Sory i baru upload, coz harus finished halal bi halal dulu gaes. Mohon maaf lahir dan batin yah pembaca setiaku wew
Bryan berdehem pelan, mengatur nafas dan juga detak jantung. Jangan sampai suara yang keluar bukan huruf demi huruf hijaiyah yang telah terangkai, tapi justru getaran suaranya. Ah, bisa-bisa ia malu sendiri nanti untuk menatap mata Zeliya. "Mas? kamu tidur?" suara istrinya terdengar menginterupsi. Bryan segera menegakkan badan. "Bismillah." Hingga kemudian, setelah memohon perlindungan kepada Allah dan memulainya dengan basmallah, Bryan mampu melantunkan ayat suci yang ditunggu-tunggu oleh istrinya. Walau dadanya berdebar, tapi Bryan mampu untuk terus fokus menyelesaikan bacaan hingga akhir dengan mata tertutup. "Shadakallahul adziim." Bryan meraup wajah, mengakhiri hafalannya dengan mata yang tiba-tiba berkaca. Merasa aneh, haru, juga bahagia karena ternyata dirinya bisa menghafal satu surah yang ayatnya lumayan panjang dan banyak. Tidak pernah sebelumnya ia akan berusaha keras untuk hafal, tapi hari ini, nyata adanya. Hanya gara-gara istrinya meminta, ia sampai begadang, belajar
"Ayah Eric di larikan ke rumah sakit. Maaf sebelumnya, aku kira Ayah sekedar cek darah, ternyata beliau benar cuci darah, seperti kata Ardan. Liya, tolong beritahu Bryan pelan-pelan. Kami sekarang lagi di RS Pusat kota.""Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Iya Bang, kami nyusul ke sana? kondisinya sekarang bagaimana Bang?" Zeliya menutup mulutnya sendiri, terkejut dengan kabar tiba-tiba tersebut."Kritis, dokter bilang, Ayah bisa koma sementara hingga esok. Tapi, belum tau bisa sadar kapan pastinya.""Ya Allah. Iya Bang, aku tutup ya, aku dan Mas Bryan segera ke sana.""Iya Liya, fi amanillah."Zeliya mengetuk pintu kamar suaminya, lalu terdengar sahutan dari dalam."Ada apa Zel?" tanya Bryan yang tengah fokus menatap layar laptop di hadapannya."Bisakah, sekarang juga kita bertemu Ayah?" tanya Zeliya dengan tatapan khawatir."Loh, bukannya nanti jam sepuluh? emang kamu nggak kuliah?" tanya Bryan heran, pria itu langsung mematikan laptopnya. Zeliya berjalan mendekat, ia dekap leher su
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada
Seminggu sejak Ayahnya di pindahkan ke ruang VVIP, Bryan kini sudah bisa beraktifitas kembali, juga Zeliya yang mulai fokus kuliah dan bekerja di Butik Arham.Hari ini, tepat dimana Ayahnya akan pulang dari rumah sakit karena kondisinya sudah membaik. "Kalau kamu ada kuliah, nggak papa, nggak usah ke rumah sakit Zeliya," ucap Bryan pada istrinya yang tengah mematut diri di cermin, setelah malam yang menjadikan keduanya suami istri seutuhnya, Bryan dan Zeliya menempati hanya satu kamar. Tepatnya di kamar Bryan."Iya Mas, hari ini aku juga ada janji sama dosen untuk konsul skripsiku."Bryan mengangguk, ia memasang hem berwarna biru di tubuhnya. Menjadi outer dari kaos putih polos yang begitu serasi di kulit putih bersihnya. Menghampiri istrinya yang terduduk di meja rias, menatap wajah ayu itu dari pantulan kaca."Ada apa Mas?" tanya Zeliya, membalas tatapan suaminya dari kaca."Kamu selalu cantik di mataku," balas Bryan, membuat wajah Zeliya merona.
Zeliya belakangan memang disibukkan oleh konsultasi skripsi yang dilakukannya di kampus. Padahal, ia sudah negosiasi kepada dua dosen pembimbingnya agar bisa konsultasi online karena ia merasa sering tidak enak badan akhir-akhir ini, tapi sayangnya kedua dosen itu tidak mau tahu, Saat ia berjalan pelan di koridor ruangan para dosen, ia mendapat pesan dari Bryan yakni sang suami. Pria itu juga akhir-akhir ini bertambah sibuk, karena setelah resign dari perusahaan agensi modelnya, kini bergelut mengurus perusahaan Ayahnya yang besar dan memang sedang acak-acakkan, untunglah teman-teman pria itu membantu. [Sayang, maaf, malam ini aku nggak pulang ya, kerjaan aku di kantor banyak banget, nggak kelar-kelar, nggak papa ya, kamu sendirian di rumah?] Zeliya membalas dengan cepat, ia juga ingin segera agar urusan perusahaan suaminya lancar dan cepat selesai, tentu saja ia mengizinkannya, asal Bryan sibuk dengan pekerjaan dan bukan dengan yang lain. [Iya Mas, nggak papa, jangan lupa makan y
Zeliya kembali ke kamar mandi karena ia merasa mual terus menerus, bahkan wajahnya sudah pucat saat ini. Sudah lima kali ia memuntahkan isi perutnya, walau hanya air. Kepalanya pun sangat pening, padahal ia ditarget oleh dosen pembimbingnya untuk menyelesaikan revisi bab dua skripsinya."Zeliya!" panggil Bryan dengan namanya, bukan seperti panggilan biasanya. Zeliya yang hanya mendengar sayup-sayup panggilan itu menyahut dengan lirih dengan keadaan tubuh yang lemah.Derap kaki yang terdengar, membuat Zeliya segera keluar kamar mandi dan mendapati wajah Bryan yang lelah, bahkan pria itu kini memiliki kumis sedikit di bagian bibirnya, mungkin tidak sempat cukur. Zeliya memaksakan senyum manisnya."Kamu udah datang Mas? kamu minum apa?" tanya Zeliya. Kini ia hanya berpakaian tank top, karena ia baru selesai mandi namun ternyata ia kembali muntah terus menerus dan belum sempat berpakaian. Bryan menatap tubuh istrinya dari atas ke bawah, tubuh yang ternyata tidak han
Teringat kembali kata-kata suaminya, Zeliya kembali menitikkan air matanya. Bryan terlihat murka ketika tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan seorang pria di masa lalu. Tapi, ia berani bersumpah, tidak pernah disentuh oleh Reno, dalam artian kehormatannya tidak pernah ia gadaikan kepada pria brengsek itu."Mas... Kalau kamu mau dengerin aku..." lirih Zeliya, berdiri mematung di depan kamar. Ia tahu Bryan pasti mendengarnya, tapi pria itu memilih diam tanpa menyahut. Tidak ingin membuat suaminya semakin murka, akhirnya Zeliya memutuskan untuk pergi dari rumah, karena toh suaminya sudah menyuruhmya untuk pergi. "Mas, kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi," ucap Zeliya sembari menyeka air mata. Ia hanya ingin membiarkan Bryan untuk mencerna semua yang terjadi. Pria itu sedang lelah karena pekerjaan ditambah kedatangan pria bernama Reno yang pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang hubungan sang istri dan pria itu."Tapi, aku mau pergi kemana? Kalau ke rumah Ayah, nant
Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
"Setelah semua yang aku lakukan, adakah jalan tobat bagi wanita seperti aku ini, Zeliya?" lirih Selena seolah terdengar berputus asa. Zeliya mengusap bahunya lembut."Jangan pernah berputus asa, Allah itu maha pengampun. Justru, Allah senang kalau hamba-hamba yang melampaui batas datang kembali padanya. Kamu sudah menyesali semua perbuatanmu, Selena. Kamu hanya perlu memperbaiki diri, hijrah dan banyak solat tobat diiringi istighfar.""Setiap aku ingat momen-momen itu, rasanya malu dan marah pada diriku sendiri.""Itu masa lalu, Selena. Allah nggak akan liat masa lalumu, yang penting masa depanmu ini kamu gunakan sebaik-baiknya buat taat sama Allah, juga membesarkan anakmu dengan sepenuh hati. Dia bisa jadi ladang pahala buatmu.""Aamin, terimakasih Zeliya. Hanya kamu yang nggak menghakimi aku, semua keluargaku mengusirku, menatapku seolah aku adalah wanita yang hina, pelacur dan tidak pantas hidup. Aku bener-bener nggak tau lagi harus gimana.""Ka
Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
Zeliya beranjak dari sajadahnya karena mendengar suara ketukan pintu dan suara orang mengucap salam. Dahinya mengernyit, tumben malam-malam begini ada tamu laki-laki ke rumah Ibunya, kira-kira siapa? "Wa'alaikumussalam, iya sebentar," jawab Zeliya, ia memasang cadar, lalu membuka pintu. Matanya membulat melihat siapa yang datang. "M-mas, k-kenapa kamu ada di sini?" bisik Zeliya lirih. Ia hampir tidak percaya ada sang suami di depan matanya, pasalnya tadi sore Bryan terlihat muak sekali melihat dirinya. Tapi kenapa kini menemuinya? "Sayang, maafkan aku," lirih Bryan dengan raut menyesal. "Siapa tamunya Nak?" Ibu Zeliya bertanya sembali menyusul keluar dari kamar. "Loh, suamimu Nak, ayo ajak ke dalam, malah pada bengong di luar, gimana tho." Syifa tersenyum menyambut menantunya. Bryan segera bersalaman dan menciumi tanyan mertuanya. "Maafkan Bryan Bu, maaf." Wajah Bryan terlihat lesu dan merasa bersalah. Ia pikir istrinya sudah menferutakan keburukan dirinya kepada Iby mertua. "Eh
Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
Teringat kembali kata-kata suaminya, Zeliya kembali menitikkan air matanya. Bryan terlihat murka ketika tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan seorang pria di masa lalu. Tapi, ia berani bersumpah, tidak pernah disentuh oleh Reno, dalam artian kehormatannya tidak pernah ia gadaikan kepada pria brengsek itu."Mas... Kalau kamu mau dengerin aku..." lirih Zeliya, berdiri mematung di depan kamar. Ia tahu Bryan pasti mendengarnya, tapi pria itu memilih diam tanpa menyahut. Tidak ingin membuat suaminya semakin murka, akhirnya Zeliya memutuskan untuk pergi dari rumah, karena toh suaminya sudah menyuruhmya untuk pergi. "Mas, kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi," ucap Zeliya sembari menyeka air mata. Ia hanya ingin membiarkan Bryan untuk mencerna semua yang terjadi. Pria itu sedang lelah karena pekerjaan ditambah kedatangan pria bernama Reno yang pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang hubungan sang istri dan pria itu."Tapi, aku mau pergi kemana? Kalau ke rumah Ayah, nant
Zeliya kembali ke kamar mandi karena ia merasa mual terus menerus, bahkan wajahnya sudah pucat saat ini. Sudah lima kali ia memuntahkan isi perutnya, walau hanya air. Kepalanya pun sangat pening, padahal ia ditarget oleh dosen pembimbingnya untuk menyelesaikan revisi bab dua skripsinya."Zeliya!" panggil Bryan dengan namanya, bukan seperti panggilan biasanya. Zeliya yang hanya mendengar sayup-sayup panggilan itu menyahut dengan lirih dengan keadaan tubuh yang lemah.Derap kaki yang terdengar, membuat Zeliya segera keluar kamar mandi dan mendapati wajah Bryan yang lelah, bahkan pria itu kini memiliki kumis sedikit di bagian bibirnya, mungkin tidak sempat cukur. Zeliya memaksakan senyum manisnya."Kamu udah datang Mas? kamu minum apa?" tanya Zeliya. Kini ia hanya berpakaian tank top, karena ia baru selesai mandi namun ternyata ia kembali muntah terus menerus dan belum sempat berpakaian. Bryan menatap tubuh istrinya dari atas ke bawah, tubuh yang ternyata tidak han
Zeliya belakangan memang disibukkan oleh konsultasi skripsi yang dilakukannya di kampus. Padahal, ia sudah negosiasi kepada dua dosen pembimbingnya agar bisa konsultasi online karena ia merasa sering tidak enak badan akhir-akhir ini, tapi sayangnya kedua dosen itu tidak mau tahu, Saat ia berjalan pelan di koridor ruangan para dosen, ia mendapat pesan dari Bryan yakni sang suami. Pria itu juga akhir-akhir ini bertambah sibuk, karena setelah resign dari perusahaan agensi modelnya, kini bergelut mengurus perusahaan Ayahnya yang besar dan memang sedang acak-acakkan, untunglah teman-teman pria itu membantu. [Sayang, maaf, malam ini aku nggak pulang ya, kerjaan aku di kantor banyak banget, nggak kelar-kelar, nggak papa ya, kamu sendirian di rumah?] Zeliya membalas dengan cepat, ia juga ingin segera agar urusan perusahaan suaminya lancar dan cepat selesai, tentu saja ia mengizinkannya, asal Bryan sibuk dengan pekerjaan dan bukan dengan yang lain. [Iya Mas, nggak papa, jangan lupa makan y
Seminggu sejak Ayahnya di pindahkan ke ruang VVIP, Bryan kini sudah bisa beraktifitas kembali, juga Zeliya yang mulai fokus kuliah dan bekerja di Butik Arham.Hari ini, tepat dimana Ayahnya akan pulang dari rumah sakit karena kondisinya sudah membaik. "Kalau kamu ada kuliah, nggak papa, nggak usah ke rumah sakit Zeliya," ucap Bryan pada istrinya yang tengah mematut diri di cermin, setelah malam yang menjadikan keduanya suami istri seutuhnya, Bryan dan Zeliya menempati hanya satu kamar. Tepatnya di kamar Bryan."Iya Mas, hari ini aku juga ada janji sama dosen untuk konsul skripsiku."Bryan mengangguk, ia memasang hem berwarna biru di tubuhnya. Menjadi outer dari kaos putih polos yang begitu serasi di kulit putih bersihnya. Menghampiri istrinya yang terduduk di meja rias, menatap wajah ayu itu dari pantulan kaca."Ada apa Mas?" tanya Zeliya, membalas tatapan suaminya dari kaca."Kamu selalu cantik di mataku," balas Bryan, membuat wajah Zeliya merona.
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada