"Oh, Aldert … Kembalikan kucingku!" aku setengah berteriak, "Oh, bandanaku!" rasanya seperti anak ayam dikejar-kejar musang.
Bayangkanlah!
Aldert beranggapan itu anak kucing sungguhan. Tanpa perasaan berdosa sedikit pun dia melepas bandana lucu dan imut itu dari kepalaku, membawanya ke dapur. Suara miaw, miaw, miaw-nya cukup membuat marah. Terlebih saat Tante Ariane mengingatkan kalau itu boneka, tak bisa makan ikan tuna kaleng tapi Aldert malah mengamuk. Oh aku merasa terdampar di rumah sakit jiwa!
"Aldert?" antara takut dan harus aku memanggil. Berusaha merebut kembali bandanaku dari tangannya, tentu saja. Itu pemberian Mama, mana mungkin aku membiarkannya musnah di tangan Aldert? "Please, tolong kembaliin bandana aku?"
"See you soon!" aku memberikan senyum simpul pada Tante Ariane. Melambaikan tangan ke arahnya. Memandang Om Frank dan Aldert yang sudah berada di dalam mobil. Mereka terlihat sedang serius membicarakan sesuatu. Terakhir, membalas kiss bye Tante Ariane.Setelah mobil mereka bergerak meninggalkan halaman rumah dan perlahan-lahan menjauh, menghilang di belokan jalan aku segera kembali ke dalam dan menutup pintu. Menguncinya rapat-rapat, seusai dengan pesan Tante Ariane. Sungguh, pagi ini aku akan berusaha mencari dan menemukan Batik di media sosial. Kenapa di media sosial? Karena aku sudah menghapus kontaknya dari ponsel. Entahlah, kadang-kadang aku memang seceroboh itu.Oh bukan, bukan
"Be happy, the Hill!" segembira mungkin aku berseru pada diri sendiri. "This is your holiday!" seruku lagi sambil mengeluarkan sepeda dari garasi, menuntunnya ke luar halaman belakang. Tante Ariane sudah berbaik hati meminjamkan sepedanya untukku hari ini. Well, dalam segala hal Tante Ariane selalu berbaik hati padaku. Mungkin karena hal itulah Mama tak keberatan sama sekali dia mengajakku ke sini. Benar kan, Guys?"Oke, jangan lupa kunci pintu pagarnya, Hill!" aku bergumam lirih, "Jangan biarkan seseorang menyelinap masuk dan mencuri benda-benda berharga milik orang-orang baik seperti Tante Ariane dan Om Frank!"
Ternyata shopping itu tidak hanya membuat bahagia tetapi juga gila. Guys, bayangkanlah! Aku bahkan membeli tiga baju tidur edisi musim panas, bantal santai dan boneka domba putih. Bukan hanya itu, aku juga membeli bandana dengan bunga matahari besar di bagian tengahnya, gelang batu dan sepasang karet ikat rambut berwarna Pink shabby. Di tengah-tengahnya ada pita kecil berwarna merah bendera. Kontras tapi manis kan, Guys? Aku suka, saku suka!Trik, trik, trik!Aku masih mengantri di kasir ketika beberapa notifikasi chat room masuk. Sebenarnya sangat penasaran dan tidak sabar untuk segera membukanya tetapi tiba-tiba teringat pesan Tante Ariane. Jangan membuka ponsel di tempat umum, kecuali dalam keadaan darurat. Karena meskipun tampak secara nyata, ponsel termasuk benda pribadi. (Sebenarnya aku baru tahu dan seteng
Aldert terlihat gusar saat aku pulang, entah mengapa. Dia bahkan mengerucutkan bibir saat aku menyapa secara personal. Tak ada secuil kecil pun kata terlontar dari dirinya. Tentu saja aku berusaha untuk mengabaikannya, anggap saja tak pernah terjadi apa-apa. Toh, memang seperti itulah keadaan Aldert. Iya, kan?"Kamu bahagia hari ini, Aldert?" sapaku tadi begitu membuka pintu belakang dan menjumpai dia di sofa ruang keluarga. "Bagaimana kata psikiater, kamu baik-baik saja, kan?"Aldert malah membelalak di sini dan aku sedikit ngeri. Maksudku, apakah sapaan seperti itu tidak lazim bagi seseorang yang sakit? Eh maksudku, mengalami gangguan kejiwaan. Padahal itu tadi manis sekali, bukan?"Oke Aldert, aku permisi ke atas dulu, ya?" kataku akhirnya setelah sekian detik
Karena Aldert yang semakin mencurigakan dan jujur saja merasa sangat terancam, aku hanya menjawab dengan singkat perkataan Uta yang penuh dengan harapan itu. Sesuatu yang mustahil terjadi dalam keadaan normal, sungguh. Karena aku tahu kadang-kadang Uta sensitif dalam hal ucapan atau sikap yang menurutnya out of the box. Bukan tersinggung atau semacamnya tetapi dia akan merasa sedih bahkan mellow untuk beberapa saat lamanya. Padahal sebenarnya dia itu termasuk orang yang easy going. Nah, rumit kan?"Oke, Hill. Kamu lagi sibuk, ya? Ya sudah dulu saja ya, voice call kita? Next time kita sambung lagi. Thanks a lot ya, Hill? Chat aku y
Yes, yes!Uta tidak marah Guys, dia sudah chat aku tadi siang. Katanya kemarin itu sedang ada sedikit masalah juga di sana. Biasa, Megan merajuk gara-gara Hill terlalu sibuk dengan anak-anak MMB sampai tak sempat memberikan kabar selama berhari-hari. Megan itu calon suami Uta. Mungkin itulah yang dinamakan dengan romantisme Long Distance Relationship. Resah gelisah, gundah gulana menantikan kabar dari sang Kekasih. Iya, kan?[Lucu saja sih Hill, masa sampai ngambek gitu Megannya?][Ya ampun … Kayak anak kecil, kan? Tapi aku love full till the Heaven. Hahahaha!]Itu chat terakhir Uta tadi siang, membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Terjungkal-jungkal. Mereka lucu, ya? So sweet!
"Oh emh, Aldert … Kamu eh kok tiba-tiba jadi baik gini, sih? Sudah deh Aldert, nggak usah pura-pura. Nggak lucu banget, tahu?" bodohnya, aku benar-benar mengucapkan pertanyaan itu, Guys. Aduh, wajahku pasti jelek parah. Aku pasti ternganga setelahnya seperti anak kucing yang tersesat dan kelaparan. Kehausan karena sebenarnya masih menyusu.Aldert hanya tersenyum simpul. Memandang sejenak kepadaku, dengan sorot mata yang kunilai sebagai fatamorgana tadi. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana kain pendek selutut. Menjejakkan kaki di lantai gang. "Welcome ini 3 Months Holiday ya, Pretty?"Ha, apa?Aldert memanggilku dengan sebutan Pretty? Hahahaha … Sumpah, ini bukan hanya lucu. Asli, aku merasa baru saja terjatuh ke dalam lautan halusinasi. Tenggelam
"Selamat tidur Hill, semoga mimpi indah!" ucap Tante Ariane seusai mematikan lampu dapur. Kami baru saja selesai packing segala jenis makanan untuk bekal piknik besok pagi."Terima kasih Tante. Selamat tidur juga, semoga mimpi indah." meskipun masih tak enak hati dengan ceritanya tentang Arnold tadi---seakan memberi warning supaya aku tak terlalu dekat dengannya---tapi berusaha untuk bersikap normal. Maksudku seperti biasanya. Yeah, aku memang belum mengenal Arnold dengan baik tapi sepertinya dia teman yang baik? Pribadi yang baik. Jika tidak, mana mungkin radar dalam diriku tidak meniup peluit? Biasanya begitu, kan?"Jangan lupa, memasang alarm jam enam kurang lima menit ya, Hill? Oh, Tante tidak sabar ingin melihat sunrise di pantai. Menyaksikan merekahnya matahari." kata Tante Ariane lagi dengan mimik wajah gembira. "Oh Hill
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.