin dia dengar dari Sofia.Sofia menatap Arnold dengan tatapan datar. Sejak beberapa saat yang lalu, wajah wanita itu benar-benar terlihat begitu datar, tanpa ekspresi apa pun. Tidak raut kemarahan seperti beberapa jam yang lalu.“Aku sudah memaafkanmu—“ Sofia menarik sedikit sudut bibirnya. Kini dia harus bisa melupakan segalanya.Bukan berarti Sofia bisa lupa begitu saja dengan kesalahan yang sudah Arnold buat. Hanya saja, dia merasa harus melakukan ini agar bisa hidup dengan normal.Sofia ingin melupakan segalanya dan bisa kembali hidup seperti sebelum bertemu dengan Arnold. Dia hanya ingin fokus kepada El, itu saja.Bibir Arnold mengembang. Wajah pria itu berbinar cerah. Sejak tadi inilah yang dia inginkan. Arnold sangat ingin mendengar perkataan ini keluar lang
Suasana di dalam kamar itu terasa sedikit berbeda. Ada udara dingin yang merayap di sekitar mereka berdua. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata oleh mereka berdua.Sofia membelalakkan matanya lebar-lebar. Tubuh wanita itu mematung ketika merasakan sebuah tangan besar yang melingkar di pinggang. Jantungnya pun berdetak lebih cepat, setelah menyadari posisi mereka seintim ini.Arnold menutup mulut Sofia dengan salah satu tangannya. Satu tangannya yang lain memeluk pinggang ramping Sofia. Mata pria itu menatap ke arah pintu, dengan napas yang terengah-engah.“Jangan bersuara!” bisik Arnold sepelan mungkin.Pria itu kemudian mengalihkan tatapannya dari pintu.Arnold tertegun ketika dia mengalihkan pandangannya pada wanita itu. Jantungnya berdetak kencang, setelah menyadari posisi mereka sedekat ini.Dia sama sekali tidak menyadari bahwa telah memeluk Sofia karena terlalu terkejut. Pria itu kemudian menurunkan tanga
Malam semakin larut. Namun, Arzan belum juga pulang dari apartemen Arnold. Banyak hal yang kedua pria itu ceritakan, seolah lupa dengan keberadaan wanita yang menunggu sejak tadi.“Kau tau, saat ini aku benar-benar berharap bahwa anak itu adalah putramu, Ar!” Arzan menatap Arnold dengan berbinar bahagia.Arnold tersenyum lebar. Setelah mereka membicarakan rencana untuk bisa mengetahui identitas El, kini mereka hanya terlihat mengobrol santai saja.“Aku juga mengharapkan hal itu. Entah kenapa rasanya sangat berbeda ketika aku dekat dengan anak itu.” Arnold menerawang ke masa pertama kali dia bertemu dengan El.Hari itu adalah, hari di mana Arnold merasakan sebuah perasaan yang berbeda. Bukan perasaan cinta seperti seorang pria kepada wanita.Tidak. Bukan itu, tetapi sesuatu yang terasa asing bagi Arnold. Sesuatu yang belum pernah dia rasakan.“Sejak pertama aku melihatnya, aku juga merasa bahwa wajah itu tidak la
Nicholas berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya. Sudah tengah malam, tetapi Sofia belum juga ada kabar.Bahkan ponsel wanita itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Rasa khawatir tentu saja merayapi hati Nicholas.Tidak pernah sekalipun Sofia pergi tanpa memberi kabar seperti sekarang. Tidak pernah sekalipun wanita itu mematikan ponselnya seperti saat ini.“Apa dia benar-benar marah?” tanya Nicholas pada dirinya sendiri.Ingin rasanya dia pergi keluar saat ini juga untuk mencari Sofia. Namun, keberadaan El membuat pria itu ragu. Dia tidak mungkin meninggalkan El sendirian.Akan tetapi, keberadaan Sofia yang tidak jelas juga membuat hatinya khawatir. Dia hanya takut sesuatu terjadi kepada wanita malang itu.“Argh!” Nicholas melemparkan ponsel dengan sangat kuat, hingga jatuh berhamburan di atas lantai.Pria itu merasa frustrasi dengan situasi yang sedang dia hadapi saat ini. Tubuh yang lelah serta pikiran ya
Pagi hari kembali menyapa. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela.Sofia berkali-kali mencoba membuka kedua matanya, dengan susah payah. Tubuh wanita itu terasa remuk redam akibat pergumulan panas malam tadi.“Sudah bangun?” Suara berat seorang pria membuat kesadaran Sofia terkumpul sepenuhnya.Wanita itu sukses membuka lebar kedua matanya. Hal yang pertama kali dilihat, adalah seorang pria berbadan kekar yang sedang tersenyum ke arahnya.Seorang pria yang mengenakan kaus pendek dan celana olahraga. Tubuh serta wajah yang terlihat basah dipenuhi oleh keringat.Pagi-pagi sekali Arzan sudah pulang, dan Arnold memutuskan untuk berolahraga—berlari mengelilingi taman yang ada di depan apartemennya.Setelah bangun pagi tadi tubuh Arnold merasa lebih segar. Dia merasa benar-benar sehat, tanpa merasakan lagi rasa lelah karena terlalu banyak bekerja.Sofia kembali mengingat kejadian malam tadi. Wanita itu reflek
“Sofia, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Arnold berjongkok di hadapan Sofia.Setelah beberapa saat menunggu Sofia keluar dari dalam kamarnya, tetapi wanita itu sama sekali tidak muncul. Sampai Arnold memutuskan untuk masuk, dan melihat keadaan Sofia.Kini tidak ada lagi gurat khawatir dan keresahan di wajah wanita itu. Sehingga Arnold bisa bernapas lega setelah melihat keadaan Sofia.Arnold tidak tahu siapa yang Sofia hubungi tadi. Namun, dari raut wajah wanita itu, Arnold yakin bahwa Sofia pasti sedang mengkhawatirkan seseorang.Sofia mengangkat kepalanya. Membuat pandangan wanita itu sejajar dengan Arnold. Tinggi tubuh mereka yang berbeda jauh, membuat Arnold tampak sejajar dengan Sofia meski dalam keadaan berjongkok.“Kau ingin bertanya tentang apa?” tanya Sofia dengan wajah bingung. Wanita itu berusaha menetralkan kegelisahan yang sempat terjadi beberapa saat lalu.Arnold terdiam untuk beberapa saat. Apa ini waktu