Arnold hanya diam seraya membiarkan Sofia duduk, dengan tangisan yang belum saja terhenti sejak tadi. Tangan pria itu terasa kaku, walau hanya untuk membantu Sofia untuk mengusap air matanya.
‘Apa kau sangat menderita selama ini, Sofia?’ tanya Arnold pada hatinya sendiri. ‘Apa seorang bajingan sepertiku pantas mendapatkan maaf darimu?’
Batin pria itu terus bergelut. Melihat Sofia yang menangis di depannya, membuat perasaan bersalah dalam dirinya kian besar.
Sampai di mana Sofia terdiam setelah cukup lama terisak. Ruangan yang dingin itu terasa semakin dingin. Tidak ada suara yang terdengar sama sekali. Hanya denting jam beberapa saat lalu, yang terdengar dan berhasil membuat Sofia tersadar.
“Maafkan aku.” Hanya dua kata itu saja, yang masih mampu keluar dari bibir Arnold, yang sedang menatap Sofia dengan tatapan berbeda-beda.
Rasanya dia terlalu malu, untuk banyak berbicara kepada Sofia. Bahkan dia sudah merasa m
Jakarta, 26 Maret 2013Arnold menatap wajah wanita yang terlelap dalam pelukannya. Setelah menghabiskan malam yang panjang, pria itu tidak dapat tertidur sama sekali.Bibir tipisnya melengkung, menciptakan sebuah senyuman yang terlihat begitu manis. Di kegelapan kamar, dia terus menatap paras cantik gadis muda yang terlihat begitu menawan.“Kenapa aku seperti ini?” Pria berdarah Belanda itu tertawa kecil. Tangan besarnya terulur, menyibakkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah Sofia.Rambut hitam berwarna panjang, serta aroma manis yang menguar dari rambut itu, membuat Arnold benar-benar merasa melayang. Sungguh, dia tidak bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi.“Kau milikku. Aku janji akan menjadikanmu milikku.” Arnold terus saja berbicara, seraya menatap wajah gadis yang baru saja dia tiduri.Seorang gadis muda yang terlihat begitu polos. Seorang gadis muda, yang membuat Arnold merasakan g
Schiphol Airport, Amsterdam, Belanda.Suasana bandara terlihat cukup ramai di jam-jam seperti ini. Banyak orang yang berlalu-lalang sembari menyeret koper di tangan mereka.Setelah mengudara selama kurang lebih lima belas jam, Arnold kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, setelah beberapa tahun tidak kemari. Pria yang kini sedang menarik koper itu, terlihat berjalan dengan tergesa-gesa.Manik abu di balik kacamata hitam miliknya, melihat ke sana-sini, mencari seseorang yang akan menjemput mereka.Di samping Arnold, berjalan seorang pemuda yang terlihat sangat lelah. Tidak hanya itu, mata pemuda itu jelas menampakkan rasa kantuk yang tidak tertahan lagi.“Kak, bisa pelankan langkahmu?” tanya Dareen dengan suara lesu.Dareen merasa kurang nyaman tidur di pesawat. Tidak hanya itu, dia juga merasa kurang puas jika tidak tidur di atas ranjang empuk. Maka dari itu, dia tampak sangat kelelahan karena kekurangan jam tidur.
Setelah satu bulan lebih berada Di Belanda, kini Arnold kembali lagi ke tanah air. Tidak hanya sendiri, kali ini mereka pulang berempat. Selain itu, dalam kepulangannya kali ini Arnold tidak lagi memakai penerbangan komersial. Kakeknya memaksa mereka untuk pulang menggunakan pesawat pribadi milik keluarga Danique. Dengan berbagai alasan yang menurut Arnold sangat berlebihan. Beberapa kali Arnold sempat menolak permintaan sang kakek. Pria itu sama sekali tidak suka diperlakukan seperti ini. Dia lebih suka bepergian sama seperti orang pada umumnya. Namun, kakeknya iri terus saja bersikukuh. Sikap keras kepala pria paru baya itu sama sekali tidak ada yang mampu menandingi. . . “Opa, aku akan pulang dengan penerbangan biasa saja. Jika mau, Opa bisa meminta yang lain saja untuk menggunakan pesawat pribadimu itu!” Arnold kembali teringat percakapannya dengan sang kakek sebelum kembali. “No. Semua aset yang aku miliki
Sofia terdiam. Wanita itu tidak mampu mengucap sepatah kata setelah mendengar penjelasan Arnold. Bahkan, dia mendengarkan semua cerita Arnold dengan saksama, tanpa berniat memotong ataupun bertanya.“Aku selalu mencarimu selama lima tahun ini, Sofia.” Arnold menatap manik cokelat Sofia dengan tatapan sendu.Pria itu sudah menceritakan segalanya. Dia sama sekali tidak berniat meninggalkan Sofia begitu saja. Tidak pernah sama sekali.Sofia bergeming. Wanita itu masih belum mampu memikirkan segalanya. Dia terlalu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Wanita itu bertanya-tanya pada hatinya sendiri, mengapa dia mau mendengarkan penjelasan pria itu?“Semua usaha sudah aku lakukan. Aku mencarimu ke mana-mana, tapi aku tidak pernah mendapatkan satu petunjuk pun.” Arnold menyentuh rambut pendek Sofia. Pria itu masih coba meyakinkan Sofia, bahwa dia sama sekali tidak pernah meninggalkan wanita itu, dengan sengaja.Tatapan pria i
“Kau ingin aku memaafkanmu?” tanya Sofia pada akhirnya.Arnold mendongakkan kepalanya. Pria itu mengangguk pelan. Sejak tadi kata-kata inilah yang ingin dia dengar dari Sofia.Sofia menatap Arnold dengan tatapan datar. Sejak beberapa saat yang lalu, wajah wanita itu benar-benar terlihat begitu datar, tanpa ekspresi apa pun. Tidak raut kemarahan seperti beberapa jam yang lalu.“Aku sudah memaafkanmu—“ Sofia menarik sedikit sudut bibirnya. Kini dia harus bisa melupakan segalanya.Bukan berarti Sofia bisa lupa begitu saja dengan kesalahan yang sudah Arnold buat. Hanya saja, dia merasa harus melakukan ini agar bisa hidup dengan normal.Sofia ingin melupakan segalanya dan bisa kembali hidup seperti sebelum bertemu dengan Arnold. Dia hanya ingin fokus kepada El, itu saja.Bibir Arnold mengembang. Wajah pria itu berbinar cerah. Sejak tadi inilah yang dia inginkan. Arnold sangat ingin mendengar perkataan ini keluar lang
Suasana di dalam kamar itu terasa sedikit berbeda. Ada udara dingin yang merayap di sekitar mereka berdua. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata oleh mereka berdua.Sofia membelalakkan matanya lebar-lebar. Tubuh wanita itu mematung ketika merasakan sebuah tangan besar yang melingkar di pinggang. Jantungnya pun berdetak lebih cepat, setelah menyadari posisi mereka seintim ini.Arnold menutup mulut Sofia dengan salah satu tangannya. Satu tangannya yang lain memeluk pinggang ramping Sofia. Mata pria itu menatap ke arah pintu, dengan napas yang terengah-engah.“Jangan bersuara!” bisik Arnold sepelan mungkin.Pria itu kemudian mengalihkan tatapannya dari pintu.Arnold tertegun ketika dia mengalihkan pandangannya pada wanita itu. Jantungnya berdetak kencang, setelah menyadari posisi mereka sedekat ini.Dia sama sekali tidak menyadari bahwa telah memeluk Sofia karena terlalu terkejut. Pria itu kemudian menurunkan tanga
Malam semakin larut. Namun, Arzan belum juga pulang dari apartemen Arnold. Banyak hal yang kedua pria itu ceritakan, seolah lupa dengan keberadaan wanita yang menunggu sejak tadi.“Kau tau, saat ini aku benar-benar berharap bahwa anak itu adalah putramu, Ar!” Arzan menatap Arnold dengan berbinar bahagia.Arnold tersenyum lebar. Setelah mereka membicarakan rencana untuk bisa mengetahui identitas El, kini mereka hanya terlihat mengobrol santai saja.“Aku juga mengharapkan hal itu. Entah kenapa rasanya sangat berbeda ketika aku dekat dengan anak itu.” Arnold menerawang ke masa pertama kali dia bertemu dengan El.Hari itu adalah, hari di mana Arnold merasakan sebuah perasaan yang berbeda. Bukan perasaan cinta seperti seorang pria kepada wanita.Tidak. Bukan itu, tetapi sesuatu yang terasa asing bagi Arnold. Sesuatu yang belum pernah dia rasakan.“Sejak pertama aku melihatnya, aku juga merasa bahwa wajah itu tidak la
Nicholas berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya. Sudah tengah malam, tetapi Sofia belum juga ada kabar.Bahkan ponsel wanita itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Rasa khawatir tentu saja merayapi hati Nicholas.Tidak pernah sekalipun Sofia pergi tanpa memberi kabar seperti sekarang. Tidak pernah sekalipun wanita itu mematikan ponselnya seperti saat ini.“Apa dia benar-benar marah?” tanya Nicholas pada dirinya sendiri.Ingin rasanya dia pergi keluar saat ini juga untuk mencari Sofia. Namun, keberadaan El membuat pria itu ragu. Dia tidak mungkin meninggalkan El sendirian.Akan tetapi, keberadaan Sofia yang tidak jelas juga membuat hatinya khawatir. Dia hanya takut sesuatu terjadi kepada wanita malang itu.“Argh!” Nicholas melemparkan ponsel dengan sangat kuat, hingga jatuh berhamburan di atas lantai.Pria itu merasa frustrasi dengan situasi yang sedang dia hadapi saat ini. Tubuh yang lelah serta pikiran ya
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering