"Hill, kamu tahu nggak?" tanya Mbak Nilam setelah aku mengatakan dengan terus terang soal Batik belum bisa lama-lama bicara tadi. Aku merasa ada penekanan khusus di setiap kata yang diucapkannya. Seakan-akan sedang berusaha untuk menggiringku pada sesuatu yang spesial. "Sebenar---"
"Oh ya Mbak," tak sengaja aku menyela perkataan Mbak Nilam karena teringat pada janjinya kemarin. Dia kan mau memberi tahu soal curahan hati Batik? Tapi belum jadi karena dipanggil dokter. "Katanya mau cerita soal curhatan Batik? Please Mbak Nilam, jangan buat Hill mati penasaran? Ya, Mbak?"
"Tapi apa kamu bisa terima, Hill? Maksud Mbak, apa kamu nggak apa-apa kalau Mbak cerita?"
"Iya, Mbak. Nggak … Hill senang kalau Mbak cerita dengan jujur apa adanya."
"Aldert!" sungguh, karakter antagonis yang entah dari mana datangnya itu menguasai diriku dengan sempurna. Mengalir di seluruh darah yang memanas, memaksaku melakukan sesuatu yang selama ini belum pernah kulakukan. Apakah itu? Dengan segenap kekuatan yang ada aku mengayunkan tangan kanan ke depan, mendaratkan di wajah Aldert.Plaaakkk …!Seketika suasana di kamar ini memanas, menegang. Menyerupai arena tinju kelas berat, kurasa. Napasku sampai naik turun tak beraturan demikian juga dengan jantung, berdegup super kencang. Nyaris saja melompat ke luar dari rongga dada."Kamu jahat Aldert, jahat sekali!" aku mendakwa tanpa ampun. Menuding-nuding wajahnya dengan kemarahan yang semakin merambat cepat mencapai ubun-ubun. Mendesis-desis selayaknya
Sejak saat itu, tragedi ciuman Aldert yang ke dua kemarin lusa, aku mewajibkan diri untuk lebih berhati-hati dan waspada. Jangan lengah sedikit pun apalagi sampai kecolongan. Misalnya di rumah sepi, Tante Ariane berbelanja dan Om Frank sibuk bekerja di lantai tiga, aku menyibukkan diri di kebun bunga belakang rumah. Ya, walaupun hanya melihat-lihat saja, sih. Well, itu jauh lebih baik dari pada harus berdekatan dengan Aldert.Kalau tidak di kebun bunga---waktu mereka menghadiri undangan makan malam teman sekantor Om Frank---aku menyibukkan diri dengan laundry. Meskipun selama ini sangat jarang terhubung dengan mesin cuci, jemuran atau setrikaan tapi aku merasa jauh lebih aman. Wah, tak terasa aku menyelesaikan semuanya hanya dalam waktu satu setengah jam. Mulai dari memasukkan semua pakaian koto
"Oh, Hill … Sekarang Tante Arianenya ada?" terdengar panik, Mama langsung merespons luapan isi hatiku yang mengandung badai Tornado. "Biar Mama atasi masalah ini, segera. Tolong kasih ponsel kamu ke Tante Ariane, ya?"Aku melongok ke luar kamar, memastikan kalau Tante Ariane masih menyusun belanjaan di lemari persediaan, samping ruang laundry. Oh, aku memang selalu beruntung. Pucuk dicinta ulam pun tiba. "Sebentar ya, Mama?"Suara Mama terdengar sedih tapi aku tak memperdulikan itu lagi. Terpenting Mama sudah tahu tentang semuanya dan sekarang lah saatnya mendapatkan pembelaan sekaligus perlindungan darinya. Malaikat tanpa sayapku yang baik budi, indah lisan, bening hati, jernih akal. Cantik lahir batin dunia akhirat. Yippie, kupastikan besok pagi waktu Den Haag, Frank family akan mengirimkan aku pulang ke Yogyakar
Tak terpancing sedikit pun untuk terlibat pembicaraan dengan Aldert---jangan sampai lengah dan tersihir lagi---aku meninggalkan dia di ruang keluarga. Kembali ke tujuan awal, membuat sup sayuran plus makaroni. Sebentar lagi masuk waktu makan siang. Kalau melihat dari daftar menu sih, Frank family mau makan roti, salad dan jagung manis rebus.Apa lebih baik mengikuti menu mereka saja, ya? Lagi pula aku masih dag dig dug menunggu hasil pembicaraan darurat antara Mama, Tante Ariane dan Om Frank. Takut kurang konsentrasi. Berbahaya sekali kan, karena harus melibatkan benda-benda tajam dan api? Ya, memang aku bukan Aldert si Crazy Brengsek Predator ganas yang bisa membakar bajunya sendiri, sih. Tapi, kan …? Ah, sepertinya selera makanku juga belum switched on, kan?
"Hi, Hill?" sapa Arnold dengan nada gembira meskipun sempat terdengar tersentak. Hihihihi, dia pasti tidak menyangka kalau aku akan menelepon kan, Guys? Apa dia tidak tahu kalau aku masih merasa bersalah setengah mati? Oh, jangan-jangan benar kata Uta, laki-laki terlahir tanpa perasaan dan kepekaan? Wah, kalau benar, berarti … Eh tapi bagaimana ceritanya laki-laki bisa jatuh cinta dan menikahi pilihan hatinya? Dia juga bisa patah hati, kan? Nah, dari manakah datangnya perasaan itu? Hemmm, sepertinya Uta harus belajar lebih banyak laki tentang laki-laki, deh! "Is it you?"Aku tertawa lirih. "Yes Arnold, its me."Arnold lalu menanyakan apakah aku baik-baik saja? Tentu saja aku mengatakan yang sesungguhnya. Selain sudah terlanjur
Kalau tidak ingat ini Netherlands yang jauhnya berpuluh-puluh ribu kilometer dari rumah, aku pasti sudah kabur. Lebih baik hilang ditelan bumi dari pada harus mengikuti permintaan Mama. Gila! Mama pasti tidak tahu kalau Aldert itu lebih ganas dari pada Tirex, kan?"Hill, sebenarnya ada sesuatu yang harus Mama sampaikan sama kamu, Hill." kata Mama kemudian setelah sekian detik lamanya terdiam. Aku jujur saja sudah lebih dari meradang, nyaris sekarat tapi tak mungkin menghindar. Mau menghindar ke mana? Ya, kalau ini Yogyakarta sih, aku pasti sudah kabur ke rumah Eyang Putri di Bantul. Tidak pernah pulang ke rumah lagi setelah itu, selama-lamanya. "Hill, pokoknya Mama minta kamu harus tetap di Netherlands Hill, sampai 3 Months Holiday berakhir. Berangkat bersama-sama pulang juga harus bersama-sama. Mama mohon kamu bisa mengerti, Hill. Lagian tinggal dua bulan lagi, kan?"&nbs
"Oh Hill, maafkan Tante, ya?" cakap Tante Ariane membuka pembicaraan. Kami sudah di jalan, mau ke play park. Tante Ariane sudah membawa bekal untuk minum teh. "Sudah hampir satu bulan kita di sini tapi belum jadi liburan juga. Semoga hasil kontrol Oma bagus ya, Hill? Jadi, besok lusa ini kita bisa benar-benar berangkat ke Brussel. Wah, sebenarnya Tante juga sudah nggak sabar, Hill. Hemmm, liburan musim panas tahun ini memang cukup parah. Banyak insiden tak terduga. Oh not so bad at all, masih ada dua bulan lagi. Lebih dari separuh waktu liburan. Iya kan, Hill?"Aku hanya diam menyimak. Enggan sekali rasanya untuk berbasa-basi meskipun hanya dengan melengkungkan senyuman. Pahit. Kering. Ditambah dengan pemikiran keras tentang Batik, rasanya sudah benar-benar hambar. Ambyar mood untuk melanjutkan 3 Months Holiday super gila ini, sungguh.
Ajaib!Tante Ariane justru terdiam. Menundukkan pandangan. Mengerjap-ngerjapkan mata. Memandangku lagi, menunduk … Anak TK sekalipun pasti bisa menyimpulkan kalau dia sedang menutupi sesuatu yang berarti berbohong. Minimal, dalam perjalanan ke sana."Tante?" atas nama Papa dan Mama (meskipun masih kecewa dengan segala kebohongan dan kelemahannya) aku sudah memutuskan untuk tidak mundur sedikit pun dalam hal ini. Harus segera tahu jawaban yang sebenarnya. Karena jujur ya jujur, selama ini aku merasa sangat aneh dengan perubahan sikap Aldert yang drastis. Walaupun perubahan baik tapi tetap saja aneh. Ugh, kalau benar dia mencintai aku, ingin segera menikah, bagaimana bisa di bersikap sejahat itu? Mengusir saat kami makan siang di rumah pohon, menyiram dengan seember air, mencuri peta dari tas punggung dan terut
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.