Oh, ingin rasanya melesat ke Yogyakarta dan tidak pernah kembali ke sini dalam bentuk apa pun, sungguh!
"Pretty …?" panggil Aldert lagi dan aku tahu dia takkan pernah menyerah dalam hal ini. Akan terus memanggil sampai aku minimal memberikan sahutan. Oh, tidakkah dia tahu, aku benar-benar malu. Takut. Oh Guys, adalah di antara kalian yang bisa memberikan tips untuk berhadapan dengan sesorang yang sudah dengan jahatnya merenggut kesucian pipi chubby manis kita? Rasanya, oh rasanya lebih baik kehilangan nyawa. "Pretty please, buka pintu?"
Tok, tok, tok!
"Pretty?" Aldert memperlembut suara, "Kamu masih marah, ya? Aku minta maaf, benar-benar minta maaf."
Ah!
"Emh sorry, I mean …," malu-malu aku menanyakan apakah dia juga ada kepentingan di play park. Bukan apa-apa, jangan sampai dia tertahan di sini hanya untuk menemani aku. Lagi pula, aku sudah menetapkan play park sebagai lokasi Me Time. Jujur ya jujur, saat ini di hatiku muncul sebuah pertanyaan krusial, mengapa Arnold sering muncul begitu saja di depanku? Kami tidak membuat janji sama sekali, lho. Seperti sesuatu yang sudah diagendakan.Arnold yang masih mengulum senyum manis menggeleng-gelengkan kepala. Menunjuk pada seorang anak perempuan dengan kuncir dua---rambutnya panjang berwarna kuning terang---berumur sekitar tiga atau empat tahun di bak pasir. Dia terlihat asyik bermain pasir dengan skop dan ember. "I am working as her baby sitter."
"Tapi kan, aku juga mau pinjam buku itu, Mama?" gusar, aku mencoba untuk memberikan sanggahan. Enak sekali Uta, aku yang menemukan kok, dia yang meminjam? Memangnya dia tidak bisa menemukan buku bacaan untuknya sendiri? Ya ampun! Waktu istirahat kan, lima belas menit bukannya satu atau dua detik saja? "Uta nakal!"Mama mencuil kecil pipi kiriku, memberikan senyum hangat. "Hill, sudah dong? Jangan marah lagi ya sama Uta? Uta nggak nakal kok, Uta baik. Iya, kan? Selama ini kan, sejak TK kalian bersahabat baik? Uta sering main ke rumah kita, banyak membantu kamu mengerjakan PR … Meminjamkan boneka, membelikan buku dari hasil dia menabung di rumah, menjaga kamu saat kalian bermain di luar rumah atau jalan-jalan dan banyak lagi kan, Hill? Kita nggak mungkin menyebutkan satu per satu. Iya, kan?"Aku masih diam menyimak saat Ma
Driiing, driiing!Perasaanku semakin kalut saat menekan bel pintu rumah. Aldert menguncinya dari dalam, jadi aku tak bisa masuk meskipun sudah membawa anak kunci sendiri. Satu-satunya hal yang membuatku sekalut ini adalah pemikiran negatif kalau ternyata Aldert belum pulang dari jalan-jalan atau malah pergi ke rumah Oma, menyusul orangtuanya.Bagaimana aku bisa masuk ke dalam rumah kalau begitu?Aduh, bagaimana ini? Aku juga sudah sangat lapar karena belum makan sejak tadi pagi. Apa sebaiknya aku makan dulu di kedai? French fries atau apalah, yang penting perut terisi. Ah, bagaimana kalau fillet ikan saja? Sekalian mengenali Leker Fillet dengan lebih baik lagi.Good idea, Hill!&n
Kacau. Kacau. Kacau.Bagaimana bisa Aldert mencampuri urusan pribadiku sampai sejauh ini? Di belakangku, dia menemui Arnold dan mengatakan kalau aku tidak jadi bekerja di Leker Fillet alias membatalkan kesepakatan secara sepihak. Alasannya sangat sederhana, karena aku di sini berada di bawah tanggungjawab orangtuanya. Dia mewakili mereka, tentu saja."Oh Arnold, I am very sorry?" hampir saja aku menangis saat mengatakan itu di sambungan telepon yang tak terlalu jernih. "I didn't know that it will be a problem here, for Aldert's family. His father permitted me to work well in Leker Fillet, really. He supported me, Arnold." (Oh Arnold, aku benar-benar minta maaf?) (Aku nggak tahu kalau
"Halo, B?" aku mengulangi menyapa sambil terus membayangkan wajah lengkap sepaket dengan senyum miringnya yang khas. Mata elang, alis ulat bulu, bibir tipis, dagu berbelah tengah, hidung mancung, buku mata tebal dan lentik dan rambut ikal sebahu. Dia sering menguncirnya dengan karet gelang. Kalau tidak kuncir ekor kuda ya digerai begitu saja, kadang-kadang sampai menutupi wajah. "B, apa ini kamu?"Khawatir. Takut. Bingung.Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu, menciptakan gemuruh badai di rongga dada. Batik kritis setelah terjatuh di kamar mandi dan belum siuman. Maksudku, Mbak Nilam belum mengirimkan kabar apa pun sampai sekarang.Bagaimana mungkin aku bisa tenang?Oke, Batik brengsek. J
"Hill, kamu tahu nggak?" tanya Mbak Nilam setelah aku mengatakan dengan terus terang soal Batik belum bisa lama-lama bicara tadi. Aku merasa ada penekanan khusus di setiap kata yang diucapkannya. Seakan-akan sedang berusaha untuk menggiringku pada sesuatu yang spesial. "Sebenar---""Oh ya Mbak," tak sengaja aku menyela perkataan Mbak Nilam karena teringat pada janjinya kemarin. Dia kan mau memberi tahu soal curahan hati Batik? Tapi belum jadi karena dipanggil dokter. "Katanya mau cerita soal curhatan Batik? Please Mbak Nilam, jangan buat Hill mati penasaran? Ya, Mbak?""Tapi apa kamu bisa terima, Hill? Maksud Mbak, apa kamu nggak apa-apa kalau Mbak cerita?""Iya, Mbak. Nggak … Hill senang kalau Mbak cerita dengan jujur apa adanya."
"Aldert!" sungguh, karakter antagonis yang entah dari mana datangnya itu menguasai diriku dengan sempurna. Mengalir di seluruh darah yang memanas, memaksaku melakukan sesuatu yang selama ini belum pernah kulakukan. Apakah itu? Dengan segenap kekuatan yang ada aku mengayunkan tangan kanan ke depan, mendaratkan di wajah Aldert.Plaaakkk …!Seketika suasana di kamar ini memanas, menegang. Menyerupai arena tinju kelas berat, kurasa. Napasku sampai naik turun tak beraturan demikian juga dengan jantung, berdegup super kencang. Nyaris saja melompat ke luar dari rongga dada."Kamu jahat Aldert, jahat sekali!" aku mendakwa tanpa ampun. Menuding-nuding wajahnya dengan kemarahan yang semakin merambat cepat mencapai ubun-ubun. Mendesis-desis selayaknya
Sejak saat itu, tragedi ciuman Aldert yang ke dua kemarin lusa, aku mewajibkan diri untuk lebih berhati-hati dan waspada. Jangan lengah sedikit pun apalagi sampai kecolongan. Misalnya di rumah sepi, Tante Ariane berbelanja dan Om Frank sibuk bekerja di lantai tiga, aku menyibukkan diri di kebun bunga belakang rumah. Ya, walaupun hanya melihat-lihat saja, sih. Well, itu jauh lebih baik dari pada harus berdekatan dengan Aldert.Kalau tidak di kebun bunga---waktu mereka menghadiri undangan makan malam teman sekantor Om Frank---aku menyibukkan diri dengan laundry. Meskipun selama ini sangat jarang terhubung dengan mesin cuci, jemuran atau setrikaan tapi aku merasa jauh lebih aman. Wah, tak terasa aku menyelesaikan semuanya hanya dalam waktu satu setengah jam. Mulai dari memasukkan semua pakaian koto
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.