Al memencet bel ruang NICU, tak lama kemudian, seorang perawat membuka pintu."Orang tua bayi Ny. Addina, ya?" Tebak perawat tersebut sebab sudah sangat hafal dengan kedua orang tua Kamila yang masuk nominasi orang tua paling sering mengunjungi bayinya di ruang nicu."Iya, Sus, saya mau ketemu anak saya," ucap Dina dari atas kursi rodanya."Baik, Bu, tapi tunggu sebentar ya, kami masih sedang memandikan para bayi, sehingga kami membutuhkan privasi untuk itu. Jadi Ibu tunggu sampai selesai proses perawatan bayinya ya, Bu,"ucap perawat tersebut menangguhkan permintaan Addina.Mendengar kata 'memandikan bayi' membuat mata Dina seketika berbinar. " termasuk anak saya juga, Sus?" tanya Dina antusias.."Benar, Bu. Sebentar ya, kami akan segera informasikan kalau sudah selesai," ucap Suster tersebut kemudian berniat beranjak pergi. Akan tetapi dengan cepat Dina mencegah."Sus!" panggilnya membuat suster mengurungkan niat untuk melangkah."Iya, Bu?"" Boleh saya ikut serta memandikan putri sa
"Lagian Tuhan ngapain nyuruh hambanya sholat pake ngatur waktunya segala? Bikin repot aja!" –Kamila"Bukan Tuhan yang bikin aturan repot, tapi kamunya yang repot diatur!" –Alfaro, Ayah Kamila.***********Kamila POV"Jam berapa ini, Kamila? Kenapa baru pulang?"Deg!Suara bariton yang kadang menyeramkan dan kadang ngangenin itu tiba-tiba terdengar di telinga bersamaan dengan lampu ruang tengah yang tiba-tiba menyala, menampakkan diriku yang berjalan mengendap-endap layaknya seorang pencuri di rumah sendiri.Suara bariton itu milik Ayahku, dia pasti sedang mengunggu kedatanganku. Alamaak! Mati aku! Alamat dapat sanksi lagi nih.Kutegakkan tubuh yang semula tertunduk, memberanikan diri menatap mata yang menatapku nyalang layaknya Elang yang menemukan mangsanya dan siap menerkam."Ngapain ngendap-ngendap begitu? Takut ketahuan? Iya!" cecarnya membuatku semakin menciut. Beginilah aku, walau title ku 'anak brandalan' tapi di depan Ayah aku hanyalah remahan rengginang yang nyasar di kaleng
Bab 2 PRUKGus Zainal POV"What?!" Gadis yang kutebak sebagai Kamila itu memekik terkejut kala aku memperkenalkan diri sebagai calon suaminya. Sepertinya dugaanku benar, dialah Kamila, gadis yang kelak akan menjadi pendampingku dalam mengarungi bahtera rumah tangga.Gadis yang cantik dan tampaknya sholihah, sebab baru masuk waktu Dhuha saja dia sudah siap dengan mukenanya. Jika sepagi ini dia sudah melakukan shalat Dhuha, artinya dia gadis yang disiplin, bukan? Sungguh calon istri idaman.Wajahnya cantik alami, terlihat natural tanpa riasan ala cewek-cewek masa kini, yang poles kanan poles kiri sampai hilang bentuk muka yang asli. Mungkin sebab dia baru selesai shalat, sehingga cantik yang terpancar murni dari cahaya air wudhunya.Dan lagi ... Kalau dilihat-lihat dia memiliki wajah yang imut, sepertinya dia masih muda, mungkin sepuluh tahun di bawahku atau bahkan lebih. Tak mengapa, perbedaan usia tak menjadi masalah, justru biasanya, wanita yang usianya cukup terpaut jauh dari pasan
Bab 3 PRUK"Gila ... Gila ... Gila! Ini bener-bener gila! Bisa-bisanya sih Ayah kepikiran hal segila ini? Pesantren Ramadhan? Perjodohan? Apa-apaan ini?!" gerutu Kamila dalam hati. Kini, gadis yang biasanya hidup di jalanan itu terpaksa harus duduk di sebuah mobil, dan melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang enggan dikunjunginya.Sebuah pesantren yang di matanya layaknya sebuah penjara. Tempat dengan penuh aturan dan juga tuntutan, dua hal yang sangat dibencinya. Parahnya lagi, dia dipaksa harus tinggal di sana selama hampir dua bulan."Mimpi apa aku semalam Ya Tuhan ... Bisa-bisanya aku terjebak dalam situasi sulit seperti ini? Mana mungkin aku bisa tahan tinggal di penjara itu? Dan lagi, perjodohan? Di era kekinian masih ada istilah perjodohan? Sungguh amat sangat membagongkan!" batin Kamila seraya melirik lelaki di sisinya. Lelaki yang ia juluki sebagai pengacau sebab pagi-pagi sudah datang dan mengacau hidupnya.Tadi, ayahnya sudah menjelaskan bahwa Gus Zainal adalah lelaki pi
Bab 4 PRUK"Astagfirullah, Kamila!" pekik Gus Zainal terkejut. Tubuhnya mendadak menegang, merasakan tangan dan kepala Kamila yang tiba-tiba sudah bersentuhan dengan tubuhnya. Walau terhalang helai kain dari baju yang dikenakannya, tapi tetap saja hangat dari suhu tubuh Kamila dapat dirasakannya.Detak jantungnya mendadak berpacu lebih cepat, ia lelaki normal, yang sudah hampir tiga puluh tahun membujang tanpa belaian. Tentu sentuhan seorang wanita membuat tubuhnya bereaksi."Kamila, lepas, ya," pinta Gus Zainal dengan suara sedikit bergetar, seraya sedikit menarik tangannya dari dekapan Kamila, namun gadis itu menahannya, hatinya bersorak penuh kemenangan memandang ekspresi tegang wajah lelaki di sisinya."Aku nggak akan lepasin tangan Gus sebelum Gus menyetujui permintaanku," ancam Kamila yang ia anggap mampu menggertak pertahanan Gus Zainal."Kamila, kita bukan muhrim!" ucap Gus Zainal tegas."Nggak akan, Sayang, aku nggak akan melepaskannya sebelum kamu menuetujui permintaanku," b
Bab 5 PRUKGus Zainal segera meletakkan belanjaan di meja kasir, "titip dulu, Mbak, nanti saya kembali," pesannya pada penjaga kasir.Ia lalu berlari keluar mengejar Kamila, namun sayang, Bentor yang ditumpangi Kamila sudah terlebih dahulu jalan."Aduh! Telat lagi!" gumamnya pelan sembari menoleh ke kanan dan kiri, mencari cara untuk mengejar Kamila. Hingga tiba-tiba seseorang menyapa, "Gus Zainal?" Gus Zainal menoleh ke arah lelaki yang baru saja berhenti di parkiran indoapril, mencoba mengenalinya, namun gagal."Wonten nopo, Gus?" tanya lelaki tersebut sebab melihat Gus Zainal yang seperti orang kebingungan."Mau ngejar bentor itu!" jawab Gus Zainal seraya menunjuk Bentor yang ditumpangi Kamila tanpa pikir panjang."Monggo sareng kulo mawon, Gus!" lelaki asing tersebut menawarkan dirinya untuk mengantarkan."Nggak apa-apa, Kang?" tanya Gus Zainal memastikan."Nggih, Gus, Monggo!" jawab lelaki yang ia taksir berusia tiga puluh tahunan.Tanpa banyak bicara lagi, Gus Zainal segera m
Bab 6 PRUK"Apa yang membuat kamu keberatan?" tanya Gus Zainal."Aku nggak suka hidup di pesantren, Gus. Aku nggak suka hidup dikekang-kekang, aku terbiasa hidup bebas," jawab Kamila jujur."Hal apa yang membuat kamu merasa terkekang saat di pesantren?" tanya Gus Zainal lagi."Banyak, Gus. Di Pesantren nggak bisa bebas keluar, nggak bisa main hp, banyak tuntutan, harus ngaji, harus belajar, sholat, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Semua serba diatur, dan aku nggak suka itu," balas Kamila berapi-api."Oke, kalau begitu, saya akan berikan kamu keringanan. Pertama, kamu bebas keluar pesantren, dengan catatan tetap dalam pantauan saya, dan di luar jam aktif pesantren.""Maksudnya gimana tuh?" tanya Kamila memperjelas."Kamu boleh keluar, asalkan bersama saya, dan di jam yang tidak ada kegiatan di pesantren, yaitu ba'da isya'," jelas Gus Zainal."Oke, sepakat!" jawab Kamila mantap. Terbesit senyuman di bibirnya, gadis yang memang lebih sering menghabiskan waktu di luar saat malam hari itu ta
Bab 7 PRUK"Yah, coba tanya Gus Zainal, mereka sudah sampai apa belum? Perasaan Bunda dari tadi nggak enak deh," pinta Addina–Bunda Kamila pada Al seraya meletakkan segelas kopi di hadapan suaminya."Makasih, kopinya, Sayang. Sabar, ya, tadi Ayah sudah coba hubungin, tapi nggak diangkat, mungkin masih di jalan," balas Alfaro–ayah Kamila."Ya Allah ... Semoga anak kita nggak bikin ulah di sana ya, Yah," harap Dina mengkhawatirkan putrinya.Bukan takut putrinya nangis sebab tak betah, atau nangis sebab tak menemukan makanan enak layaknya di rumah sebagaimana santri baru pada umumnya, ia yakin soal ketangguhan putrinya, putrinya itu sangat tangguh seperti Ayahnya. Akan tetapi, sebagai seorang ibu yang mengenal baik watak putrinya, ia mengkhawatirkan Kamila dengan segala kenakalannya akan berulah di tempat orang, hingga merugikan orang lain, terlebih tempat itu adalah sebuah pesantren. Di mana semua praktik keagamaan dijalankan dengan penuh disiplin di sana.Berbeda dengan kepribadian pu