"Kalian tidak pacaran kan?"
Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.
Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.
Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga.
"Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"
Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini."
"Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."
Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul."
"Haha, tidurlah, Mom. Aku akan menemaninya makan sambil menonton drama kesukaannya."
"Hoaaaam. Baiklah, kalian jangan nakal-nakal ya. Ingat Paul, kau harus menjaganya."
Sesaat Ariana merentangkan kedua tangannya, melemaskan setiap otot lehernya. Ariana lebih memilih berlalu menuju kamar membiarkan Paul dan Asley hanya berdua saja.
Wangi Paul mencium leher itu memikat setiap desir harus tetap terjaga.
Asley menutup matanya, merasakan tangan itu mulai nakal tanpa permisi memeluknya.
"Aku mau kamu, honey. Aku merindukanmu." Lirih, suara itu begitu nikmat didengar.
"Please, honey ...."
Liuk kurang ajar itu sudah membasahi seluruh telinga Asley.
"Engghhh ... Paul, aahh ...."
"I want you, honey. To fuck you now, please ...."
"Aku menstruasi, Paul."
Helaan nafas itu seolah memaksa dirinya untuk bersabar meski hasrat sudah bergejolak tak terbendung lagi.
Paul tersenyum, ia mencium kening Asley dengan hangat.
"Sudahlah, makan saja dulu. Aku ... emh, aku mandi dulu."
Paul menggosok kepalanya, berusaha untuk tetap berpikir jernih. Terlebih rasa dingin yang sejak tadi mendera membuat telapak tangan itu terasa kebas dan kaku.
"Emh, Paul."
Panggilan itu menghentikan langkah Paul yang semula hendak pergi menuju kamarnya.
"Aku tunggu kau di ruang studio."
Lantai teratas pada rumah itu. Sebuah ruangan yang berhubungan langsung dengan atap rumah, mini studio pribadi milik paul. Sekencang apa pun kau berteriak di ruangan itu tak akan ada yang dapat mendengarnya selain dirimu sendiri.
Ya, Asley sudah menunggu entah beberapa menit ia menguatkan diri setelah melihat tayangan syur pada sebuah video dewasa memberikan contoh bagaimana memuaskan tanpa harus menggunakan area sensitif utama.
Dadanya berfluktuasi menahan setiap gejolak yang kian memanas itu. Hingga ia dikejutkan dengan datangnya Paul sudah berdiri di hadapan.
"Kau menungguku? Untuk apa?"
Ragu, tapi ia berusaha untuk dapat melakukannya.
"Emh, Paul. Seandainya selain area milikku, apa bisa aku menyenangkanmu dengan cara lain?"
"Bisa, menggunakan mulutmu."
Datar, Paul tak menunjukan expresi berlebih dengan pembahasannya.
"Aku," Asley mengepalkan kedua tangannya yang sudah basah dengan keringat. "Aku mungkin bisa melakukannya."
"Kau yakin?"
"Ya, aku tak ingin kau kecewa."
"Aku justru akan lebih kecewa jika kau melakukannya."
Asley menunduk. Ia sadar akan kebodohannya sendiri justru akan menimbulkan jarak antara dirinya dan Paul.
"Sudahlah, aku masih bisa menunggu. Kau jangan terlalu memaksakan untuk membahagiakanku. Tanpa itu pun, aku sudah bahagia." Membelai kepala itu dengan hangat.
"Paul. Aku sendiri tak tahu kenapa ini bisa terjadi, tapi ... semenjak malam itu, aku sulit melupakannya. Bahkan, aku serasa ingin mengulangnya lagi, lagi dan lagi."
"Gadis nakal, seharusnya sekarang kau sudah tidur. Besok kan sekolah." Mencubit hidung Asley dengan gemas.
"Paul, kenapa kau membuatku seperti ini?"
Terpancar raut kehausan dari sorot indah binar mata Asley. Ia mengulum bibirnya sendiri, memijit tengkuk yang sudah terasa kian berat dan memanas seluruh tubuh.
"Asley, kau ...."
Gadis itu tiba-tiba berubah menjadi binal dan tak terkontrol. Dia mendorong tubuh Paul menyeret ke sudut ruangan hingga tertahan pada tembok. Nafas itu sudah tak terkendali lagi.
"I'm shock, honey!" Paul terbelalak melihat perubahan gadisnya.
"I don't care. I want you now!"
"Auw, ssshhh ... eeennngghh ...."
Nikmat, Paul memejamkan matanya dengan bibir tergigit gemas. Nakal Asley memainkan keindahan itu. Sesaat memerhatikan, tersenyum dan kemudian kembali lidah itu bergeliat melumat dan menyesap erotis permainannya.
"It's mine, only mine!"
"Yeah, honey. Nikmati aw, nikmati engghhh ...."
"Tak akan kubiarkan siapa pun merebutnya dariku!"
Menarik tubuh Paul dan menghempaskannya pada area tempat yang sudah tersedia sebuah sofa bed di sana.
"Eenngghh ... honey." Paul agak merenggangkan tubuh itu. "Asley, jangan siksa dirimu."
Gadis itu menghentikan aktifitasnya. Ia menatap nanar, memukul tubuh Paul hingga meringkuk menahan cecaran pukulan Asley.
"Ada apa denganmu?" Menutup kembali retsleting celananya.
"Kau sendiri yang menyiksaku."
Asley merengut kesal sambil bersidekap mengalihkan pandangannya.
"Apa kau punya masalah? Hem?"
Asley terisak, ia mendorong tubuh Paul yang hendak mendekatinya. Berdiri untuk pergi, tapi Paul segera menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.
"Apa yang menjadi masalahmu? Katakan padaku."
"Aku, aku gila karenamu, Paul. Kau membuatku sulit melakukan semuanya dengan benar. Bahkan beberapa kali guru di sekolah menegurku karena itu."
"Aku? Kenapa?"
"I love you!"
Binar biru itu menatap lekat wajah Asley yang sendu. Kedua mata Paul tampak berkaca-kaca. Tersirat janji dalam hatinya jika ia tak ingin lagi melirik gadis lain di luaran sana, seperti biasa yang ia lakukan sebelum benar-benar mendapat kepercayaan hati Asley.
"Kau serius, honey?" Bergantian menatap kedua bola mata kebiruan.
"Aku serius. Aku mencintaimu dan tak rela melihat para gadis itu kerap mengerumunimu."
"Mereka hanya fans, aku tidak dapat menolak itu. Namun kuusahakan hanya kamu yang bisa mendapatkan tubuh dan jiwaku."
Cumbuan itu melengkapi setiap pernyataan dari lenguhan geliat keindahan akan pernyataan perasaan.
"Katakan itu sekali lagi, katakan jika kau serius mencintaiku."
"I LOVE YOU!"
Senang, akhirnya perasaan itu terbalaskan tanpa harus ada lagi pemaksaan atas hubungan terlarang antara Paul dan Asley.
"I LOVE YOU TO, I LOVE YOU SO MUCH."
Paul menciumi wajah Asley beberapa kali hingga gadis itu tertawa dalam tangisnya.
Paul meraih sebuah gitar memetiknya membentuk irama beberapa syair melodi lirik lagu All My Loving seketika membuat Asley tersenyum turut menggerakan tubuhnya sambil bertepuk tangan.
I'll pretend that I'm kissing the lips I am missing
And hope that my dreams will come trueAnd then while I'm away, I'll write home everydayAnd I'll send all my loving to youBibir mungil Asley turut mengikuti beberapa lirik lagu itu membentuk sebuah kalimat pernyataan cinta yang memang benar adanya dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Kamu suka, honey?"
Mata Paul mengerling genit penuh pesona. Sesaat ia membuka bajunya, membiarkan tubuh atletis itu terpampang dengan jelas membuat Asley menelan saliva melotot menyaksikan santapan menggiurkan.
"Aku bawakan satu lagu untukmu."
Kembali Paul memetik deretan senar gitar membentuk melody yang sedap didengar. Asley tersenyum, ia kembali terpukau dengan penampilan Paul memamerkan keahliannya dalam balutan penampilan penuh karisma.
Ada keegoisan di dasar hati membuat ia semakin tak rela jika Paul harus dimiliki orang lain. Asley menyeka air matanya, menangis dalam balutan senyum ia tampakkan.
Paul meletakan gitarnya, tersenyum sesaat merasa bahagia dapat dengan nyata mempersembahkan lagu itu untuk Asley tercinta. Ia menghampiri sambil tersenyum merentangkan kedua tangan, menunggu Asley memeluknya.
"I love you, Asley. Aku tahu kamu menginginkanku."
"Sejak lama."
"Sejak lama?"
"Ya, sejak aku melihatmu bermain dengan para gadis itu, aku tak rela."
"Kau sering melihatku?"
Menatap lekat, menyibak juntaian yang menutupi wajah cantik Asley.
"Tidak, aku terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi. Tapi, aku selalu mendengar desahan dan lenguhan kalian di dalam bilik kamar milikmu yang bersebelahan dengan kamarku. Itu menyakitkan."
"Kenapa kau tak jujur? Seandainya kau katakan sejak awal, mungkin aku tak akan menjadikan mereka pelampiasan atas dirimu."
Asley memeluk tubuh yang penuh keringat itu, merasakan detakan jantung tanda kehidupan masih bernyanyi di telinganya.
"Besok, pulang sekolah aku tunggu kau di depan gerbang. Aku mau membawamu ke suatu tempat."
***
Next ....Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di
"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar."Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan."Paul.""Hem?""Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?""Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu."Tanggung jawab.""Menurutmu?""Entahlah, aku ragu.""Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
"Asley, kau belum tidur?"Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi."Tante?" Asley berpura-pura menguap."Kau belum tidur?""Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu.""Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?""Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana."Momi memanggilku?"Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya."Kau? Kemana
Bocah-bocah berpipi merah muda itu berlari kecil menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan tepat di bawah pohon cemara paling besar menaungi mereka. Terdapat seorang wanita paruh baya bertubuh tambun menyambut kedatangan mereka.Dia adalah pengelola panti asuhan ini rupanya. Paul tersenyum hangat pada saat Asley menoleh, ia seolah berkata, "inilah kehidupanku sebenarnya.""Ini ...?""Ini pengelola panti. Kamu bisa memanggilnya Ibu Panti."Wanita itu tersenyum manis ke arah Asley, sambil mempersilakan masuk pada sebuah ruang yang cukup besar terdapat pula tungku penghangat di ruangan itu."Kenapa kalian lebih memilih tempat ini? Tidak adakah ...?" tanya Asley terpotong."Mereka semua menikmati tempat ini," jawab Paul."Tapi ini jauh dari pusat kota.""Nona, kami sangat menyenangi ketenangan."Ibu Panti tersenyum ramah sambil menyodorkan dua gelas susu jahe hangat ke hadapan Asley dan Paul."Sebentar, saya
Paul sudah menunggu sambil duduk santai pada penutup bagasi mobil depannya. Beberapa kali ia melirik deretan angka memastikan jarum kecil itu dimana adanya. Hingga beberapa gerombol para siswa SMA ke luar dan saling berbisik sambil memperbaiki penampilan mereka masing-masing.Itulah sang bintang, yang pada saat ini tengah naik daun berada di puncak popularitasnya.Paul melambai pada seorang gadis berjaket bulu srigala serta tas punggung ia gengam di masing-masing sisinya.Beberapa gadis yang semula nyaris menghampirinya itu teralihkan perhatiannya pada sosok Asley yang berjalan memecah kerumunan mereka."Kenapa dengan raut wajahmu?"Asley menekuk wajahnya segera masuk ke dalam mobil."Kenapa kau harus datang ke sini?""Apa masalahnya?""Seharian ini aku sangat geram dengan para gadis menyebalkan itu. Mereka yang pada awalnya selalu mengeje
"Kalian tidak pacaran kan?"Pertanyaan itu sontak membuat Asley terbata. Ia memutar otak berusaha mencari alasan sekedar menghindar dari masalah yang ia tahu tak akan mudah membohongi wanita di hadapannya.Suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah berhasil mengubah haluan pembicaraan. Paul masuk sambil bersiul memperbaiki gaya rambutnya.Ia tersenyum, mengangkat kantung makanan pada saat melihat ada Asley serta Ariana yang menunggu di ruang keluarga."Wow, tak biasanya ada yang masih menungguku pulang. Kalian sedang dalam keadaan baik kan?"Ariana tersenyum. "Hanya untuk menghajarmu jika kau mengerjai Asley sampai selarut ini.""Mom." Paul mencium mominya. "Aku menjanjikan ia sepotong pizza."Kedua mata Ariana membulat. "Kau membiarkan Asley bergadang selarut ini hanya untuk sepotong pizza? Kau gila, Paul.""
"Asley, kau belum tidur?"Ariana mencurigai ketika mendengar ada suara seorang pria di kamar gadis itu.Asley panik, segera mendorong Paul untuk keluar kamarnya. Beruntung karena pintu itu terkunci rapat hingga ia dapat beralasan tertidur pada saat menonton televisi."Tante?" Asley berpura-pura menguap."Kau belum tidur?""Baru beberapa menit, mungkin. Aku tertidur pada saat menonton tayangan drama itu.""Emh, Paul mungkin kembali pergi ke club malam untuk berpesta dengan para gadis club malam. Ia tidak membawa ponsel ataupun kendaraannya. Itu pasti pergi bersama temannya lagi. Kau bisa bantu Tante untuk menghubungi temannya?""Oh ... itu?" Asley terbata. Tentu ia tahu jika Paul tidak pergi ke sana."Momi memanggilku?"Tiba-tiba Paul sudah berdiri di belakang Ariana sambil memainkan ponselnya."Kau? Kemana
"Aku sudah katakan kita jangan melakukannya!"Asley menggerutu ketika suami istri itu sudah memasuki kamar."Mereka tak akan tahu selama kita menyembunyikannya." Kali ini Paul sudah mengenakan kembali pakaiannya.Tubuh atletis itu tampak menyembulkan setiap otot terbungkus T-Shirt warna hitam berbahan jersey. Membuat Asley sangat ingin menyentuh setiap otot menyembul di balik pakaiam tipis pengbungkus keindahan."Paul.""Hem?""Apa benar apa yang kamu katakan ketika di meja makan tadi?""Tentang apa?" Paul mereguk bir di tangannya.Ternyata tungku yang membara di ruangan itu tak cukup untuk menghangatkan jika tak dibantu oleh minuman sialan itu."Tanggung jawab.""Menurutmu?""Entahlah, aku ragu.""Apa yang kau ragukan? Karena aku bukan terbaik di matamu?"Telinga bertindik lebar itu terpampang jelas seolah mengatakan jika ia hanya penikmat yang tak pernah ada niat tanggung jawab.
Ruangan selebar tiga kali tiga meter persegi itu seolah menjadi saksi atar terenggutnya kesucian seorang Asley Brianna. Seorang gadis keturunan blaster antara Indonesia dan Inggris, oleh seorang pemuda berpenampilan urakan bernama Paul Benson.Tiga tahun bersabar demi menikmati tubuh indah itu rasanya sudah cukup bagi Paul. Hingga ia terpaksa melepaskan hasratnya tepat pada saat melihat pula ada binar yang sama dalam sorot mata Asley menatapnya penuh kehausan.Sudah beberapa kali Paul memergoki wajah sembab gadis itu setiap kali ia membawa pulang seorang gadis untuk dinikmatinya sebagai pelampiasan setiap kali kedua orang tuanya ijin untuk pergi ke luar kota selama beberapa malam.Kini, tubuh polos itu tergolek lemas dalam pelukannya, berpeluh keringat tampak mengkilap tersorot sinar terang lampu studio.Pada awalnya tampak tangis kecewa dari iris cantik Asley, tapi akhirnya ia turut menikmati meski bisa saja keduanya akan dapat masalah setelah hal ini di