"Asley, kau belum tidur?"
Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.
Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi.
"Tante?" Asley berpura-pura menguap.
"Kau belum tidur?"
"Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu."
"Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?"
"Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana.
"Momi memanggilku?"
Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya.
"Kau? Kemana tadi ketika Momi ke kamarmu?"
"Aku di toilet."
"Oh ...." Sesaat Ariana berpikir. Mungkin anaknya tidak berbohong. "Yasudah, kau jangan pergi ke club malam lagi. Momi akan sangat stres jika kau melakukan hal itu lagi."
Paul hanya meresponnya dengan mengangkat bahu.
"Maaf jika Tante mangganggumu, Asley. Tidurlah kembali."
"Baiklah."
Mungkin pikiran Ariana hanya ketakutan berlebih semata. Bagaimana mungkin ia mencurigai jika putranya berada di kamar gadis itu? Tak mungkin juga Paul jatuh hati pada Asley, begitu pun sebaliknya. Itulah yang berada dalam pikirannya saat ini.
Asley memang kerap tak dapat tidur jika televisi tidak menyala di hadapannya.
Mungkin hal itu juga yang membuat Ariana yakin jika memang suara itu berasal dari televisi.
Senyum menyebalkan itu terukir jelas di wajah Paul yang pergi meninggalkannya. Asley menghela nafas, hampir saja ia tertangkap basah
Ini kali pertamanya Asley berbohong pada Ariana. Semua ini terjadi karena hal bodoh bernama hasrat.
Sialnya, kini ia tengah dalam keadaan menstruasi hingga tak dapat meminta hal ternikmat dari Paul yang tentu pemuda itu tak akan menolak keinginannya.
..."Sayang, Om dan Tante tidak bisa mengantarkanmu ke sekolah pagi ini karena ada pertemuan penting di kantor," ujar Ariana.
"Tidak apa, Tante. Aku bisa naik bis sekolah."
"Biar aku yang mengantarkannya," ujar Paul.
"Waw, ada angin apa ini?" Tidak biasanya kau seperti itu," ujar Delbert melahap sarapan paginya.
"Jangan anggap gratis, dia harus memasakanku steak untuk makan siang nanti." Paul mengundang gelak tawa di ruangan itu.
"Kau tak henti-hentinya menggoda saudaramu. Nanti dia tak betah lagi tinggal si sini. Kau sabar ya menghadapinya," ujar Ariana membelai punggung tangan Asley.
"Tidak apa, Tante. Oh ya, aku kehabisan ...."
"Biar aku yang belikan."
Potongan ucapan ini sontak membuat ketiga orang di ruangan itu menoleh ke arah Paul.
Ariana tahu sendiri benda apa yang dibutuhkan Asley setiap bulannya. Tak mungkin ia akan berani untuk membelinya di super market. Itu akan menjadi trending topik di media berita jika Paul membelikan sebuah pembalut wanita di pusat perbelanjaan. Haha, lucu sekali!
"Apa?" Paul bertanya heran, "kenapa kalian semua menatapku seperti itu?"
"Kau yakin mau membelikannya?" tanya Ariana.
"Kenapa memang? Alat tulis kan?"
Ariana menepuk jidatnya. "Bukan, dia butuh pembalut wanita."
"Owh ... sial. Aku kira alat tulis. Jika benda seperti itu, aku angkat tangan."
...
Sebuah mobil merah berlambang kuda meluncur memasuki area parkir menyisakan area hitam aspal menyibak salju yang masih turun dengan tipis.
"Apa hari ini ada ujian?"
"Hanya ulangan bulanan. Masih sekitar beberapa bulan untuk ujian akhir."
Asley menutup kepalanya dengan kupluk dari jaket itu sebelum akhirnya ia turut.
"Jangan mengikutiku!"
"Kenapa?"
"Mereka akan heboh melihatmu."
"Apa masalahnya? Aku hanya memastikan kau tidak kegenitan dengan teman-teman priamu."
"Kau gila!"
"Haha, sudahlah. Cepat kau masuk. Aku pun hari ini ada acara konser. Kau tak apa aku tinggal?"
"Biasanya seperti itu kan?"
"Sudahlah, aku akan mengajakmu menikmati tahun baru di bawah Big Bang tahun ini."
"Kau tak ada konser?"
"Sudah aku cancel schedulle di tanggal itu."
"Tapi kau bintangnya mereka."
"Dan kau bintangku."
"Paul, kau akan mengecewakan penggemarmu."
"Baiklah, aku akan konser dengan syarat kau ikut denganku."
Tak ingin berdebat hal yang tak pasti. Asley lebih memilih untuk segera pergi sebelum akhirnya gerbang sekolah ditutup karena ia kesiangan.
Paul tersenyum, melihat tubuh berbalut jaket bulu itu kian menjauh dari pandangannya.
Beberapa gadis menggedor pintu mobil pada saat menyadari adanya sang bintang di sana.
Beruntung sudah mau akhir musim salju, hingga jalanan tak terlalu licin untuk dilewati.
Beberapa gadis sudah bertengger menungguinya untuk sekedsr minta foto dan tanda tangan.
Jika dipikirkan, apa gunanya tanda tangan jika tidak dapat diuangkan? Namun mungkin hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka yang rela berdesakan sambil membawa note masing-masing. Sebagian ada yang membawa album CD melodi milik Paul.
Dia bukanlah penyanyi, sekedar musisi yang kini tengah naik dauh karena ketampanan dan pesonanya pada saat ia menggelar konser.
Paul tak jarang bermain gitar bersama para penyanyi internasional pada saat acara tertentu termasuk acara besar seperti perayaan tahun baru.
Malam ini ia ada acara kolaborasi dengan Band Oasis di pusat kota London.
Bahkan ia tak jarang berkalobari juga dengan band terkenal Inggris lainnya.
Sesaat ia tersenyum melihat wajah cantik Asley tersenyum pada benda pipih itu. Mereka memang gila, bahkan wallpaper Paul lebih gila dari yang diduga.
PAUULLL ... PAAAUULL ....
Teriakan histeris itu tak sedikit pun mengganggunya. Ia sudah siap dengan karakter sekedar mengenakan jeans tanpa baju. Sebuah topi hitam terbalik bertengger di kepalanya.
Sudah saatnya. Paul menitipkan ponselnya pada seorang asisten yang selalu sigap melayaninya.
"Ini ...."
Asisten itu terkesiap ketika sorot mata tajam menatapnya.
Tayangan televisi tak terlewatkan dari penantian Asley. Ia tersenyum, turut bersorak pada saat wajah Paul sudah terpampang dengan pesonanya.
Kilap keringat membasahi tubuh itu justru terkesan sangat menggoda.
Tanpa sadar Asley mengulum bibirnya sendiri. Ia benar-benar tengah menggila dengan hasratnya yang terus menggebu.
Senyum Paul terpancar lebih cerah dari biasanya. Bahkan ia terlihat mengedipkan sebelah mata pada saat kamera mengarah padanya.
Tentu sangat tahu untuk siapa kedipan itu. Aaley tersipu sendiri hingga Ariana dan Delbert tiba di rumah itu.
"Malam, sayang ...." sapa Ariana.
"Malam, Tante."
"Kau sudah makan?"
Menyodorkan sebungkus pizza ke hadapan Asley.
"Sayang, aku langsung ke kamar mandi," ujar Delbert. Ariana sangat tahu kode itu.
"Oke." Ariana mengedip genit.
Asley kembali pada tayangan televisi ketika Ariana meninggalkannya. Sepotong pizza ia raih, kemudian melahapnya sambil sorot netra itu tak lepas dari pandangan keindahan seorang Paul.
Desir halus itu kembali menggelisir ke setiap aliran darahnya. Terasa memanas, apalagi tubuh Paul terpampang dengan jelas keindahannya malam itu.
Bukan hanya telanjang dada, tapi juga keseluruhan.
Beruntung malam ini Paul konser di sebuah aula gedung di London. Hingga ia tak kedinginan meski salju masih turun.
"Kau tak tidur, sayang?" ujar Ariana.
Tubuhnya sudah bersih setelah hampir satu jam berendam bersama suaminya. Ariana duduk di samping Asley.
"Belum, Tante. Paul berjanji akan membawakanku oleh-oleh."
Ariana tersenyum. "Kalian makin akrab saja. Pertama kali kamu datang ke rumah kami, tak ada satu hari tanpa tangis karena habis digodai Paul."
Sesaat hening.
"Apa kabar papa dan mamamu di Jakarta?"
"Mereka baik, terakhir kali Mama sakit tyfus, tapi sudah baikan."
"Syukurlah. Sampaikan salam kami untuk kedua orang tuamu."
"Baiklah."
"Kalian tidak pacaran kan?"
***Next ...."Kalian tidak pacaran kan?"Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga."Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini.""Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul.""
Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di
"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar."Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan."Paul.""Hem?""Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?""Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu."Tanggung jawab.""Menurutmu?""Entahlah, aku ragu.""Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
"Kalian tidak pacaran kan?"Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga."Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini.""Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul.""
"Asley, kau belum tidur?"Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi."Tante?" Asley berpura-pura menguap."Kau belum tidur?""Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu.""Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?""Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana."Momi memanggilku?"Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya."Kau? Kemana
"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar."Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan."Paul.""Hem?""Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?""Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu."Tanggung jawab.""Menurutmu?""Entahlah, aku ragu.""Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di