"Iya Han, kamu benar.""Kenapa kamu tidak mengabariku?""Semua terjadi begitu cepat, Han. Ibu meninggal karena serangan jantung. Padahal malam sebelumnya beliau baik-baik saja. Bahkan sebelum tidur beliau menghampiriku di kamar untuk segera mencari menantu seorang wanita yang baik untuk beliau. Ku kira itu hanya bercanda seperti biasanya. Tapi setelah aku berpamitan untuk berangkat kerja keluar pulau, tiba-tiba ibu terjatuh di kamar mandi. Buru-buru aku membawanya ke Rumah Sakit, ternyata setelah diperiksa, dokter menyatakan kalau ibuku sudah meninggal dunia.""Aku sangat menyesal, Han. Kenapa tidak dari dulu saja aku segera mengenalkan kamu kepada ibuku. Apalagi jika teringat pesan ibu untuk meniru sifat ayahku. 'Hargailah wanita, Nak! Contohlah Ayah kamu, yang selalu setia kepada Ibu. Selama dekat dengan Ayah kamu, dia selalu sopan tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas sebelum halal.' Kata-kata Ibuku itulah sampai saat ini terekam jelas di kepalaku.""Tapi aku bukanlah wanita
Pov SariAlhamdulillah setelah satu minggu tinggal di sini, dan sudah satu minggu juga aku tidak bertemu dengan Mas Nanang. Hatiku jadi lebih tenang walau hanya tinggal berdua bersama Putra. Meski dalam hatiku yang paling dalam, hatiku sangat rindu, tapi cinta yang aku punya tidak sebanding dengan luka yang diberikan Mas Nanang.Sekarang aku benar-benar sudah bertekad untuk segera lepas darinya. Karena mengingat hatiku ini tidak sekuat baja.Tiba-tiba ponselku berdering hingga memecahkan lamunanku."Halo, Sar. Kamu gimana kabarnya? Kerasan di sana?" ucap Desti saat telponnya aku angkat."Alhamdulillah aku kerasan Des.""Syukurlah kalau kamu kerasan. Aku sengaja beberapa hari nggak nelepon kamu takut kalau ganggu waktu kamu bersama keluarga kamu.""Ah, kamu itu bisa aja. Nggak masalah kalau kamu mau telepon aku insya Allah akan selalu diangkat. Aku juga maaf juga belum bisa telepon kamu, kemarin-kemarin aku lagi cari baby sitter untuk Putra soalnya. Alhamdulillah sekarang sudah dapat. O
Aku pun berusaha menelepon Ayah. Namun, tidak diangkat mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Kemudian aku menelepon ibu. Sama halnya dengan ayah, beberapa kali aku telepon. Ibu tidak mengangkatnya.Beberapa saat kemudian ponselku berdering. Bergegas ku lihat ternyata telepon dari ibu."Ada apa, Nak?""Bu, pa-papa datang ke rumah. Beliau marah-marah. Aku takut, Bu," kataku gugup."Sudah jangan panik! Ibu bentar lagi akan sampai. Aku akan telepon ke kantor ayah kamu, biar ayah kamu segera pulang.""Sus, tolong bawa Putra masuk ke kamar dan kunci pintunya ya! Jangan dibuka kalau bukan aku yang datang," pintaku kepada Nikmah baby sitterku."Baik, Bu Sari."Bismillah semoga aku bisa mengatasinya. Aku mencoba untuk tetap tenang.Aku pun mencari keberadaan papa dengan mengintipnya dari atas. Ku lihat ada Pak Marno yang mengawasi papa dari agak jauh. Beliau sedang berjaga-jaga takut kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Mbok, tolong kasih tahu papa untuk duduk dulu di dalam.""Orangn
"Ish...."Tiba-tiba papa mertua berdiri dengan wajah yang muram dengan tangan mengepal, menahan amarah. Kemudian beliau langsung berbalik arah keluar dari ruang tamu, sepertinya hendak pulang."Pak Norman! Tunggu, Pak! Bapak mau kemana kita belum selesai berbicara," cegah ayah.Namun, papa mertua tetap saja melangkahkan kakinya dan tak menghiraukan."Pak Norman, duduk dulu sebentar," kata ayah lagi."Pak Rudi, sudahlah saya itu sudah muak sekali. Bapak ini terlalu bertele-tele buang waktu saya saja. Intinya kerja sama kita batal. Semua karena putri Bapak ini. Dia sudah bikin saya kecewa," jawab kata mertuaku."Kenapa dengan Sari? Ini urusan bisnis kita Pak, tidak hubungannya dengan dia? Dia kan tidak tahu menahu mengenai bisnis kita.""Ini, anak Bapak. Sudah membuat malu keluarga saya. Ternyata menantu yang aku bangga-banggakan telah menipu kelurga saya. Dia sudah bermain serong dengan laki-laki lain. Tanya sendiri saja dengan putri bapak.""Sebentar, Pak. Ini kan masalah keluarga jan
"Biarlah, Bu. Sari tidak apa-apa.""Tapi ini pasti ada yang salah kepada ayah kamu. Apa yang dia pikirkan sampai dia berani dan setega ini menampar kamu.""Sudahlah, Bu. Sudah. Aku tidak apa-apa. Tidak usah ditanyakan ke Ayah. Biarlah." "Tapi ini tidak bisa dibiarin. Biar ibu tanya apa maksud ayah kamu ini. Benar-benar ini keterlaluan," kata ibu emosi."Sudahlah, Bu. Sari tidak apa-apa. Sari ingin pulang dulu, Bu. Sari ingin menenangkan hati Sari dulu.""Kamu jangan buru-buru pulang gitu, Nak. Kamu nginep di sini saja, ya," pinta ibu kepadaku."Tidak, Bu. Sari sudah capek ingin istirahat. Kepala Sari pusing."Aku rasa ayah memang belum membahas masalah ini kepada papa mertuaku. Mungkin ayah lebih berat hati untuk menjaga perkembangan bisnisnya daripada perasaan anaknya. Atau ada alasan lain yang tersembunyi yang aku tidak aku ketahui. Biarlah ini menjadi rahasia ayah. Yang jelas aku harus segera pulang. Aku tak ingin berlarut larut dalam kekecewaanku ini.Aku pun langsung pergi, ke
"Entahlah, Bu. Aku ini juga sedang berpikir. Bantu aku berpikir dong. Biar masalah ini bisa segera kelar. Tapi kalau memang cara satu-satunya dengan minta Sari baikan dengan Nanang. Ya kita harus lakukan itu." "Kamu memang sudah benar-benar sudah kelewatan, Mas. Kalau begitu lebih baik aku pergi dari sini saja. Aku tak bisa menurut dengan ide-ide konyol kamu itu. Kamu itu sudah keterlaluan sekali kepada Sari, Mas. Dari dulu aku sebenarnya sudah tidak setuju jika harus menumbalkan Sari demi mengangkat bisnis kamu itu!""Aku juga terpaksa, Bu. Mau bagaimana lagi hanya Sari yang bisa membantu kita. Apalagi kita tahu sendiri keluarga Pak Norman juga orang baik. Mana aku bisa tahu kalau bakalan seperti ini. Kalau tahu kayak gini lebih baik tidak aku lakukan juga.""Tapi kamu itu sudah terlewat kejam. Sari sudah banyak berkorban kepada kita. Setelah lulus SMA sudah kita jodohkan dengan Nanang, sampai-sampai dia kehilangan masa mudanya.""Biarlah dia hidup dengan keputusannya sendiri, Mas. K
Saat ini aku duduk termenung di halaman rumahku melihat beberapa bunga yang tumbuh subur di taman rumahku.Tiba-tiba ponselku berdering. Ku lihat telepon itu dari Desti, sahabatku. Aku pun segera mengangkat telepon dari sahabatku itu, meski di hatiku sempat ragu untuk mengangkatnya karena takut bikin Desti bingung."Sar, maaf aku baru sempat menelepon kamu. Maaf dari tadi aku sedang sibuk bareng saudaraku, jadi aku tadi nggak dengar saat kamu telepon. Sar kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sar?" kata Desti setelah teleponnya aku angkat.Rasanya mulutku terasa berat rasanya menjawab pertanyaan dari sahabatku itu. Berbeda dengan mulutku yang tidak bisa dibuka air terus saja bercucuran membasahi pipi."Kamu, baik-baik saja, Sar?""Sar, Sari?"Aku sudah tak kuat menjawab semua pertanyaan Desti. Akhirnya aku tutup telepon itu.Tiba-tiba sepuluh menit kemudian saat aku ingin beranjak masuk ke dalam rumah terdengar suara klakson mobil di depan pintu gerbang rumahku.'Itu seperti suara mobil Desti,
Brak ....!Tiba-tiba saat aku akan mau masuk ke dapur Mak Sri menabrakku hingga tak sengaja minuman yang beliau bawa tumpah semua di bajuku."Maaf Non, tak sengaja," katanya kaget sambil membersihkan bajuku yang basah semua."Iya, Mak. Tidak apa-apa. Sudah Mak. Emak beresin saja dulu. Saya mau ganti baju.""Baik, Non. Sekali lagi emak mohon maaf ya, Non. Emak rencananya mau pergi ke depan mau anterin minum. Eh kok nggak tahu ada Nona Sari di depan Emak."Iya, Mak. Nggak apa-apa kok."Dengan terpaksa aku pergi ke kamarku dan mengganti pakaianku."Ya Allah padahal sedikit lagi. Kenapa barus ketabrak Mak Sri," kataku sambil mengacak rambutku.Tok ...! Tok ...!"Non Sari!""Iya, Mak! Masuk saja, tidak di kunci!""Iya, Mak. Ada apa?" tanyaku ketika Mak Sri masuk ke dalam kamarku."Non, makanannya sudah siap. Sekarang Nona sudah ditunggu Nyonya di belakang," "Iya, Mak. Bentar lagi Sari ke sana."---"Loh Desti ke mana, Bu?" kataku setelah sampai di belakang."Desti barusan saja pulang. T
Poh HanaPov HanaTerpaksa hari ini aku mau diajak menginap lagi di hotel ini menemani lelaki tua ini. Selain uang, aku tak ingin jika harga diriku di kosan menjadi jelek gara-gara ulahnya."Aku tunggu di depan ya, Sayang," katanya saat aku masih merapikan penampilanku. Aku hanya diam tak menjawab perkataannya."Jangan, lama-lama siap-siapnya!" katanya lagi sambil berlalu."Iya," jawabku singkat.Ku lihat ponselku masih saja sepi, sama sekali tidak ada pesan masuk dari lelaki yang biasa pergi denganku, salah satunya Nanang, lelaki yang masih aku cintai untuk saat ini.'Kamu sedang apa di sana sih, Nang? Tega sekali kamu tidak memberiku kabar. Apa ini karena ada Sari di sana hingga kamu lupa dengan kekasihmu ini?' batinku kesal.Ah sudahlah, ada baiknya juga jika dia tidak menghubungiku. Kalau begini kan aku bisa leluasa pergi kemanapun, tanpa ada bayang-bayang lelaki yang cemburuan itu.Pokoknya kalau aku sudah punya banyak uang dari lelaki tua ini, aku bakal pergi jauh hingga lelaki
Pov Pak RudiPov Pak RudiSetiap pergi bersamanya aku tak lupa mengajaknya belanja. Namanya juga perempuan paling suka diajak belanja apalagi kalau dikasih uang gepokan, semua masalah langsung hilang seketika.***"Ayo, dimakan makanannya, Mi!" Ku lihat kekasihku hanya diam saja, tak sedikit pun menyentuh makanan yang sudah lima menit berada di meja depannya."Aku suapin ya, Mi," kataku sambil ku pegang tangannya dengan lembut.Aku yakin dia masih saja kepikiran dengan tawaranku semalam. Dia pasti bingung karena harus memilih menantu yang tak tahu d*iriku itu atau memilih uang yang aku punya.Katanya dia tidak menaruh hati ke pada menantuku itu, bagiku itu suatu kebohongan besar. Saat ku intip di rumah sakit, sorot mata kekasihku itu tidak seperti jika dengan seorang lelaki lainnya. Jelas terlihat kalau dia menaruh hati ke pada Nanang.Aku ini orang dewasa yang sudah berumur mana mungkin dia bisa membo
Pov Hana"Kamu jangan gila, Pi! Kalau dibilang aku belum ya belum siap!" Aku kesal sekali mendengarkan perkataan lelaki ini."Sudahlah, Mi! Ini sudah malam, jangan, berisik!""Papi jangan aneh-aneh ya sama aku. Jika apa yang Papi bicarakan itu sampai terjadi, jangan harap Mami akan mau menemui Papi lagi," kataku yang tak memperdulikan perkataannya."Memangnya mau sampai kapan hubungan kita ini? Kamu itu harusnya seneng kalau ada laki-laki yang mau menghalalkan kamu, Mi. Walau cuman dengan nikah siri sudah cukup bagi papi, yang penting kita bisa sah sebagai suami istri walau hanya secara agama.""Meski nikah siri pun aku tidak mau, Pi!" Aku tetap menolak tawarannya. "Terserah! Ini sudah keputusan papi. Kalau Mami tidak mau, papi akan cari wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya daripada Mami!""Terserah kalau itu mau Papi. Aku jamin tidak akan ada wanita yang lebih baik daripada mami," kataku setengah meninggi.
Pov HanaKu perhatikan dari tempat tidur, lelaki tua itu mengambil bajunya kemudian dia kenakan. Rasanya dia beneran ingin pergi dari hotel ini."Pi!" teriakku. Aku pun bergegas menyusulnya."Papi!" Lelaki tua itu tetap tak menjawab panggilanku bahkan terus saja meneruskan aktifitasnya."Jangan, marah gitu dong, Pi. Mami itu hanya kecapekan saja, banyak pekerjaan di kantor yang membuat pikiran mami jadi pusing. Maaf ya, jika perkataan mami membuat Papi marah," rayuku."Papi, kok diam saja, sih!" kataku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.Bukannya dia membalas pelukanku, malah dia justru menghempaskan tanganku."Papi jangan marah sama mami, ya. Mami itu sebenarnya juga sayang sama Papi. Mami dengan dia tidak ada hubungan yang serius. Hanya hubungan saling membutuhkan saja tanpa ada cinta. Sama seperti yang mami lakukan dengan yang lainnya, tanpa ada rasa cinta sama sekali," kataku. Aku berani berbicara seperti itu kare
Pov Hana"Apa susahnya Mi jawab pertanyaan papi? Kalau Mami tidak kasih jawaban sekarang, yang ada papi tidak bisa tenang. Mami sudah tahu sendiri kan papi ini cinta mati sama Mami."Aku hanya terdiam menanggapi perkataannya."Ayolah, Mi. Memangnya yang masih dipikirin apa sih, Mi?" Dia sekarang terlihat lebih memaksa."Papi kan juga sudah punya segalanya. Punya perusahaan, punya uang banyak. Mami minta apapun pasti papi bakalan turuti. Minta mobil minta rumah pasti akan papi belikan.""Lihat, mata papi!"Tangannya melingkar ke pundakku dan menatapku dengan lekat."Papi ini sangat mencintai Mami. Nggak mau kalau ada lelaki lain menyentuh Mami selain papi. Di dunia ini hanya Mami yang papi cintai. Mami tahu sendiri kan, kalau istri papi itu selalu sibuk dengan usaha kuenya mana ada waktu untuk memperhatikan papi. Satu-satunya wanita yang selalu perhatian ya cuman Mami seorang," katanya lagi."Aku sih sebenarnya s
Pov Hana"Maaf, Ma. Aku harus ke luar kota sekarang. Soalnya ada pertemuan penting. Terus kabarin papa tentang perkembangannya. Nanti kalau papa longgar papa akan telepon Mama lagi ya.""Iya, Ma. Papa sedang nyetir ini.""Ya sudah ya, Ma." Kemudian sambungan telepon itu dia matikan."Maaf ya, Sayang. Ada sedikit gangguan.""Nggak apa-apa, kok," jawabku santai.Perjalanan untuk kami sampai di pusat pembelanjaan tidaklah lama, dan sekarang sudah sampai di tempat parkir.Tak lupa saat mah turun, dia selalu membukakan pintu untukku. Berasa seperti tuan putri saja aku dibuatnya."Papi kenapa repot-repot segala. Mami bisa buka sendiri.""Ah, tidak.apa-apalah, Mi. Sesekali kan boleh," jawabnya.Ku lihat dia memperhatikanku sangat detail hingga beberapa menit dia masih terpaku melihatku."Ada apa, Pi?" tanyaku heran."Mi, papi tadi nggak begitu memperhatikan penampilan Mami. Ya ampun,
Pov Hana"Kenapa?" tanyanya keheranan setelah aku memperhatikan perut buncitnya."Oh, kamu memperhatikan perutku yang buncit ini, ya? Aku jadi terlihat gemukan ya, sekarang?" katanya tertawa kecil sambil mencolek pipiku.Aku hanya mengangguk-angguk saja menyetujui apa yang dia katakan."Pasti kalau makan sudah nggak terkontrol lagi, ya?" kataku sambil ku cubit perut gendutnya."Iya, lama tidak berjumpa dengan kamu sih, Sayang. Ya beginilah jadinya aku kurang terurus lagi. Papi janji setelah ini papi akan diet ketat.""Heleh," kataku sambil ku cebikkan bibirku."Apa sih, yang nggak demi Mami? Apapun yang Mami minta pasti akan papi lakukan," katanya sambil nyengir kuda.Aku sebenarnya nggak masalah sih kalau dia gemuk atau kurus, toh dia bukan pacar atau suamiku. Cuman, aku hanya khawatir kalau dia sampai jatuh sakit. Aku bakalan yang repot. Bisa-bisa aku kehilangan sumber penghasilanku. Apalagi dia adalah orang kaya kan lumayan juga uangnya."Nanti kita nginap di tempat biasa, ya," kat
Pov Author"Papa ini ke kamar mandinya lama sekali sih?" Bu Jingga nampak kesal."Namanya juga kebelet, Ma. Papa tadi sakit perut. Makanya lama di kamar mandinya," jawab lelaki yang mempunyai tahi lalat di bawah bibirnya."Jangan, cemberut gitu dong! Memangnya da apa sih, Ma?" Pak Rudi berusaha membujuk istrinya agar tidak lagi marah ke padanya."Papa ini sih lambat sekali. Harusnya cepetan kembali ke sini!" kata Bu Jingga sambil mengerucutkan mulutnya. Terlihat jelas perempuan setengah baya itu masih kesal dengan suaminya."Ada apa sih, Ma? Bicara dong sama papa. Bicaranya jangan setengah-setengah gitu, papa kan jadi bingung kalau begini.""Papa itu sih sudah bikin mama sebel.""Sudahlah, Ma. Jangan, manja begitu. Ini kita sedang di rumah sakit. Malau kalau sampai dilihatin besan kita. Ayo, cepetan bicara, agar semuanya jelas!" tutur pak Rudi."Tadi selingkuhannya si Nanang datang ke sini, Pa. Posisi Sari sedang terancam," kata bu Jingga yang terlihat sangat tidak suka dengan kehadira
Pov AuthorPak Norman dan Bu Nanda pergi menjauh karena muak melihat Hana dan Nanang. Mereka pergi melihat cucu kesayangannya dari balik pintu kaca ruang PICU. Mereka sangat khawatir dengan keadaan Putra.Pak Norman dan Bu Nanda sangat kecewa dengan Nanang. Mereka merasa tertipu oleh atas omongan Nanang sebelumnya. Nanang menuduh Sari yang sudah mengkhianatinya. Sedangkan kenyataannya yang sudah berkhianat adalah Nanang sendiri.Saat kedatangan Hana Pak Rudi langsung kaget. Dia merasa kenal dengan perempuan itu namun dia segera menjauh."Mau kemana, Mas?" tanya istrinya."Aku mau ke kamar mandi," jawabnya."Oh, ternyata wanita itu yang telah menghancurkan keluarga anakku." Melihat Hana mendatangi Nanang membuat Bu Jingga menjadi geram."Yang!" Kini Hana berjalan mendeket ke Nanang.Dengan segera Nanang menyahut tangan Hana dan mengajaknya pergi ke tempat yang agak sepi.Nanang geram karena kehadiran Hana. Hana tak merasa sungkan atau punya rasa bersalah tiba-tiba datang dan memperkenal