Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mama menawarkan padaku sesuatu yang sangat menarik. Fantastis, malah. Bulan depan, Tante Ariane akan mengajakku jalan-jalan ke Eropa. Bayangkanlah, betapa gembiranya hatiku. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kungkungan duka dan kehilangan. Oh, meninggalnya Papa menjadi hal yang begitu menyakitkan bagiku. Seperti apa? Mustahil menggambarkannya dengan kata-kata. Terlalu sakit. Patah hati terberat, sungguh.
"Haaa, Eropa?" refleks, aku bertanya sambil memindahkan tubuh ke samping Mama, "Serius, Ma? Mama nggak lagi ngusilin aku, kan?"
Dalam detik-detik yang begitu heroik, aku menelisik ke dalam bola mata Mama. Rasa-rasanya tak ada sesuatu yang ganjil. Bahkan, aku menemukan sesimpul senyum tulus di wajah senja Mama. Kalaupun Mama bersikap usil, apa ini tidak berlebihan? Eropa, lho. Lagi pula, apa Mama dan Tante Ariane tidak punya pekerjaan lain sehingga malah sibuk menyusun rencana usil untukku? Bodoh sekali bukan, kalau aku tetap pada pemikiran spontan beberapa menit yang lalu itu?
"Iya, serius." tegas tapi lembut Mama menyahut, "Ya, itu kalau kamu mau, Hill. Kami nggak maksa, kok. Lagian kamu kan sudah selesai kuliah. Apa salahnya kalau ikut? Ya, siapa tahu, di sana nanti kamu bisa dapet banyak pengalaman? Tiga bulan kan, nggak lama, Hill?"
Apa, tiga bulan?
Wah kalau selama itu sih, sepertinya aku harus memikirkan dan mempertimbangkan lagi. Ya ampun, proyek perpustakaan keliling bersama Uta kan, baru saja berjalan? Masa, aku meninggalkannya begitu saja. Kalau seminggu atau dua minggu sih tidak masalah tapi kalau tiga bulan?
OK!
Uta mungkin bisa menerima tapi kan, aku jadi tidak enak hati kalau seperti itu? Mati-matian kami merintis MMB (Mari Membaca Buku) sampai akhirnya memiliki banyak pelanggan. Apa bukan pengecut namanya kalau harus libur selama tiga bulan full? Belum nanti kalau ada apa-apa, bagaimana? Misalnya, waktu pulang nanti aku mengalami jet lag parah. Apa tidak menambah level tak enak hatiku pada Uta?
"Oh, tiga bulan ya, Ma?"
"Iya, tiga bulan. Kenapa, Hill? Kamu sudah ada jadwal?"
Ditanya seperti itu oleh Mama, aku hanya bisa bergeming. Kalau yang dimaksud Mama itu jadwal kerja ya aku belum punya. Tapi bukankah mengembangkan MMB itu sebuah kewajiban yang paling hakiki dalam hidupku? Iya, kan? Duh, bisa jadi ribet nih, urusannya!
"Nggak sih, Ma. Hanya perpustakaan keliling saja tapi kan ...?"
Aku baru mau melanjutkan kalau sebenarnya tak enak hati dengan Uta tapi Mama sudah merangsek dengan full ekspresi kegembiraan. Seolah-olah, diajak Tante Ariane jalan-jalan ke Eropa itu sebuah prestasi yang luar biasa. Eh, hebatnya di bagian mana, sih? Oh, pasti Mama berharap akan mendapatkan banyak oleh-oleh dari sana. Apa lagi? Dua puluh dua tahun menjadi anaknya, pasti tak meleset dugaanku tentang Mama.
"Oh, itu?" Mama mengibaskan tangan sambil tersenyum lebar, "Kalau soal itu kamu tenang saja, Hill. Mama bisa kok, gantiin kamu selama liburan. Swer!"
Haaa, serius?
Hahahaha, bukannya Mama takut dengan sinar ultraviolet, ya? Wah, jangan-jangan budget Mama untuk membeli krim wajah yang mengandung anti UV jadi membengkak. Terus, dia mengeluh siang dan malam di chat room yang akan membuat notifikasiku sederas arus lalu lintas kota-kota besar di Indonesia tercinta.
Oh, big no!
Bisa-bisa liburanku malah jadi kacau balau. Hemmm, bagaimana, ya? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Yes or not? Ikut Tante Ariane berlibur ke Eropa dan menikmati setiap butir udara di sana atau tetap di sini, berjuang untuk MMB? Oh, mungkin aku juga harus mulai mencari pekerjaan? Maksudku memadatkan kegiatan sehari-hari agar bayang-bayang gelap tentang Papa ... Ah! Kenapa sih, semua itu harus terjadi pada Papa? Apa salah Papa? Oh, para perampok itu pasti tidak tahu kalau Papa adalah orang yang baik. Sangat baik, malah. Bukan hanya terhadap Mama dan aku, keluarganya tapi juga tetangga sekitar dan siapa saja yang membutuhkan. Siapapun pasti tahu kalau Papa adalah sosok yang sangat dermawan. Kenapa mereka tega menganiaya Papa, sih? Padahal, Papa sudah angkat tangan dan membiarkan mereka menguras harta benda yang ada di rumah kami. Kata Mama sih, begitu. Hiks.
Jahat. Jahat. Jahat.
"Hill!" panggil Mama membuatku terkejut, "Kok, malah melamun?"
Aku hanya nyengir, tak tahu harus berkata apa. Sekarang, yang ada dalam benakku hanya satu, menerima tawaran Tante Ariane atau menolaknya. Itu saja. Tak mungkin memilih semuanya, kan? Kecuali sambil liburan, aku masih bisa membantu Uta.
Nah, itu dia ide yang cemerlang!
"Mama, enggg, boleh nggak kalau aku pikir-pikir dulu?"
"Pikir apa? Kayak mama-mama aja kamu ini, Hill. Diajak liburan saja mikirinnya udah kayak mama-mama yang anaknya selusin. Udah, berangkat aja!"
"Nanti aku kasih tahu Mama lagi, ya?"
"Kasih tahu ...?"
"Pokoknya, begitu aku ambil keputusan, aku cepet-cepet kasih tahu Mama. Ya? Biar Tante Ariane pun nggak nunggu-nunggu. Nggak enak juga kita nanti kan, Mama?"
Satu-satunya hal yang aku syukuri adalah, Mama tersenyum tipis. Senyum misterius sih tapi aku tak memperdulikan itu. Sekarang aku harus menemui Uta dan mendiskusikan masalah ini dengannya. Siapa tahu, sahabatku yang baik hatinya itu malah langsung punya solusi. Ya ampun, dia kan motivator tunggal dalam hidupku? Terutama setelah Papa meninggal. Sungguh, tak tahu apa jadinya kalau tak ada Uta. Mungkin aku sudah terkena skizofrenia atau sejenisnya karena gagal move on.
"Aku ke rumah Uta dulu ya, Ma?"
"Ya, hati-hati, Hill!"
"Oke, Mama. Aku jalan kaki kok, Ma. Sekalian jalan-jalan sore. Siapa tahu kan, ketiban langit eh lowongan pekerjaan ramah pengangguran."
"Hehehehe ... Hill, Hill. Iya deh, asal jangan meleng aja tuh, jalannya?"
"Siap, Boss!"
Eropa. MMB. Eropa. Cari kerja plus MMB. Eropa dulu sambil cari kerja plus MMB. Eropa. Eropa. Eropa.
Wah, jelas otakku konslet!
Belum pernah lho, aku separah ini dalam memikirkan sesuatu. Selama menyusun skripsi saja bisa senyum-senyum santai. Seolah-olah ujian akhir itu sama dengan penilaian akhir semester untuk anak TK B. Bukan karena super cerdas atau semacamnya sih tapi karena berprinsip easy going. Lah tapi begitu mendapatkan tawaran liburan ke Eropa itu tadi, seluruh hidupku jadi sekacau laut saat terguncang Tsunami.
Bayangkanlah!
"Eh, kamu Hill?" sapa Uta saat mengetahui kedatanganku di rumahnya, "Duduk Hill, kelihatannya capek bener?"
Seperti yang ditawarkan Uta, aku duduk di kursi bambu di depannya, "Makasih, Ta. Iya nih, lagi pening kepalaku, Ta."
Aku selalu jujur dan terbuka pada Uta. Demikian juga Uta, tak ada yang ditutupinya dariku. Setidaknya, begitulah pengakuannya padaku beberapa waktu lalu. Kalau dia tak mengakui itu ya aku takkan pernah tahu. Asli, bukan cenayang yang bisa tembus pandang. Bisa melihat ke masa lalu atau pun masa depan. Sungguh.
"Walah, pening kenapa sih, Hill?" tanya Uta santai, sesantai orang-orang yang bermain pasir di tepi pantai, "Dipikir karo turu wae!" (Dipikir sambil tidur saja!)
Aku mengikutinya tertawa lalu menceritakan semuanya dengan jujur apa adanya. Termasuk soal keinginan mencari pekerjaan yang belum pernah terpikir selama ini. Pokoknya, keinginan itu muncul setelah Mama menawarkan liburan tiga bulan di Eropa. Aneh, kan? Kuakui, kadang-kadang aku separah itu dalam hal mempertimbangkan sesuatu.
Sore yang indah di Yogyakarta, tanah tumpah darahku. Matahari sudah nyaris tenggelam tapi langit masih terlihat cerah. Tidak berwarna jingga atau merah saga memang tapi sedikit mirip daging kunyit bercampur biru muda. Gumpalan awannya mulai berarak cepat ke arah barat saat aku sampai di depan rumah, seolah-olah ingin memberi tahu kalau di dalam ruang tamu sana ada Tante Ariane. Oh, andaikan senja dapat berbicara! Pasti aku sudah memutar badan dan berlari kembali ke rumah Uta. Menyelamatkan diri dari pertemuan paling garing di sepanjang usia.Tahukah kalian, apa yang dikatakan Tante Ariane tadi? Sudah sejak lama dia berniat mengajakku berlibur di Eropa tepatnya di Den Haag, Netherlands. Tapi aku masih sibuk kuliah. Nah, kalau sekarang kan, aku sudah lulus jadi tidak masalah bukan kalau pergi berlibur sebentar? Lagi pula aku kan belum bekerja, apa salahnya membahagiakan diri sendiri
Akhirnya, demi kebahagiaan Mama aku merelakan diri memenuhi undangan Tante Ariane untuk berlibur di Eropa tiga bulan ini. Aku tidak tahu, apakah ini model lain dari pemaksaan agar terkesan manis dan lembut atau bagaimana, terpenting Mama bahagia. Oh Tuhan, sesederhana itu kah, kebahagiaan Mama? Melihatku menikmati liburan bersama Tante Ariane.Aku tak tahu, bagaimana dengan mama-mama yang lain di dunia ini. Apakah juga akan sebahagia Mama jika anaknya diajak berlibur sahabat dekatnya atau justeru sebaliknya. Merasa insecure dan tidak mudah untuk melepaskan. Jujur, sampai detik masih tak percaya dengan jalan pemikiran Mama. Apa karena rasa percaya pada Tante Ariane yang begitu besar, sehingga bisa dengan tenang melepaskanku bersamanya? Mungkin.Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, bukan? Eropa juga tidak sedekat Yogya
"Hai Hill, aku Aldert!" suara serak-serak basah itu menyapaku dengan ramah dan hangat.Meskipun sudah sehancur hutan belantara yang kejatuhan bom nyasar, aku berusaha untuk tersenyum. "Hai juga, Al Aldert?"Terus terang sorot mata elang Aldert mematahkan tatapan sopan santunku. Jadi, inilah yang kulakukan sekarang. Menunduk menahan rasa malu dan rikuh. Belum pernah aku ditatap seperti ini oleh laki-laki, sungguh. Batik? Oh, kenapa baru sekarang aku menyadarinya, ya? Batik sangat jarang menatapku. Dia selalu lekat dengan layar ponsel, buku catatan, buku bacaan, majalah atau komik yang ada di tangannya. Kalau sudah ada benda-benda itu di tangannya, jangan harap akan ada aku dalam perhatiannya.Oh ya, aku tahu walaupun sangat jarang terjadi, sorot mata Batik t
Guys, ternyata Mama juga tidak tahu kalau ada Aldert di kalender liburan Tante Ariane bulan depan. Aku sudah menanyakan berulang kali dan hasilnya nol besar. Sampai-sampai Mama menyatakan kalau berani melakukan sumpah pocong untuk mengutuhkan kepercayaanku. Ya, aku sih tidak tahu, apa itu sumpah pocong? Menakutkan sekali kedengarannya. Menyeramkan. Jadi, dari pada nanti aku terkencing-kencing di celana hanya untuk tahu apakah Mama berbohong atau tidak, lebih baik mundur. Ya Tuhan, aku kan bukan BALITA lagi?"Hemmmhhh ya udah deh Ma, kalau Mama nggak tahu?" kataku dengan nada pasrah, "Hanya kaget saja sih, tahu-tahu Tante Ariane ngenalin Aldert sama aku. Itu pun pas sudah di kantor Kedutaan Belanda. Gila nggak sih, Ma? Mana di depan banyak orang lagi. Ugh! Rasanya seperti aktris yang lagi syuting gitu terus dilihatin banyak orang. Hiks, hiks."
What, menyumbangkan buku untuk MMB dari hasil traktiran Aldert? Oh, lebih baik tidak sama sekali. Untuk saat ini, maksudku. Aku bisa menyumbang banyak buku lain waktu dari hasil keringatku sendiri. One day, setelah aku mendapatkan pekerjaan eksklusif sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar, tentu saja."Hill, kok masih bengong saja, sih?" Mama menegur dengan cara mencolek pipiku, "Itu Aldert nungguin kamu, lho. Sudah sana, ganti baju. Sisiran yang rapi, Hill."Oh Guys, tahukah kalian apa yang terjadi padaku? Bergeming. Mematung kayu. Sejujur-jujurnya kukatakan, tidak mengerti dengan maksud hati Mama. Mengapa jadi begini? Tidakkah Mama tahu, ini mulai merambah ke istilah keterlaluan. Mama sadar tidak sih, sudah melakukan pemaksaan besar-besaran? Ya, walaupun akhirnya anak semata wayangnya ini rela hati tapi intinya karena merasa
Serta merta Uta mendekati kami, meninggalkan anak-anak yang terlihat asyik memilih-milih buku. Mimik wajahnya terlihat mengandung bara amarah, menakutkan. Aku sendiri masih berada dalam cengkeraman rasa terkejut yang begitu besar sehingga hanya bisa ternganga dalam arti yang sesungguhnya. Oh, aku yakin pasti sekarang ini sudah seperti anak kucing yang tersesat dan kehausan. Berharap akan segera menemukan genangan air di pinggir jalan untuk bisa melepaskan dahaga."Sorry … Hill, sudah ditunggu sama anak-anak, tuh?" kata Uta dengan suara menyerupai desisan, "Banyak yang mau meminjam buku."Sekarang Uta melirik tajam ke arah Batik. "Sorry ya Batik, tolong jangan ganggu kami!"Batik membuang muka ke arah lain, tentu saja tanpa secuil kecil kata pun terge
"Batik?" gemetar, aku melontarkan sebuah pertanyaan yang menggantung, "It itu, ka kamu?""Hei Hill, sejak kapan kamu memanggilku dengan nama Batik?" teguran Batik hampir saja merontokkan jantungku dari tempatnya, "Kalau boleh jujur, aku lebih suka kamu panggil dengan B yang biasa. Rasanya lebih manis, lembut dan menentramkan. Bikin adem lah, Hill. Masa kamu nggak tahu?"Aku benar-benar tercengang oleh karena kejujuran Batik itu. Terncengang, terkejut dan tak percaya sehingga ingin menjerit histeris lalu mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Ugh, sorry jika aku terseret perasaan. Kata-kata Batik terlalu halu buatku, sungguh.Maksudnya? Kenapa baru sekarang dia mengatakannya? Setelah aku memutuskan untuk tidak lagi berdekatan dengannya. Lagi pula, untuk apa mempertahankan sebuah hu
"Minum, Hill?" Mama mendekatkan mug bunga-bunga Pink shaby itu padaku, "Minum teh hangat, biar tenang. Ya?"Tanpa berkata-kata aku meraih gagang mug, menyeruput teh manis hangat buatan Mama. Benar saja, aku merasa lebih baik setelah menghabiskan hampir setengah mug. Sedari kecil dulu, aku paling suka teh manis buatan Mama. Pas komposisinya sehingga warna, rasa dan hangatnya membuat ketagihan. Hehe. Bikin nagih, Guys.Sebenarnya di rumah ini, teh manis buatan Papa yang paling enak. Bukan hanya pas komposisinya tapi Papa juga menambahkan kayu manis dan perasaan lemon, sehingga rasanya lebih wow. Bikin nagih full lah, pokoknya.Kenapa kami tidak membuat teh ala Papa saja, biar lebih wow? Alasan kami sangat sederhana, tak mau menambahkan air mata dalam teh.
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.