Karena Aldert yang semakin mencurigakan dan jujur saja merasa sangat terancam, aku hanya menjawab dengan singkat perkataan Uta yang penuh dengan harapan itu. Sesuatu yang mustahil terjadi dalam keadaan normal, sungguh. Karena aku tahu kadang-kadang Uta sensitif dalam hal ucapan atau sikap yang menurutnya out of the box. Bukan tersinggung atau semacamnya tetapi dia akan merasa sedih bahkan mellow untuk beberapa saat lamanya. Padahal sebenarnya dia itu termasuk orang yang easy going. Nah, rumit kan?
"Oke, Hill. Kamu lagi sibuk, ya? Ya sudah dulu saja ya, voice call kita? Next time kita sambung lagi. Thanks a lot ya, Hill? Chat aku y
Yes, yes!Uta tidak marah Guys, dia sudah chat aku tadi siang. Katanya kemarin itu sedang ada sedikit masalah juga di sana. Biasa, Megan merajuk gara-gara Hill terlalu sibuk dengan anak-anak MMB sampai tak sempat memberikan kabar selama berhari-hari. Megan itu calon suami Uta. Mungkin itulah yang dinamakan dengan romantisme Long Distance Relationship. Resah gelisah, gundah gulana menantikan kabar dari sang Kekasih. Iya, kan?[Lucu saja sih Hill, masa sampai ngambek gitu Megannya?][Ya ampun … Kayak anak kecil, kan? Tapi aku love full till the Heaven. Hahahaha!]Itu chat terakhir Uta tadi siang, membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Terjungkal-jungkal. Mereka lucu, ya? So sweet!
"Oh emh, Aldert … Kamu eh kok tiba-tiba jadi baik gini, sih? Sudah deh Aldert, nggak usah pura-pura. Nggak lucu banget, tahu?" bodohnya, aku benar-benar mengucapkan pertanyaan itu, Guys. Aduh, wajahku pasti jelek parah. Aku pasti ternganga setelahnya seperti anak kucing yang tersesat dan kelaparan. Kehausan karena sebenarnya masih menyusu.Aldert hanya tersenyum simpul. Memandang sejenak kepadaku, dengan sorot mata yang kunilai sebagai fatamorgana tadi. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana kain pendek selutut. Menjejakkan kaki di lantai gang. "Welcome ini 3 Months Holiday ya, Pretty?"Ha, apa?Aldert memanggilku dengan sebutan Pretty? Hahahaha … Sumpah, ini bukan hanya lucu. Asli, aku merasa baru saja terjatuh ke dalam lautan halusinasi. Tenggelam
"Selamat tidur Hill, semoga mimpi indah!" ucap Tante Ariane seusai mematikan lampu dapur. Kami baru saja selesai packing segala jenis makanan untuk bekal piknik besok pagi."Terima kasih Tante. Selamat tidur juga, semoga mimpi indah." meskipun masih tak enak hati dengan ceritanya tentang Arnold tadi---seakan memberi warning supaya aku tak terlalu dekat dengannya---tapi berusaha untuk bersikap normal. Maksudku seperti biasanya. Yeah, aku memang belum mengenal Arnold dengan baik tapi sepertinya dia teman yang baik? Pribadi yang baik. Jika tidak, mana mungkin radar dalam diriku tidak meniup peluit? Biasanya begitu, kan?"Jangan lupa, memasang alarm jam enam kurang lima menit ya, Hill? Oh, Tante tidak sabar ingin melihat sunrise di pantai. Menyaksikan merekahnya matahari." kata Tante Ariane lagi dengan mimik wajah gembira. "Oh Hill
Sambil mematikan lampu kamar aku berseru menyahut, "Ya Tante, ini Hill juga sudah mau tidur, kok."Tragedi Guys, aku lupa mematikan lampu. Lebih gawat lagi lupa silent ringtone notifikasi chat room dan media sosial. Wah, Tante Ariane pasti dramatis karena tahu kalau aku belum tidur padahal sudah jam dua hampir jam sebelas? Eh, tidak tahu sih apakah ringtone-nya terdengar sampai di luar kamar atau tidak? Tapi yang jelas, dia bisa melihat apakah lampu kamar sudah mati atau belum dari celah-celah pintu."Bagus Hill, tidurlah." pungkas Tante Ariane dengan nada lega lalu samar-samar kudengar dia memarahi Aldert, "Kamu juga Boy, lekaslah tidur. Besok pagi ini piknik pertama kita lho, jangan sampai gagal hanya gara-gara kalian tidur terlalu larut!"
"How is it?" Arnold mengerling padaku lalu kembali memandang ke depan, ke arah kedai fillet ikannya, Leker Fillet. "What do you think?"Arnold baru saja mengenalkanku pada Nesta, kasir tetap di Leker Fillet. Selain Nesta, Arnold juga mengenalkanku pada Venus dan Angel. Mereka bekerja sebagai pelayan merangkap sebagai juru masak. Wah, belum-belum aku sudah merasa bangga. Bahagia.Oh, adakah yang seberuntung diriku di dunia ini? Free holiday selama tiga bulan penuh, diberi uang jajan dan kebebasan untuk memanfaatkan peluang kebaikan yang ada. Salah satunya ya ini, boleh bekerja paruh waktu di Leker Fillet. Peluang kebaikan yang lain, Om Frank akan mendaftarkan aku di sekolah bahasa Belanda untuk wisatawan. Satu lagi, selama Oma s
"Cemburu Aldert, maksud kamu?" aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja dibisikkan Aldert. Jelas, aku dan Arnold hanya berteman. Lagi pula, seandainya kami berpacaran pun apa urusannya? Dia bukan kakak atau adik kandungku. Tidak berhak ikut campur, tentu saja. "Ada-ada saja sih kamu, Aldert?"Sebelum Aldert menarik tubuhnya menjauh dariku, aku yang mendorong dadanya hingga kepalanya terbentur pintu. Sebenarnya itu tadi kolaborasi dari keberanian sekaligus perasaan jengkel yang selama ini terpendam di hati, jujur. Setelah semua kejahatan yang dilakukannya selama ini, tidak masalah kan? Hanya terbentur sedikit kok, tidak keras. Aku yakin tidak akan membuat otaknya cedera."Oh Pretty, jangan kasar begitu, dong?" tegurnya setelah aku berhasil membuka pintu ruang tamu dan berjalan cepat ke dapur. Jauh di dasar hati, aku me
"Aldert … Aldert nakal, Mama!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku yang pahit dan kering. "Aldert, dia sukanya gangguin aku, Mama. Jahat, jahat …!"Air mataku membanjiri bandang Guys, sumpah. Rasanya benar-benar sesak. Sampai tak bisa memikirkan lagi bagaimana reaksi Mama di sana, membayangkan apa yang terjadi denganku selama di sini. Kenalalan Aldert seperti apa yang sudah membuat anak perempuan semata wayangnya ini banjir air mata. Oh, aku yakin otakku sudah benar-benar korslet sekarang dan hati ini hancur.Batik, Guys. Kalian tahu bagaimana Batik, kan? Ya, benar dia berpenampilan seperti preman. Ketua geng MANGKRONG (Mahasiswa Nongkrong) tapi tak pernah sedikit pun menyentuh kulit pun. Tidak pernah juga menggoda perempuan meskipun yang lewat di depan matanya itu perempuan yang cantik mul
Oh, ingin rasanya melesat ke Yogyakarta dan tidak pernah kembali ke sini dalam bentuk apa pun, sungguh!"Pretty …?" panggil Aldert lagi dan aku tahu dia takkan pernah menyerah dalam hal ini. Akan terus memanggil sampai aku minimal memberikan sahutan. Oh, tidakkah dia tahu, aku benar-benar malu. Takut. Oh Guys, adalah di antara kalian yang bisa memberikan tips untuk berhadapan dengan sesorang yang sudah dengan jahatnya merenggut kesucian pipi chubby manis kita? Rasanya, oh rasanya lebih baik kehilangan nyawa. "Pretty please, buka pintu?"Tok, tok, tok!"Pretty?" Aldert memperlembut suara, "Kamu masih marah, ya? Aku minta maaf, benar-benar minta maaf."Ah!
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.