"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"
Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar.
"Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.
Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan.
"Paul."
"Hem?"
"Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?"
"Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.
Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu.
"Tanggung jawab."
"Menurutmu?"
"Entahlah, aku ragu."
"Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"
Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
"Apa kau hanya menilai orang dari penampilan semata?"
"Bukan seperti itu."
"Hari bersalju. Kupikir kau lebih cocok mengenakan hoodie dari pada pakaian terbuka seperti itu."
Mulai posesif. Bahkan mulai hari ini Paul tak setuju jika keindahan tubuh itu dapat dengan leluasa dilihat para mata jalang di luaran sana.
"Kau tenang saja, besok ketika aku pergi ke sekolah pasti akan mengenakan jaket bulu srigala pemberianmu."
Paul tersenyum geli. Ia ingat betul ketika membeli pakaian itu di Westminster. Mengingat jika Asley sangat menyukai kucing berbulu lebat, ia terpikir untuk membeli pakaian itu sebagai hadiah ulang tahun ke tujuh belas gadis itu.
Asley sampai menangis semalaman tak tega dengan kucing yang ia kira sengaja dikuliti demi membuat sebuah jaket.
"Kau tega, Paul. Kucing itu pasti tersiksa. Kenapa prilakumu tak jauh seperti psicopat?" Asley terisak sambil memeluk jaket itu.
"Aku sengaja melakukannya, anggap saja hadiah seventeen untukmu. Kenapa kau selalu cengeng seperti ini?"
"Tapi tak harus seperti ini? Aku minta hadiahkan kucing britania darimu. Kenapa kau malah mengulitinya?"
"Kucing hanya bisa kau peluk ketika di rumah, tapi jika bulunya kujadikan jaket, kau kan bisa memakainya hingga ke luar ketika musim salju."
"Iya, tapi kau tega!"
Paul tertawa melihat tingkah Asley yang melemparinya dengan tumpukan bantal hingga berhambur setiap bulu angsa yang berada di dalamnya.
"Haha, itu bulu srigala."
"Bohong ...."
"Kau bisa baca sendiri tulisan di dalam jaketnya jika tak percaya."
THE WOLF
Baru Asley dapat diam dan menyeka setiap air matanya.
Paul mengeluarkan seekor kucing berbulu kelabu tebal dari sebuah sangkar besi ke hadapan Asley. Gadis itu kembali terisak sambil memeluk si kucing.
"Apa yang kau tertawakan?"
Pertanyaan Asley sukses mengembalikan Paul dari ingatan masa lalu itu.
"Kau sendiri ingat sejarah jaket itu?"
Asley tersenyum.
"Bahkan baru besok kau mau mengenakannya. Setelah hampir satu tahun berlalu."
"Kalau begitu, hadiah apa yang akan kau berikan di usiaku yang kedelapan belas nanti?"
"Kau mau apa?"
"Hemmm ... sesuatu yang berarti dan mengesankan."
"Ah, aku sudah memberikan itu padamu."
"Apa?"
"Perasaanku. Gadis-gadis tolol itu akan segera tersingkir karenamu."
"Paul."
"Hem?"
"Jika Om dan Tante tahu, apa yang akan kau lakukan?"
Mata itu menatap dengan lekat. Paul mencari kenyamanan akan jawaban yang harus ia lontarkan.
"Meski mereka membunuhku, aku akan tetap mempertahankanmu."
"Kau gila. Kau pikir aku akan terima dengan itu?"
"Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan jika kedua orang tuamu mengetahui hal ini?"
Benar juga. Apa yang akan Asley lakukan jika kedua orang tuanya tahu?
Ia cukup mengalihkan perhatian dengan merebut bir yang ada di tangan Paul.
"Hey, sejak kapan kau minum cairan bersoda?"
"Sejak sekarang. Sejak kau membawaku ke duanimu."
"Haha, kau bercanda, Nona. Duniaku lebih gelap dari ini."
"Dan kau membawaku ke dalamnya."
Asley meringis merasakan tenggorokannya seperti di tusuk-tusuk sementara.
"Kau pikir aku segila itu?" Paul kembali merebutnya.
"Besok kuantarkan kau ke sekolah."
"Tak perlu."
"Kenapa?"
"Aku tak mau ada banyak pertanyaan dari para gadis itu tentang kedekatanku denganmu. Mereka akan menghabiskan waktu hanya sekedar berfoto denganmu."
"Kau cemburu?"
"Tidak!"
"Katakan kau cemburu. Itu lebih baik."
"Aku tidak cemburu. Kau sudah biasa seperti itu, tapi tidak di depanku."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau."
Pintu kamar itu terbuka ketika Paul dan Asley nyaris berciuman.
Ariana menguap dengan rambut kusut ia menuju dispenser untuk mereguk segelas air.
"Paul, biarkan Asley tidur lebih cepat, besok dia akan ada ujian."
"Sebentar saja, Mom. Aku hanya meminta dia memijitku sebentar."
"Paul, sejak tadi kau terus mengganggunya. Besok dia ada ujian."
"Aku ke kamar, Tante."
"Bagus. Selamat tidur, sayang," serunya ketika Asley sudah berlari kecil menuju anak tangga.
"Matikan TV sebelum kau masuk ke kamarmu."
"Baiklah, Momiku yang cantik."
Ariana tersenyum, ia kembali ke kamarnya.
Paul tersenyum, melihat kembali foto-foto wajah Asley tersenyum tanpa busana. Gadis itu benar-benar bodoh, kenapa ia mau untuk diambil gambar dalam keadaan polos?
[Tunggu aku di kamarmu]
Pesan itu dengan kurang ajar meluncur memasuki layar ponsel Asley.
[Oh ... jangan lagi, aku lelah ]
[Haha, baiklah. Good night, honey. Have a nice dream.]
[Thank's Paul.]
[Hanya itu?]
[Hheeemmm ....]
[Tak bisakah kau lebih romantis?]
[Night to ....]
[Mimpikan aku dalam tidurmu]
"Sialan!" desah Asley mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu.
Wajah Paul memang kerap wara-wiri di televisi dan selalu menjadi trending topik dalam dunia entertainment.
Beberapa berita di browsing internet itu kerap memampang wajahnya dengan berbagai gosip tentang kedekatan dengan wanita ini dan itu.
Asley melempar ponselnya ke atas kasur, menutup seluruh wajah dengan selimut tebal bermotif polkadot.
Sial!
Bayangan itu tak juga lenyap. Malah kini dirinya terjebak pada hasratnya sendiri.
Seseorang mengetuk pintu kaca jendela mengagetkannya.
Siapa malam-malam dingin begini berani gila memanjat tembok dalam keadaan bersalju?
Siluet itu memaksa Asley untuk meraih sebuah pembersih berbahan bulu ayam sebagai senjatanya.
"Asley."
Hah, suara itu sangat ia kenal. Dasar kurang ajar, masih tidak cukup mengerjainya di ruang studio tadi.
"Asley, aku kedinginan."
"Kau gila!" pekiknya, "bagaimana jika Om dan Tante tahu?"
"Mereka sudah tidur."
Buru-buru Asley mengajak Paul untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Apa yang kau lakukan di luar sana? Dalam keadaan bersalju."
Mengusap titik-titik putih di wajah Paul.
"Bagaimana jika kau sakit?" Menggosok-gosok tangan itu.
"Kau mengkhawatirkanku?"
"Bahkan melihatmu mabuk berat setiap kali kau pulang dari club itu cukup membuat aku sakit."
"Kau mencintaiku?"
Hal itu sontak membuat Asley menatapnya. Wajah sendu Paul, kenapa ia seperti itu?
"Bahkan selama ini kau yang selalu peduli padaku."
"Apa yang kau katakan? Kedua orang tuamu menyayangimu."
"Aku tahu, tapi mereka tak pernah ada ketika aku sakit. Bahkan kau tak jauh seperti pembantu di rumah ini. Aku tahu mereka yang membiayai sekolahmu, tapi ...."
"Sudahlah, aku tak keberatan akan hal itu."
"Asley ...."
"Hem?"
"Kau begitu hebat."
Asley tertawa. "Apa yang kau katakan? Berhenti menggodaku!" Memukul lengan Paul menyadari raut muka itu sudah berubah menahan tawa geli.
"Hahaha ... aku selalu sukses menjahilimu."
"Tidak untuk saat ini."
TOK TOK TOK!
***NEXT ...."Asley, kau belum tidur?"Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi."Tante?" Asley berpura-pura menguap."Kau belum tidur?""Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu.""Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?""Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana."Momi memanggilku?"Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya."Kau? Kemana
"Kalian tidak pacaran kan?"Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga."Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini.""Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul.""
Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
"Kalian tidak pacaran kan?"Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga."Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini.""Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul.""
"Asley, kau belum tidur?"Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi."Tante?" Asley berpura-pura menguap."Kau belum tidur?""Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu.""Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?""Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana."Momi memanggilku?"Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya."Kau? Kemana
"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar."Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan."Paul.""Hem?""Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?""Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu."Tanggung jawab.""Menurutmu?""Entahlah, aku ragu.""Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di