"Kamu jangan berkata aneh-aneh ya. Aku nggak pernah memimpikan imam lain, setelah menikah denganmu. Aku hanya belum siap? nggak bisa kah kamu mengerti aku?" Mata Zeliya berkaca-kaca, hatinya terasa di sayat-sayat karena perkataan pedas suaminya.
"Tapi kamu bilang, takut menyesal jika aku menyentuhmu. Itu melukaiku Zeliya. Kamu tadi sempat menyinggung nafsu, apa kamu memnadangku hanya sebagia pria nafsuan yang memanfaatkan dirimu untuk memuaskan? begitu? kamu pikir aku hanya pria brengsek yang ketika nafsu langsung melampiaskannya pada wanita? begitu?" sungut Bryan. Mata elang itu terlihat menajam menghujam dada.
"Mas, bukan itu yang aku maksud."
"Sudahlah. Wajar kamu berfikir seperti itu. Aku memang pria bajingan sedari awal. Bahkan, aku sudah pernah bercumbu dengan beberapa wanita. Aku memang brengsek. Nggak pantas untuk menyentuh wanita suci sepertimu," tandas Bryan.
Bryan bangkit dengan wajah memerah, mengepalkan tangannya di samping paha. Entah
Bazar dan pameran produk baru Butik Arham di adakan di taman Menteng dengan lokasinya yang berada tepat di lapangan basket. Zeliya dan karyawan lain terlihat sibuk menata barang dagangan. Tidak lupa dua model baru yang di sewa langsung oleh Arham sudah hadir untuk acara pameran.Beberapa banner dengan foto-foto model terpampang di sisi-sisi jalan sebelum menuju stand Butik Arham. Beberapa wanita remaja hingga ibu-ibu, terlihat menunjuk-nunjuk produk baru yang di pajang itu. Dua model terlihat berjalan-jalan, sesekali menyapa pengunjung."Masyaa Allah, produk baru, udah ada sepuluh orang yang rekuest kak," ucap salah satu karyawan pada Zeliya.Zeliya yang sedang sibuk merapikan barang, menoleh ke arah karyawan wanita dengan hijab di lilit ke leher itu. "Produk yang mana?" tanya Zeliya, barangkali yang laku keras adalah hasil desain nya. Ia tersenyuk ceria di balik cadarnya. Sejenak ia lupa permasalahan rumah tangganya."Yang blezzer dengan bulu di leher ka
Nafas Zeliya terengah-engah, ia terkejut karena perbuatannya sendiri yang sudah menampar suaminya sendiri.Bryan terdiam, mengelus pipinya yang terkena tamparan sang istri. Bukan perkara sakit di wajahnya, namun hatinya. Ia merasa mendapat penolakan dan ia sangat kecewa."Sejijik itu kah kamu sama aku?" tanya Bryan dalam keremangan cahaya. Zeliya membuang wajah, nafasnya masinlh terengah. Dia diam tidak menjawab."Kalau begitu, aku akan membuatmu sama sepertiku." Bryan kembali mendekat, hendak meraup bibir istrinya, namun Zeliya memberontak."Lepasin Mas. Aku bukan budak, aku bukan binatang yang bisa kamu perlakukan sesuka hati!" teriak Zeliya, matanya sudah mengalirkan cairan bening. Bryan kini sudah berhasil mendaratkan bibirnya, meraup dalam-dalam bibir istrinya yang tidak pernah ia kecap dengan tanpa penghalang apa-apa."M...as. Em, lep..as." Zeliya berusaha memberontak. Bryan mencengkeram kedua lengannya. Pria itu menciuminya terus menerus.
Bryan menatap lekat istrinya, berharap wanita yang sabar menghadapinya itu bersedia menemani tidurnya malam ini. Di saat tubuhnya demam, biasanya ia akan merasa sangat kesepian dan merindukan orang-orang yang ia sayangi."Aku tidur di sebelah mana?" tanya sang istri membuat Bryan sedikit tercengang, ia pikir Zeliya akan menolak permintaannya setelah apa yang ia lakukan beberapa waktu lalu.Sebenarnya, Bryan hanya ingin memberi pelajaran pada Zeliya yang sudah mengabaikannya dan justru sangat dekat dengan pria lain, ia hanya ingin wanita itu tahu batasan, tidak seharusnya bertingkah sangat akrab dengan saudara tirinya dan dengan pria manapun itu, karena Bryan sangat cemburu.Wanita itu juga dengan seenaknya menuduh dirinya memiliki perasaan kepada wanita lain. Hanya karena dirinya yang membantu Selena di masa-masa depresinya. Dulu, saat ibunya meninggalkannya, Bryan tahu rasanya depresi, tidak semangat hidup, apalagi bertemu manusia, perubahan mood yang buruk dan
Pukul delapan pagi, suami istri itu siap-siap untuk berangkat ke kediaman Selena. Seperti biasa, jika berangkat bersama-sama, kalau tidak memakai jasa taksi tentu pakai sepeda motor Zeliya.Pilihan jatuh pada sepeda motor Zeliya. Bryan yang sudah merasa sembuh yang menawarkannya sendiri walau sang istri menyarankan naik taksi saja. "Zeliya!" panggil Bryan di sela-sela perjalanan mereka."Iya.""Pegangan, aku bakal ngebut.""Jangan ngebut-ngebut Mas, pelan aja, toh nanti sampai."Bryan nyengir, ia hanya beralasan agar Zeliya memeluk pinggangnya. Tapi, sepertinya wanita itu menebak niat konyolnya itu. Sesekali memukuli bahunya, ketika dirinya sedikit mempercepat laju kendaraan.Sesampainya di lobi apartemen, keduanya berjalan lewat pintu utama, namun Bryan harus mendengus kasar saat dirinya dibiarkan lewat dengan aman sedangkan istrinya tertahan di belakang oleh satpam."Boleh saya periksa barang bawaan anda?" tanya satpam pria dengan umur kisaran empat puluhan."Kenapa di periksa ya?
Bryan menyentil pelan dahi istrinya karena si empunya malah terdiam, entah apa yang wanita itu pikirkan atau diam-diam Zeliya takut jika dirinya meminta hak malam ini? ayolah ia hanya bercanda tadi. "Hei, aku cuma bercanda," ucap Bryan, membuat Zeliya mendengkus dan mengelus dahinya pelan. Segera saja Zeliya bangkit berdiri. "Kembali ke habitatmu Mas," usir Zeliya karena merasa kamar ini mulai berbahaya jika suaminya terus-terusan di dalamnya. "Loh kok nyuruh aku pergi? 'kan aku belum ngaji. Sini dong, aku pengen di simak oleh ustadzah Zeliya." Bryan berjalan ke arah meja rias, di sana ada al-qur'an mini, milik istrinya, lalu ia mengambilnya. "Kamu nggak mau nyimak aku ngaji? kalau ada salah gimana?" tanya Bryan, menatap istrinya yang memainkan ponsel di atas ranjang. Zeliya memutar bola mata, tidak jadi menggulir i*******m dan kini duduk berhadapan dengan suaminya yang mulai mengaji. Tidak apalah, yang penting Bryan mau mengaji. "Lumayan, sudah bertambah bagus, makhorijul huruf
Bryan berdehem pelan, mengatur nafas dan juga detak jantung. Jangan sampai suara yang keluar bukan huruf demi huruf hijaiyah yang telah terangkai, tapi justru getaran suaranya. Ah, bisa-bisa ia malu sendiri nanti untuk menatap mata Zeliya. "Mas? kamu tidur?" suara istrinya terdengar menginterupsi. Bryan segera menegakkan badan. "Bismillah." Hingga kemudian, setelah memohon perlindungan kepada Allah dan memulainya dengan basmallah, Bryan mampu melantunkan ayat suci yang ditunggu-tunggu oleh istrinya. Walau dadanya berdebar, tapi Bryan mampu untuk terus fokus menyelesaikan bacaan hingga akhir dengan mata tertutup. "Shadakallahul adziim." Bryan meraup wajah, mengakhiri hafalannya dengan mata yang tiba-tiba berkaca. Merasa aneh, haru, juga bahagia karena ternyata dirinya bisa menghafal satu surah yang ayatnya lumayan panjang dan banyak. Tidak pernah sebelumnya ia akan berusaha keras untuk hafal, tapi hari ini, nyata adanya. Hanya gara-gara istrinya meminta, ia sampai begadang, belajar
"Ayah Eric di larikan ke rumah sakit. Maaf sebelumnya, aku kira Ayah sekedar cek darah, ternyata beliau benar cuci darah, seperti kata Ardan. Liya, tolong beritahu Bryan pelan-pelan. Kami sekarang lagi di RS Pusat kota.""Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Iya Bang, kami nyusul ke sana? kondisinya sekarang bagaimana Bang?" Zeliya menutup mulutnya sendiri, terkejut dengan kabar tiba-tiba tersebut."Kritis, dokter bilang, Ayah bisa koma sementara hingga esok. Tapi, belum tau bisa sadar kapan pastinya.""Ya Allah. Iya Bang, aku tutup ya, aku dan Mas Bryan segera ke sana.""Iya Liya, fi amanillah."Zeliya mengetuk pintu kamar suaminya, lalu terdengar sahutan dari dalam."Ada apa Zel?" tanya Bryan yang tengah fokus menatap layar laptop di hadapannya."Bisakah, sekarang juga kita bertemu Ayah?" tanya Zeliya dengan tatapan khawatir."Loh, bukannya nanti jam sepuluh? emang kamu nggak kuliah?" tanya Bryan heran, pria itu langsung mematikan laptopnya. Zeliya berjalan mendekat, ia dekap leher su
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada