"Zeliya?" panggil Bryan. "Kalau kamu keberatan, aku minta bantuan Alex aja," lanjut Bryan dengan senyum tipis di bibirnya.
"Aku bisa," cetus Zeliya membuat senyum Bryan bertambah lebar.
"Ayo masuk," ajak Bryan, ia melangkah lebih dulu ke dalam rumah Alex, di susul oleh Zeliya.
"Kenapa rumah ini sepi Mas? kemana orang-orangnya?" tanya Zeliya setelah mengucap salam dan yang menjawab hanya suaminya.
"Ayah Alex ada urusan ke luar, dua adik Alex sekolah dan Alex, entah kemana pria itu," sahut Bryan, ia celingukan. "Lex! lo dimana?" teriaknya, namun tidak ada yang menyahut.
"Ayo, masuk ke kamar, ini disediakan khusus buatku, Alex tidur di ruang tamu setelah aku ke sini," jelas Bryan.
"Hah? kamu tega membiarkan dia tidur di ruang tamu Mas? dia 'kan pemilik rumah ini," kaget Zeliya.
"Dia maunya begitu, paling kalau ke dinginan ya masuk ke kamar Bapaknya," terang Bryan, ia mengambil celana di dalam lemari begitupula baju, semuanya milik
Walau sensasi aneh kembali ia rasakan dari sentuhan tangan dingin itu, tapi Zeliya merasakan sesuatu hal yang tidak tereskpresikan. Hatinya berbunga-bunga. "Berubah itu, tidak bisa karena manusia Mas, kalau kamu berubah hanya gara-gara seseorang, tidak akan bertahan lama. Bukan aku tidak mendukung hijrah seseorang karena orang lain, hanya saja, aku memperingatkan sedari awal, jika niat hati masih karena orang lain, maka coba ubahlah menjadi semata karena Allah, ikhlas berubah, karena merasa kita hamba Allah, yang tugasnya beribadah dan taat padanya." Zeliya memastikan jika pria di depannya ini meluruskan niat, jangan sampai hanya karena seseorang atau manusia semata.Bryan menggeleng, semakin meremas jemari istrinya, meyakinkan wanita di depannya, bahwa ia benar-benar ingin berubah. "Kamu tau Zeliya. Bagaimana aku menyadari suatu hal? bagaimana aku bisa teringat bahwa ada dimensi lain dari dunia ini, bahwa aku hanyalah manusia yang butuh terhadap Tuhan?"Zeliya hanya diam, menyimak d
Mobil Lucinta sampai di depan gerbang PH, ternyata disana sudah bejibun para wartawan, memotret berkali-kali, ada yang meneriaki nama Bryan, Selena, hingga mengetuk-ngetuk kaca mobil."Lo liat Bry! lo udah kaya artis aja, padahal baru jadi model kemarin sore," komentar Lucinta sambil mengendarai roda empatnya dengan hati-hati. Tiga satpam langsung mengawal mereka."Dia Bryan Davidson!" teriak salah satu wartawan. "Buka! buka kacanya! kami perlu penjelasan!" lanjutnya seperti orang gila. Lucinta hanya menggeleng-gelengkan kepala, netizen Indonesia mulai mengalami peningkatan agresifitas dalam mencari informasi."Pasti aku sudah terkenal di Indonesia, aku tebak, sampai di daerah pedalaman Kalimantan pun, bisa-bisa, orang tau namaku," timpal Bryan tertawa getir. "Kalau karir modelku hancur setelah ini, adakah panggung buatku, untuk jadi artis Cinta?" tanya Bryan.Lucinta menoleh ke arah modelnya yang tampan itu, lalu tertawa. "Tentu, keselamatan bagimu wahai
"Karena hari ini perpisahan antara gue dan lo, ya sudahlah, gue anter lo ke konter hape," ucap Lucinta, setelah Bryan memintanya mengantar ke toko penjualan ponsel.Setelah memilih benda pipih yang diinginkan, Bryan langsung meminta nomor ponsel istrinya pada Lucinta. "Minta nomor istri gue," ujar Bryan."Lah lah, lo nggak hafal nomor dia?" kesal Lucinta. Bryan menjotos pelan bahu Lucinta."Kalau gue cinta, emang harus ya selalu hafal tentang dia? ckck, gue bahkan nggak tau ukuran baju dalamnya.""Hah?" Lucinta menganga mendengar penutuan Bryan. "Eh jangan bilang lo nggak pernah... anu?" tanya Lucinta sembari menempelkan kedua tangannya di depan wajah.Bryan melirik kesal, "nggak usah di bahas! lo pergi duluan aja, gue mau ke kampus setelah ini," usir Bryan, membuat Lucinta mendengus kesal."Dasar nggak tau diri, nggak tau terimakasih pula," gerutunya yang masih di dengar oleh Bryan."Lo boleh main kapan-kapan ke rumah gue, jangan lup
"Kita ke pasar tradisional dulu ya Mas?" tanya Zeliya, ia ingat bahwa bahan-bahan makanan mungkin sudah habis di rumah. Apalagi, ia beberapa hari tidak ke sana. Bryan mengangguk."Pak, ke pasar tradisional ya Pak," ucap Bryan pada supir.Mobil taksi itu berhenti tepat di depan pasar tradisional. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai kegiatan masing-masing yang menyibukkan. Ada sopir angkot yang terlihat berusaha menarik pelanggan, sambil sesekali menyeka keringat, ada ibu-ibu yang terlihat kerepotan membawa barang belanjaan, ada para pedagang yang sibuk melayani pembeli, hingga suara anak menangis yang minta di belikan sesuatu oleh Ibunya yang menambah berisik suasana pasar siang ini."Kamu mau kemana Mas? nggak tunggu disini aja?" tanya Zeliya saat suaminya malah ikut turun. Matanya menatap ke arah perut Bryan yang bisa jadi masih sakit."Aku ikut kamu, tenang aja, aku bisa di andalkan kok," ujar Bryan dengan percaya diri dan senyum lebar. Zeliya hanya menggeleng melihat kelakua
Bryan mematikan ponselnya dengan segera, ia menoleh ke belakang, di mana istrinya memperhatikannya dalam diam, ah wajahnya ternyata tidak memakai cadar, membuat tangan Bryan terasa gatal ingin menyentuhnya."Siapa Mas? kalau boleh tau," tanya Zeliya pelan, ia melihat raut Bryan terlihat merah. Nafas pria itu menderu keras. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya seperti itu."Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu masak, aku harus menemui Angkasa, dia menculik Ferinand," jelas Bryan menjawab pertanyaan dari istrinya."Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Angkasa? Angkasa yang katanya ikut jebak kamu sama Selena?" tanya Zeliya sembari mencuci tangannya yang tadi habis membersihkan ikan."Iya," jawab Bryan, istrinya mungkin beberapa kali mendengar nama Angkasa, hanya saja tidak tahu orangnya yang mana."Ya Allah, kenapa Ferdinand yang di culiknya? dia ngancam kamu?" tanya Zeliya lagi. Bryan mengangguk dengan cepat, ia berjalan mendekat."Mas, keada
"Saudara Angkasa, anda kami tangkap terkait kasus pelecehan seksual berencana, penipuan dan penyalahgunaan dana investor, serta penganiayaan!"Salah satu polisi maju mendekat, menodongkan senjata, ia menginterupsi kepada yang lain, untuk semakin waspada. Sedangkan Angkasa, ia mematung di tempat. Wajahnya memucat, tenggorokannya terasa mengering.Satu polisi maju lagi, membawa serta sebuah kertas, lalu di tunjukkan ke depan Angkasa. "Surat perintah telah di keluarkan untuk menangkap anda! mari ikut kami untuk interogasi lebih lanjut!" ucapnya dengan nada tegas.Lima orang polisi lainnya maju serentak dan langsung membekuk Angkasa, memberi borgol di tangannya. Sedangkan Geng Suzeki bergetar di tempatnya. Mereka sangat takut dengan keberadaan polisi, tapi karena tidak ada yang bergerak menangkap, Suzeki diam-diam menyuruh temannya untuk segera pergi dengan perlahan."Kami akan menangkap orang-orang yang terkait dengan kasus penganiayaan ini, kalian!" t
Akhirnya Zeliya mengangguk, ia memberanikan diri menatap netra elang milik suaminya. "Iya Mas, sedari awal, niatku cuma satu, membina rumah tangga karena Allah, ingin mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warrahmah sesuai tuntunan nabi. Tapi, setelah kamu menolak, aku sudah menyiapkan diri untuk mundur, mungkin... akan membina dengan yang lain.""Kalau begitu... kita wujudkan bersama? kamu mau? sama aku mewujudkan rumah tangga yang kamu maksud?" tanya Bryan dengan suara beratnya. Tatapan pria itu yang dalam, membuat wajah Zeliya terasa kaku, ia bahkan sulit untuk tersenyum di situasi ini."Bismillah Mas, semoga Allah mudahkan kita," lirih Zeliya, ia membuang wajah, merasa tangannya masih di genggam hangat oleh suaminya. "Sudahkah pembicaraan kita Mas? aku mau kembali ke kamar," imbuh Zeliya.Bryan melepaskan genggamannya. Berdehem pelan untuk menetralkan suasana. Zeliya segera bangkit dengan wajah memerah, kesepakatan bersama ini entah mengapa membuatnya lebih be
Hanya anggukkan yang di berikan oleh Zeliya, namun cukup membuat kepercayaan diri Bryan bangkit, padahal awalnya ia merasa Insecure begitu menawarkan untuk menjadi imam salat. Bukankah menjadi imam salat adalah langkah kecil untuk kemudian belajar menjadi sebenar-benar imam dalam rumah tangga?Di dalam kamar, bibir tipis Zeliya mengukir senyum manis. Ia tidak menduga akan secepat ini ia dan Bryan menjadi begitu dekat rasanya. "Dia mau jadi imam salatku?" lirih Zeliya sembari memegang dadanya.Salat subuh kali ini rasanya begitu berbeda, untuk pertama kalinya ia salat berjamaah lagi di rumah setelah kepergian sang Ayah, yang sesekali mengimami ia dan Ibunya untuk salat. Air mata Zeliya tidak berhenti meleleh saking terharunya, apalagi mendengar bacaan suaminya walau terdengar gugup, tapi menurut Zeliya sudah cukup bagus. Ia yakin, Bryan pasti berusaha kerasa untuk belajar mengimami salat, entah pada siapa pria itu belajar.Setelah mengucap salam terakhir, Bryan mengusap wajahnya. Ia be