Guys, ternyata Mama juga tidak tahu kalau ada Aldert di kalender liburan Tante Ariane bulan depan. Aku sudah menanyakan berulang kali dan hasilnya nol besar. Sampai-sampai Mama menyatakan kalau berani melakukan sumpah pocong untuk mengutuhkan kepercayaanku. Ya, aku sih tidak tahu, apa itu sumpah pocong? Menakutkan sekali kedengarannya. Menyeramkan. Jadi, dari pada nanti aku terkencing-kencing di celana hanya untuk tahu apakah Mama berbohong atau tidak, lebih baik mundur. Ya Tuhan, aku kan bukan BALITA lagi?
"Hemmmhhh ya udah deh Ma, kalau Mama nggak tahu?" kataku dengan nada pasrah, "Hanya kaget saja sih, tahu-tahu Tante Ariane ngenalin Aldert sama aku. Itu pun pas sudah di kantor Kedutaan Belanda. Gila nggak sih, Ma? Mana di depan banyak orang lagi. Ugh! Rasanya seperti aktris yang lagi syuting gitu terus dilihatin banyak orang. Hiks, hiks."
"Ya bagus dong, Hill?" sahut Mama menaikkan level kedongkolanku, "Itu artinya Tante Ariane menghargai kamu. Lagian, kenalan doang kan, Hill? Itu kan hal yang biasa Hill, namanya juga belum pernah ketemu. Kamu ini ada-ada saja. Dikit-dikit jengkel, kecewa. Lagian, Aldert kan bukan hantu atau ba---"
Aku langsung memekik nyaris menjerit waktu sadar kalau Mama mau mengucapkan kata badut. Mungkin bagi kalian ini lucu Guys tapi sumpah aku memiliki clown phobia. Sejak kapan? Sejak mamaku yang super duper santai dan easy going itu meminta badut kelinci di Malioboro untuk menggendongku. Dulu, waktu aku masih belum sekolah TK dan diajak jalan-jalan ke sana, menghabiskan weekend mumpung Papa libur kerja. Wah, rasanya seperti digendong sesuatu yang sangat mengerikan. Berbulu tebal dan hiii … Benar-benar takut. Sampai-sampai aku---untuk pertama kalinya---mengompol di celana setelah toilet training yang sukses, tentu saja. Nah, sejak saat itu aku paling takut dengan yang namanya badut.
"Iiihhh, Mama!"
"Eh Hill … Kamu kenapa, kamu nggak apa-apa, kan?"
"Ya, Mama jangan nakut-nakutin aku gitu, dong?"
"Sorry Hill, Mama keceplosan tadi?"
"Iiihhh, udah tahu anaknya fobia malah pakai acara keceplosan segala sih, Ma?"
Tahukah kalian bagaimana reaksi Mama?
Menggedikkan bahu, seolah-olah tidak pernah membuat jantungku konslet.
Bytheway Guys, andai aku bisa berpikir sesederhana Mama? Pasti tidak akan runyam. Iya, kan? Tidak akan ada jerawat yang dengan nakalnya menumbuhi pucuk hidungku pagi ini. Ih, menyebalkan! Di antara dahi, pipi dan dagu, kenapa dia memilih untuk tumbuh di pucuk hidung, coba? Kecil memang tapi cukup menyakitkan. Membuat risih dan malu juga. Eh, benar tidak sih, jerawat tumbuh karena aku terlalu stres memikirkan soal Aldert? Entahlah!
"Iya deh, Ma!" pungkasku akhirnya, setelah menimbang-nimbang sejenak, pasca tragedi badut tadi. Tidak ada gunanya juga mendesak Mama untuk mengakui yang sebenarnya. Lebih tidak berguna lagi kalau Mama sampai membawa-bawa si Pocong dan kawan-kawannya. Eh, apa itu tadi, sumpah pocong? Ckckckck, ada-ada saja Mama!
"Nah, gitu dong Hill." ucap Mama senang, "Lebih dewasa lagi dong, kamu kan sudah hampir dua puluh dua tahun? Masa kayak kecil gitu?"
Atas nasihat Mama yang bagiku terlalu berat itu, aku hanya bisa mengangguk kecil, menggambar senyum tegar. Jujur ya jujur … Adert ikut atau tidak ke Eropa itu tak jadi soal bagiku. Itu kan, hak Tante Ariane? Lagi pula Aldert kan, anaknya? Tapi kalau misalnya tahu dari awal kan, aku bisa lebih siap. Guys, jangan ditertawakan, ya? Aku paling sulit berhubungan dengan laki-laki. Hanya Batik dan itu pun sekarang sudah the end.
***
Aneh sekali rasanya ketika tiba-tiba Aldert datang ke rumah dengan alasan mengantarkan kue atas titah mamanya. Wow, amazing sekali tidak sih, Guys? Anak laki-laki mau bersusah payah mengantarkan kue ke rumah sahabat mamanya. Keren, keren.
"Hai, Hill!" sapa Aldert ramah, hangat dengan senyum manis plus plus plus, "Tante Rumi ada? Ini aku mau nganterin kue dari Mama buat Tante Rumi."
Aku sedikit kikuk waktu mata elang Aldert menembus bola mataku hingga ke dasar. "Oh, ada kok. Masuk saja!"
Karena Aldert bergeming di tempatnya berdiri, di teras rumah, aku setengah berteriak memberi tahu Mama, "Mama, ada Aldert, nih!"
Tanpa basa-basi lagi dari pada mati kaku menahan perasaan jengkel di depan Aldert, aku berjalan masuk ke dalam rumah. Mencari Mama, apa lagi?
"Apa sih Hill, pakai teriak-teriak segala?" protes Mama dengan memasang wajah galak, "Malu tahu, kamu tuh bukan anak SMP lagi, Hill."
Mendapatkan protes seperti itu, hampir saja aku mengeluarkan gerutuan yang panjangnya lebih dari sungai Nil tapi Mama to the point soal kedatangan Aldert. Ya, bagiku itu keuntungan, sih. Sikap Mama yang to the point itu, maksudku. Jadi, aku bisa siap-siap pergi ke rumah Uta untuk visi dan misi MMB alias muter. Itu lho, menjalankan perpustakaan keliling kami. Mumpung belum berangkat ke Netherlands Guys, biar besok di sana tidak mudah rapuh karena menahan gejolak rindu. Hiks.
"Ya udah, mana Aldertnya?"
"Itu, nungguin Mama di teras."
"Haaa, di teras? Ya ampun Hill, kamu nggak suruh di masuk?"
Aku menggelengkan kepala dan jangan tanyakan lagi apa yang terjadi. Hampir saja Mama melakukan kekerasan terhadap kepalaku. Hehe. Hehe. Asyik juga ah, mamaku itu kalau sedang jengkel. Bisa-bisanya berubah menjadi sarkasmer. Eh, apa itu, orang yang suka bersikap kasar?
Entah bagaimana tiba-tiba aku teringat Batik, Guys. Di mana ya dia sekarang? Maksudku, masih di kost atau sudah pulang ke Pekalongan? Kalau aku tidak salah ingat sih, dia mau langsung pulang ke sana setelah lulus ini. Maksimal sampai masa kost habis. Dia mau mencari pekerjaan di Pekalongan, mengabdikan diri untuk masyarakat kampungnya. Katanya sih, dulu dia sering mengatakan itu padaku.
"B … Kenapa sih, kamu langsung ngilang gitu aja?" gumamku bertanya pada bayang-bayang Batik yang berkelebat-kelebat jelas dalam benak, "Nggak asyik tahu, menyedihkan. Kamu kan, bisa bilang apa gitu sama aku? Ngasih tahu apa gitu. Protes kek, marah-marah, kek. Bukannya ngilang kayak gini. Nyesek banget tahu nggak? Lagian aku kan cuma liburan B, bukannya pindah ke Netherlands. Ya, masa kamu langsung marah nggak jelas gitu, sih? B, B … Nggak ngerti deh sama jalan pikiran kamu!"
"Cieeehhh, berbisik-bisik sama siapa tuh?" tegur Mama dengan nama bercanda tapi menaburkan luka, "Jangan kebiasaan ngomong sendiri Hill, nanti kesambet, lho. Nanti kalau sampai kamu kesambet, gimana? Mama kan nggak bisa nolongin kamu, Hill?"
Tentu saja aku mengerucutkan bibir, menahan jengkel sekaligus berharap mendapat kemanjaan dari Mama tapi gagal total. Bukannya memperdulikan bagaimana mimik wajahku Mama malah menjatuhkan mercon di atas kepalaku sampai otakku melepuh. Tahukah kalian apa yang dikatakan Mama, Guys?
"Idih, gitu saja ngambek? Sudah Hill, nggak usah ngambek-ngambekan, deh. Mendingan kamu siap-siap karena sebentar lagi, Aldert mau ngajakin kamu jalan-jalan ke toko buku. Siapa tahu kan, kamu butuh beberapa buku buat kamu sumbangin ke MMB? Mama sih setuju Hill, biar jadi kenangan manis buat persahabatan kamu sama Uta."
What, menyumbangkan buku untuk MMB dari hasil traktiran Aldert? Oh, lebih baik tidak sama sekali. Untuk saat ini, maksudku. Aku bisa menyumbang banyak buku lain waktu dari hasil keringatku sendiri. One day, setelah aku mendapatkan pekerjaan eksklusif sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar, tentu saja."Hill, kok masih bengong saja, sih?" Mama menegur dengan cara mencolek pipiku, "Itu Aldert nungguin kamu, lho. Sudah sana, ganti baju. Sisiran yang rapi, Hill."Oh Guys, tahukah kalian apa yang terjadi padaku? Bergeming. Mematung kayu. Sejujur-jujurnya kukatakan, tidak mengerti dengan maksud hati Mama. Mengapa jadi begini? Tidakkah Mama tahu, ini mulai merambah ke istilah keterlaluan. Mama sadar tidak sih, sudah melakukan pemaksaan besar-besaran? Ya, walaupun akhirnya anak semata wayangnya ini rela hati tapi intinya karena merasa
Serta merta Uta mendekati kami, meninggalkan anak-anak yang terlihat asyik memilih-milih buku. Mimik wajahnya terlihat mengandung bara amarah, menakutkan. Aku sendiri masih berada dalam cengkeraman rasa terkejut yang begitu besar sehingga hanya bisa ternganga dalam arti yang sesungguhnya. Oh, aku yakin pasti sekarang ini sudah seperti anak kucing yang tersesat dan kehausan. Berharap akan segera menemukan genangan air di pinggir jalan untuk bisa melepaskan dahaga."Sorry … Hill, sudah ditunggu sama anak-anak, tuh?" kata Uta dengan suara menyerupai desisan, "Banyak yang mau meminjam buku."Sekarang Uta melirik tajam ke arah Batik. "Sorry ya Batik, tolong jangan ganggu kami!"Batik membuang muka ke arah lain, tentu saja tanpa secuil kecil kata pun terge
"Batik?" gemetar, aku melontarkan sebuah pertanyaan yang menggantung, "It itu, ka kamu?""Hei Hill, sejak kapan kamu memanggilku dengan nama Batik?" teguran Batik hampir saja merontokkan jantungku dari tempatnya, "Kalau boleh jujur, aku lebih suka kamu panggil dengan B yang biasa. Rasanya lebih manis, lembut dan menentramkan. Bikin adem lah, Hill. Masa kamu nggak tahu?"Aku benar-benar tercengang oleh karena kejujuran Batik itu. Terncengang, terkejut dan tak percaya sehingga ingin menjerit histeris lalu mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Ugh, sorry jika aku terseret perasaan. Kata-kata Batik terlalu halu buatku, sungguh.Maksudnya? Kenapa baru sekarang dia mengatakannya? Setelah aku memutuskan untuk tidak lagi berdekatan dengannya. Lagi pula, untuk apa mempertahankan sebuah hu
"Minum, Hill?" Mama mendekatkan mug bunga-bunga Pink shaby itu padaku, "Minum teh hangat, biar tenang. Ya?"Tanpa berkata-kata aku meraih gagang mug, menyeruput teh manis hangat buatan Mama. Benar saja, aku merasa lebih baik setelah menghabiskan hampir setengah mug. Sedari kecil dulu, aku paling suka teh manis buatan Mama. Pas komposisinya sehingga warna, rasa dan hangatnya membuat ketagihan. Hehe. Bikin nagih, Guys.Sebenarnya di rumah ini, teh manis buatan Papa yang paling enak. Bukan hanya pas komposisinya tapi Papa juga menambahkan kayu manis dan perasaan lemon, sehingga rasanya lebih wow. Bikin nagih full lah, pokoknya.Kenapa kami tidak membuat teh ala Papa saja, biar lebih wow? Alasan kami sangat sederhana, tak mau menambahkan air mata dalam teh.
Malam terakhir di Yogyakarta. Oleh karenanya Mama mengundang Uta dan Tante Ruby makan malam di rumah. Alakadarnya sih, untuk melepaskan keberangkatanku ke Netherlands besok pagi. Lebih tepatnya, sama-sama berdoa untuk keselamatan kami."Lho, kok jadi repot, Mbak Ruby?" protes Mama berbasa-basi ketika mereka datang dengan membawa beberapa kotak kue basah dan pudding untuk dessert, "Duh, aku jadi nggak enak ini, Mbak?""Nggak repot kok, Dek Rumi. Uta tadi yang punya ide. Hehehehe …!" kata Tante Ruby membuatku mendelik sayang ke arah Uta. Gemas, sih. Segitunya dia memberikan perhatian terhadapku."Oh, ya … Makasih banyak ya Mbak Ruby, Uta?" ungkap Mama sambil memberikan isyarat supaya mereka duduk di sofa usang di ruang tamu kami. Eh! Biar pun usang ta
Jakarta. Soekarno Hatta International Airport. Aku membeku di antara Tante Ariane dan Aldert, Guys. Aldert bukan hanya usil tetapi jahat. Sungguh. Berani-beraninya dia bersikap seolah-olah dia itu pacarku atau sejenisnya. Malah, sempat memanggilku dengan Sayang. Itu karena ada beberapa orang di seberang tempat duduk kami memperhatikan sikap dramatisnya. Ugh, bayangkanlah! Di tempat umum seperti ini, bisa-bisanya dia mengambil tema obrolan yang cukup personal menurutku.Kalau kalian bertanya bagaimana rasanya berlibur, aku tahu harus berkata apa. Beku. Tapi sejauh ini masih terus berharap semoga ini hanya sementara saja. Nanti, lama-lama kebekuan itu akan meleleh, mencair dan berganti dengan kehangatan.Ugh, ugh!"Ya kan Sayang, nanti kita arrange 3 Months Holiday
Kami masih di Soekarno Hatta International Airport dan aku nyaris membatu gunung oleh sikap berlebihan Tante Ariane dan anak laki-lakinya. Siapa lagi kalau bukan Aldert yang tingkah lakunya masih seperti anak ingusan itu? Ugh! Ya Tuhan … Mustahil kan, aku tersesat di toilet? Walaupun mungkin lebih lemah dari selembar tisu kering tapi percayalah, aku tidak buta huruf. Oh, jelas mereka sudah melupakan sebuah fakta kalau ini bandara internasional dan banyak terpasang plakat, papan pemberitahuan atau apa pun itu namanya. Iya, kan?So Guys, demi mencegah terjadinya ledakan emosi dalam diri sendiri terutama, aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet wanita. Dengan setengah berlari, tentu saja karena Tante Ariane sudah terdengar seperti sesuatu yang melolong-lolong. Seolah-olah aku sudah musnah tersedot ke dalam water closed
"Welcome home, Hill!" Aldert berseru riang sambil merentangkan kedua tangan, menggambar senyum lebar hingga semua barisan giginya yang putih dan rapi terlihat sempurna. "Welcome to our 3 Months Holiday!"Terus terang aku mabuk pesawat, jadi tak begitu senang ketika pada kenyataannya benar-benar sudah sampai di Den Haag, Netherlands. Walaupun selama di perjalanan yang kurang lebih mencapai dua puluh jam, sangat menginginkan hal ini segera terjadi. Terwujud nyata. Sungguh, aku merasa seluruh tubuh sudah terpisah-pisah seperti kepingan puzzle. Oh Guys, hanya bisa berharap semoga kisah ini tidak menimbulkan trauma dalam hidupku. Semoga Mama juga baik-baik saja di sana."Hill, kenalkan ini papa Aldert … Om Frank." cakap Tante Ariane dengan tingkat kelembu
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.