Serta merta Uta mendekati kami, meninggalkan anak-anak yang terlihat asyik memilih-milih buku. Mimik wajahnya terlihat mengandung bara amarah, menakutkan. Aku sendiri masih berada dalam cengkeraman rasa terkejut yang begitu besar sehingga hanya bisa ternganga dalam arti yang sesungguhnya. Oh, aku yakin pasti sekarang ini sudah seperti anak kucing yang tersesat dan kehausan. Berharap akan segera menemukan genangan air di pinggir jalan untuk bisa melepaskan dahaga.
"Sorry … Hill, sudah ditunggu sama anak-anak, tuh?" kata Uta dengan suara menyerupai desisan, "Banyak yang mau meminjam buku."
Sekarang Uta melirik tajam ke arah Batik. "Sorry ya Batik, tolong jangan ganggu kami!"
Batik membuang muka ke arah lain, tentu saja tanpa secuil kecil kata pun tergetar dari bibirnya. Tidak juga melirik ke arahku setelah itu, seolah-olah tidak pernah membentak seperti beberap menit yang lalu. Aku sampai berdecak kagum bercampur malu dan tak percaya, atas sikapnya yang setidak peduli itu. Bukan berarti selama ini dia bersikap ramah, hangat atau bagaimana, sih. Tapi ini kan, di depan umum bukan di depan anak buahnya. Ya ampun! Masa dia tidak berhasil menempatkan diri juga, sih? Ada banyak anak pelanggan MMB juga, lho.
"Yuk, Hill?" Uta menarik tanganku yang terasa lemas tanpa tulang, "Nanti malah kemaleman kita, pulangnya!"
"Uta, Batik …?"
"Sudah Hill, biarin saja dia di sana. Biar kapok dia, kena mental gara-gara kamu cuekin seperti tadi. Kamu harus bisa bersikap dong, Hill? Batik kan sudah sering banget nyakitin kamu? Masa kamu ngalah terus, sih? Walaupun ngalah itu bukan berarti kalah tapi kamu harus bisa ngebelain diri kamu sendiri dong, Hill? Siapa lagi yang bakal ngelindungi kamu, kalau bukan kamu sen---"
"Uta, sorry … Sebentar, ya?"
Entah kekuatan apa yang sudah mendorongku setengah berlari kembali mendekati Batik, mengabaikan peringatan Uta. Batik baru saja menyalakan mesin sepeda motornya. Masih, wajahnya masih sedingin yang tadi. Lebih beku, malah tapi aku tak memperdulikan itu. Ada hal yang lebih penting yang harus kukatakan padanya.
"Batik, tunggu!" aku berseru sambil menghalangi jalannya, "Tunggu sebentar!"
Batik mendengus kesal. Mematikan mesin sepeda motor dan menyedekapkan kedua tangan. Tatapannya terlihat setajam sembilu dengan wajah semembara api dalam tungku.
"Minggu depan aku berangkat ke Belanda, Batik." takut-takut aku memulai pembicaraan, "Aku pamit, ya? Sekalian aku mau minta maaf, kalau selama ini banyak salah sama kamu."
Sumpah!
Sampai di sini, air mataku menggenang di kedua bola mata, nyaris tumpah. Jadi, demi mencegah terjadinya sesuatu yang bernama tangisan, aku tak mengucapkan apa-apa lagi. Hanya berusaha untuk memperhatikan bagaimana reaksi Batik dengan semua yang kuucapkan tadi. Nihil. Tak ada gejala atau pergerakan apa pun di tubuhnya, membuatku menggedikkan bahu, kecewa. Memutar tubuh yang sudah sedingin winter, berusaha melangkahkan kaki dengan normal ke arah Uta dan anak-anak pelanggan MMB. Oh sungguh, rasanya seperti terpental jatuh dari ketinggian. Menyesal sekali karena harus bertemu dengan Batik sore ini. Kenapa tidak menghilang untuk selama-lamanya sekalian, sih?
Ugh!
"Uta, sorry ya, yang tadi?"
"Oke Hill, nggak apa-apa kok."
"Aku jadi nggak enak nih Ta, sama kamu. Sekali lagi, maaf ya Ta?"
"Iya, nggak apa-apa beneran kok, Hill. Nggak usah dipikirin lagi. Aku bisa ngerti, kok. Lagian anak-anak juga pada tertib kok, baca bukunya. Jadinya nggak repot banget. Itung-itung latihan lah, Hill. Prepare sebelum kamu berangkat ke Belanda. Hehehehe …!"
"Wah, makasih banyak ya, Ta?"
Uta mengangguk kecil. Mengalihkan pandangan ke arah Batik yang mulai menjalankan sepeda motornya ke arah Malioboro dengan kecepatan super tinggi. Benar-benar tinggi, seolah ini bukan jalan raya melainkan tanah lapang yang sepi. Batik memang begitu kalau dalam keadaan emosi yang bergejolak. Jangankan sendiri, memboncengkan aku pun seperti itu, gayanya. Ah, mungkin dia pernah bercita-cita menjadi pembalap sebelum akhirnya kuliah. Mungkin lho, aku hanya menebak-nebak saja.
***
Haaa, what?
Untuk apa coba, Batik datang ke rumah malam-malam begini? Mama juga, kenapa tidak bertanya padaku dulu sih, tadi? Maksudku konfirmasi dulu lah, apakah aku bisa menemuinya atau tidak. Apa betul dia ada kepentingan denganku atau tidak. Hemmmhhh, kadang-kadang Mama memang sebaik itu, sungguh. Saking baiknya sampai tidak tahu kalau selama ini Batik sudah membully anak semata wayangnya ini hingga nyaris depresi.
"Ba---" aku baru mau menyapa ketika tiba-tiba Batik menyela dengan sikap gugupnya yang sangat kentara.
Tidak, dia tak mengucapkan secuil kecil kata pun, hanya mengangsurkan sebuah kotak karton berwarna merah mawar padaku. Ragu-ragu, aku mencari-cari pancaran sinar matanya. Entah bagaimana, aku merasa Batik sudah tidak marah lagi padaku. Padahal dia tidak tersenyum sama sekali, lho. Aneh, kan? Mungkinkah karena sudah terbiasa mendapatkan sikap yang seperti ini darinya? Mungkin.
"Apa ini, Batik?" aku bertanya dengan penuh keheranan tapi Batik tetap diam, seolah-olah tak mendengar pertanyaanku barusan.
"Ba---" aku bermaksud mengulangi pertanyaan, memperjelas apa yang menjadi maksud dan tujuan Batik ke sini malam-malam. Tapi lagi-lagi Batik memangkasnya tanpa perasaan.
"Buka saja!" titahnya sambil menghujamkan ketajaman sorot mata ke arahku. Tentu saja aku menunduk ketakutan, memandangi kotak karton merah mawar pemberiannya. Hanya memandang, tak memiliki sebutir keberanian pun untuk membukanya. Bukan apa-apa. Terus terang masih illfeel dengan sikap kasarnya tadi sore. Masa, dia sampai membentakku seperti itu, sih? Ya, kalau hanya berdua sih, tidak masalah. Lha ini, di pinggir jalan raya, lho. Banyak anak pelanggan MMB juga. Duh, malu sekali rasanya. Lebih malu dari saat di luar kendali menangis di mall tempo hari. Kalau itu kan, karena teringat Papa. Wajar, kan?
"Kamu nggak mau buka, Hill?"
"Emmmhhhh?"
"Mau, aku bukain?"
Tanpa menunggu jawaban dariku, Batik mengambil kotak kartonnya dari tanganku. Sempat kulihat, dia menggambar senyum tipis di wajah gantengnya. Senyum yang pertama kali kulihat di sana. Siapa sangka kalau sekitar tiga detik setelahnya, Batik akan mengeluarkan setangkai mawar sewarna kotak karton dari dalam jaketnya? Aku tidak sama sekali. Maksudku, selama ini aku berpikir kalau Batik tidak mungkin memiliki sisi romantis dalam dirinya. Mustahil kuadrat. Tapi ternyata, malam inilah buktinya.
"Wah, makasih banyak ya, Batik?" aku mencoba menetralisir situasi agar tak merambah status genting, "Kok, kamu tahu kalau aku suka mawar merah?"
Lagi, Batik menggambar senyum tipis. Menepuk-nepuk dada kirinya, entah apa maksudnya dan sekarang mulai membuka kotak karton yang di bagian atasnya direkatkan beberapa kancing tempurung kelapa dan kulit jagung dibentuk pita. Oh, bolehkah aku menjerit-jerit atas keromantisan yang tiba-tiba berubah menjadi harapan besar ini? Harapan supaya tidak terjadi hal-hal yang tak kuinginkan lagi. Misalnya, tiba-tiba Batik marah, megamuk atau pun meledak-ledak. Sungguh, itu sangat menyesakkan dada. Menyakitkan.
Dug jlep, plaaasss!
Rasanya oh rasanya, seluruh aliran darah dalam tubuhku berhenti mengalir. Apa, apa itu yang ada di dalam kotak karton merah mawar, sebuah cincin? Oh, ada apakah gerangan sehingga seorang Batik datang ke rumah dengan membawa setangkai mawar segar dan cincin?
"Batik?" gemetar, aku melontarkan sebuah pertanyaan yang menggantung, "It itu, ka kamu?""Hei Hill, sejak kapan kamu memanggilku dengan nama Batik?" teguran Batik hampir saja merontokkan jantungku dari tempatnya, "Kalau boleh jujur, aku lebih suka kamu panggil dengan B yang biasa. Rasanya lebih manis, lembut dan menentramkan. Bikin adem lah, Hill. Masa kamu nggak tahu?"Aku benar-benar tercengang oleh karena kejujuran Batik itu. Terncengang, terkejut dan tak percaya sehingga ingin menjerit histeris lalu mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Ugh, sorry jika aku terseret perasaan. Kata-kata Batik terlalu halu buatku, sungguh.Maksudnya? Kenapa baru sekarang dia mengatakannya? Setelah aku memutuskan untuk tidak lagi berdekatan dengannya. Lagi pula, untuk apa mempertahankan sebuah hu
"Minum, Hill?" Mama mendekatkan mug bunga-bunga Pink shaby itu padaku, "Minum teh hangat, biar tenang. Ya?"Tanpa berkata-kata aku meraih gagang mug, menyeruput teh manis hangat buatan Mama. Benar saja, aku merasa lebih baik setelah menghabiskan hampir setengah mug. Sedari kecil dulu, aku paling suka teh manis buatan Mama. Pas komposisinya sehingga warna, rasa dan hangatnya membuat ketagihan. Hehe. Bikin nagih, Guys.Sebenarnya di rumah ini, teh manis buatan Papa yang paling enak. Bukan hanya pas komposisinya tapi Papa juga menambahkan kayu manis dan perasaan lemon, sehingga rasanya lebih wow. Bikin nagih full lah, pokoknya.Kenapa kami tidak membuat teh ala Papa saja, biar lebih wow? Alasan kami sangat sederhana, tak mau menambahkan air mata dalam teh.
Malam terakhir di Yogyakarta. Oleh karenanya Mama mengundang Uta dan Tante Ruby makan malam di rumah. Alakadarnya sih, untuk melepaskan keberangkatanku ke Netherlands besok pagi. Lebih tepatnya, sama-sama berdoa untuk keselamatan kami."Lho, kok jadi repot, Mbak Ruby?" protes Mama berbasa-basi ketika mereka datang dengan membawa beberapa kotak kue basah dan pudding untuk dessert, "Duh, aku jadi nggak enak ini, Mbak?""Nggak repot kok, Dek Rumi. Uta tadi yang punya ide. Hehehehe …!" kata Tante Ruby membuatku mendelik sayang ke arah Uta. Gemas, sih. Segitunya dia memberikan perhatian terhadapku."Oh, ya … Makasih banyak ya Mbak Ruby, Uta?" ungkap Mama sambil memberikan isyarat supaya mereka duduk di sofa usang di ruang tamu kami. Eh! Biar pun usang ta
Jakarta. Soekarno Hatta International Airport. Aku membeku di antara Tante Ariane dan Aldert, Guys. Aldert bukan hanya usil tetapi jahat. Sungguh. Berani-beraninya dia bersikap seolah-olah dia itu pacarku atau sejenisnya. Malah, sempat memanggilku dengan Sayang. Itu karena ada beberapa orang di seberang tempat duduk kami memperhatikan sikap dramatisnya. Ugh, bayangkanlah! Di tempat umum seperti ini, bisa-bisanya dia mengambil tema obrolan yang cukup personal menurutku.Kalau kalian bertanya bagaimana rasanya berlibur, aku tahu harus berkata apa. Beku. Tapi sejauh ini masih terus berharap semoga ini hanya sementara saja. Nanti, lama-lama kebekuan itu akan meleleh, mencair dan berganti dengan kehangatan.Ugh, ugh!"Ya kan Sayang, nanti kita arrange 3 Months Holiday
Kami masih di Soekarno Hatta International Airport dan aku nyaris membatu gunung oleh sikap berlebihan Tante Ariane dan anak laki-lakinya. Siapa lagi kalau bukan Aldert yang tingkah lakunya masih seperti anak ingusan itu? Ugh! Ya Tuhan … Mustahil kan, aku tersesat di toilet? Walaupun mungkin lebih lemah dari selembar tisu kering tapi percayalah, aku tidak buta huruf. Oh, jelas mereka sudah melupakan sebuah fakta kalau ini bandara internasional dan banyak terpasang plakat, papan pemberitahuan atau apa pun itu namanya. Iya, kan?So Guys, demi mencegah terjadinya ledakan emosi dalam diri sendiri terutama, aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet wanita. Dengan setengah berlari, tentu saja karena Tante Ariane sudah terdengar seperti sesuatu yang melolong-lolong. Seolah-olah aku sudah musnah tersedot ke dalam water closed
"Welcome home, Hill!" Aldert berseru riang sambil merentangkan kedua tangan, menggambar senyum lebar hingga semua barisan giginya yang putih dan rapi terlihat sempurna. "Welcome to our 3 Months Holiday!"Terus terang aku mabuk pesawat, jadi tak begitu senang ketika pada kenyataannya benar-benar sudah sampai di Den Haag, Netherlands. Walaupun selama di perjalanan yang kurang lebih mencapai dua puluh jam, sangat menginginkan hal ini segera terjadi. Terwujud nyata. Sungguh, aku merasa seluruh tubuh sudah terpisah-pisah seperti kepingan puzzle. Oh Guys, hanya bisa berharap semoga kisah ini tidak menimbulkan trauma dalam hidupku. Semoga Mama juga baik-baik saja di sana."Hill, kenalkan ini papa Aldert … Om Frank." cakap Tante Ariane dengan tingkat kelembu
"Oh Hill?" Tante Ariane membelalak, bahunya terangkat dengan sempurna menyatukan dagu dengan lehernya, "Kita belum mandi. Oh, menurut Hill lebih baik mandi atau sarapan dulu? Ah Hill … Maafkan Tante sudah melupakan hal yang sepenting itu?"Sampai di sini mata Tanta Ariane masih membelalak tapi bahunya sudah turun dan terlihat normal kembali. Senyum geregetannya terlihat lucu, membuatku tertawa lirih. Sumpah demi apa, Tante Ariane justru ikut tertawa sampai cekikikan."Ah sudahlah, Hill. Mandilah segera biar segar. Baru setelah itu sarapan dan istirahat." Tante Ariane berujar bijak setelah tawanya terhenti dan meninggal semburat merah di kulit wajahnya, "Nanti Tante bantu membongkar kopermu, ya?"Ha, what?
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.