"Welcome home, Hill!" Aldert berseru riang sambil merentangkan kedua tangan, menggambar senyum lebar hingga semua barisan giginya yang putih dan rapi terlihat sempurna. "Welcome to our 3 Months Holiday!"
Terus terang aku mabuk pesawat, jadi tak begitu senang ketika pada kenyataannya benar-benar sudah sampai di Den Haag, Netherlands. Walaupun selama di perjalanan yang kurang lebih mencapai dua puluh jam, sangat menginginkan hal ini segera terjadi. Terwujud nyata. Sungguh, aku merasa seluruh tubuh sudah terpisah-pisah seperti kepingan puzzle. Oh Guys, hanya bisa berharap semoga kisah ini tidak menimbulkan trauma dalam hidupku. Semoga Mama juga baik-baik saja di sana.
"Hill, kenalkan ini papa Aldert … Om Frank." cakap Tante Ariane dengan tingkat kelembu
"Oh Hill?" Tante Ariane membelalak, bahunya terangkat dengan sempurna menyatukan dagu dengan lehernya, "Kita belum mandi. Oh, menurut Hill lebih baik mandi atau sarapan dulu? Ah Hill … Maafkan Tante sudah melupakan hal yang sepenting itu?"Sampai di sini mata Tanta Ariane masih membelalak tapi bahunya sudah turun dan terlihat normal kembali. Senyum geregetannya terlihat lucu, membuatku tertawa lirih. Sumpah demi apa, Tante Ariane justru ikut tertawa sampai cekikikan."Ah sudahlah, Hill. Mandilah segera biar segar. Baru setelah itu sarapan dan istirahat." Tante Ariane berujar bijak setelah tawanya terhenti dan meninggal semburat merah di kulit wajahnya, "Nanti Tante bantu membongkar kopermu, ya?"Ha, what?
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Hill, bisa bantu Tante?" seru Tante Ariane dari bawah rumah pohon, menyeret tubuhku untuk segera turun melalui tangga. Sampai sejauh ini belum berani turun dengan cara yang dilakukan Om Frank dan Aldert, berpegangan pada tali yang terikat kuat pada pohon lalu meluncur. Masih ngeri rasanya. Lagi pula, kalau ada jalan yang lebih mudah kenapa harus mempersulit diri. Iya, kan?"Ya, Tante?""Bisa bantu Tante membawa makan siang kita ke sini, Hill?""Bisa Tante, tolong tunggu sebentar.""Ya Hill, hati-hati. Tante ke dalam dulu, ya?"Aku mengangguk kecil lalu menuruni anak tangga dengan super duper hati-hati. Samar, aku mendengar Tante Ariane menerima telepon dari seseorang di dalam rumah, en
"Apa, aku …?" bodohnya dua penggal kata itu terlontar begitu saja dari mulutku sehingga Aldert semakin menjadi. Kasar, dia menunjuk ke pintu rumah pohon yang berarti mengusirku. Memang, Om Frank sigap bertindak begitu juga dengan Tante Ariane. Mereka menegur Aldert atas sikapnya, tentu saja tetapi bagiku itu tidak berarti apa-apa. Semuanya sudah terlambat. "OK, aku turun ya Aldert? Mari Om, Tante? Selamat makan siang untuk kalian!"Gontai namun tak berusaha sedikit pun untuk menahan rintik air mata, aku menuruni tangga. Rasanya terlalu sakit. Terlalu pedih. OK, fine Batik memang kasar, emosional, menekan tapi belum pernah memperlakukan aku dengan seburuk ini. Pernah sih, di pertemuan terakhir kami---dia memarahi, membentak-bentak aku di pinggir jalan waktu keliling bersama Uta di kawasan Malioboro---
"Oh, My God!" Om Frank bergumam dan berlari cepat ke toilet tamu. "Oh Boy, apa yang terjadi?" samar-samar aku mendengar Om Frank bertanya dengan super panik di antara suara air keran wastafel yang mengalir deras.Tante Ariane berlari ke dapur untuk memeriksa, jadi aku mengikutinya. Tidak ada api, kompor dalam keadaan mati. Mungkin Aldert mau memasak pasta tadi, karena aku melihat ada kira-kira dua genggam pasta yang masih mentah di dalam panci. Lalu bagaimana dia bisa terbakar? Hanya Tuhan dia dia sendiri yang tahu, tentu saja. Ya ampun! Dia kan, bukan anak TK atau sepantarannya lagi? Benar-benar aneh!"Oh Hill, boleh Tante minta tolong?" kata Tante Ariane setelah memastikan semua aman. Berulang kali dia menyalakan dan mematikan kompor, memeriksa kabel-kabel dan seluruh penjuru dapur. "Tolong rebuskan pasta untuk Aldert y
"Oh, Aldert … Kembalikan kucingku!" aku setengah berteriak, "Oh, bandanaku!" rasanya seperti anak ayam dikejar-kejar musang.Bayangkanlah!Aldert beranggapan itu anak kucing sungguhan. Tanpa perasaan berdosa sedikit pun dia melepas bandana lucu dan imut itu dari kepalaku, membawanya ke dapur. Suara miaw, miaw, miaw-nya cukup membuat marah. Terlebih saat Tante Ariane mengingatkan kalau itu boneka, tak bisa makan ikan tuna kaleng tapi Aldert malah mengamuk. Oh aku merasa terdampar di rumah sakit jiwa!"Aldert?" antara takut dan harus aku memanggil. Berusaha merebut kembali bandanaku dari tangannya, tentu saja. Itu pemberian Mama, mana mungkin aku membiarkannya musnah di tangan Aldert? "Please, tolong kembaliin bandana aku?"
"See you soon!" aku memberikan senyum simpul pada Tante Ariane. Melambaikan tangan ke arahnya. Memandang Om Frank dan Aldert yang sudah berada di dalam mobil. Mereka terlihat sedang serius membicarakan sesuatu. Terakhir, membalas kiss bye Tante Ariane.Setelah mobil mereka bergerak meninggalkan halaman rumah dan perlahan-lahan menjauh, menghilang di belokan jalan aku segera kembali ke dalam dan menutup pintu. Menguncinya rapat-rapat, seusai dengan pesan Tante Ariane. Sungguh, pagi ini aku akan berusaha mencari dan menemukan Batik di media sosial. Kenapa di media sosial? Karena aku sudah menghapus kontaknya dari ponsel. Entahlah, kadang-kadang aku memang seceroboh itu.Oh bukan, bukan
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.