Setelah kejadian itu, Alisa di antar ke rumah kontrakannya oleh keluarga Zaki. Dia juga baru mengetahui bahwa laki-laki yang menolongnya tadi bernama Zaki, dan ibunya bernama Fatimah. Sedangkan seorang wanita lainnya lagi bernama Zahra.
Mereka mengantarnya sampai ke depan rumahnya dan Alisa berterima kasih banyak karena mereka telah menolong dirinya. Sebab, entah apa yang akan terjadi kalau tadi mereka tidak menolongnya. Namun, yang membuatnya lebih bersyukur lagi adalah karena dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Alisa tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia sampai bertemu dengan laki-laki itu tadi. "Ya, Allah apa lagi rencana-Mu untuk hamba?" apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Alisa sambil menatap potret dirinya di dalam cermin. Kata orang, dia memiliki struktur wajah yang mirip dengan abinya, sedangkan alis dan matanya mirip dengan uminya. Terlihat cantik. “Abi.. umi.. Alisa rindu" gumam Alisa dengan wajah berlinang air mata. Pada waktu seperti ini, biasanya dia sedang membantu uminya untuk menyiapkan makan malam. Kemudian, mereka akan makan bersama sebelum melakukan shalat isya di masjid. Apa yang terjadi di malam pengusiran membuat Alisa merasa sesak. Sebab, sudah pasti kenangan itu tak akan bisa berputar kembali. Ia sungguh menyesal. Jika waktu bisa diulang, pasti dia tidak akan memaksa untuk keluar sendiri hanya untuk mencetak foto. Ingatan yang sengaja Alisa putar membuat jantungnya berdebar kencang dan dadanya terasa sesak sehingga ia buru-buru mengambil air untuk diminum. Hingga saat ini, Alisa masih terus berusaha mengendalikan diri agar terlihat baik-baik saja. Ia harap dia bisa melewati ini semua dengan tetap mempertahankan anak di kandungannya. Sebab, sekarang hanya dia satu-satunya keluarga yang Alisa miliki. * Di sisi lain, Zaki dan ibunya sedang berada di meja makan. Seperti biasa, mereka menikmati makan malam bersama karena telah menjadi tradisi. Semua berjalan lancar, hingga sampai di mana tiba-tiba saja Fatimah melontarkan pertanyaan yang membuat Zaki kaget. "Bagaimana dengan Alisa?" tanya Fatimah. Lontaran pertanyaan itu sempat membuat Zaki menghentikan kegiatannya mengambil kerupuk. Namun, kemudian tangan itu kembali bergerak untuk meletakkan kerupuk di atas nasi. "Bagaimana apanya, Bu?" Zaki balik bertanya, karena dia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud oleh Fatimah. "Jangan pura-pura tidak tahu, Zaki. Memangnya kamu tidak ingin menikah? Bukankah tahun ini usia kamu sudah memasuki kepala tiga? Ibu sudah ingin memiliki cucu. Apa kamu ingin menikah kalau ibu sudah tidak ada lagi?" "Kenapa ibu bilang begitu? Zaki tidak suka kalau ibu ngomong kayak gitu!" tukas Zaki kesal. Dia sebenarnya tidak menyukai pembicaraan mereka kali ini. Sebab, setiap kali Fatimah berbicara tentang pernikahan, itu membuatnya merasa tidak berbakti sebagai seorang anak. "Ya, kalau kamu tidak suka, kenapa harus terus menolaknya? Ibu menyukai Alisa dan menurut ibu, dia adalah perempuan yang paling tepat untuk kamu. Alisa cantik dan juga inysaAllah shaliha. Jadi ibu yakin kalau dia benar-benar perempuan yang tepat untuk kamu." jelas Fatimah panjang lebar. "Lalu, kenapa harus Alisa, Bu? Kita kan baru saja sekali bertemu dengannya, itu pun dalam kondisi kurang baik. Jadi, bagaimana bisa ibu tiba-tiba meminta Zaki untuk menikahinya?" jawab Zaki dengan kesal. Ia sungguh tidak habis pikir dengan Ibunya. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu bicara seolah-olah semua itu bisa dilakukan dengan begitu mudah? Padahal, menikah itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Sebab, ada banyak hal yang harus dipersiapkan dari segi ekonomi hingga mental. Untuk saat ini, mentalnya belum siap untuk menikah karena dia masih merasa nyaman dengan dirinya saat ini. "Terus mau sampai kapan, Zaki? Mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Kamu memang tidak menyayangi, Ibu!" ucap ibunya dengan nada yang penuh kekecewaan. "Bu, cukup! Kita sudah sering membahasnya. Oleh karena itu, jangan terus memaksa Zaki untuk menikahi wanita ini, wanita itu, dan lainnya. Zaki yakin kalau Allah akan mempersiapkan jodoh yang terbaik untuk Zaki. Jadi, Zaki harap pembicaraan ini selesai sampai di sini." "Tapi, Zaki-" "Zaki pergi dulu, Bu. Ada kegiatan di masjid. Assalamu'alaikum." pamit pemuda itu sembari mencium tangan Fatimah. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih duduk di meja makan. Selain shalat isya, masjid yang berada di dekat rumah Zaki juga mengadakan pengajian rutin bersama dengan anak-anak dan remaja. Belum sampai di masjid, Zaki telah lebih dulu kaget ketika melihat ada seorang laki-laki yang terus berdiri di depan masjid. Seakan sedang mengawasi sesuatu. Namun, Zaki tetap acuh tak acuh dan berusaha untuk tidak peduli dengan semua itu. Oleh karena itu, Zaki memilih untuk pergi melewati pria itu tanpa menegur. Hanya saja, belum sempat Zaki bisa melangkah melewati si laki-laki itu, langkahnya telah lebih dulu terhadang. Ya, laki-laki itu adalah Damian. Dia sengaja menghalangi langkah Zaki karena Damian yakin kalau Zaki mengetahui keberadaan wanita yang ia cari. "Permisi," pamit Zaki yang ingin pergi melewati Damian. Namun, Damian masih tetap berdiri di posisinya dengan wajah yang terlihat begitu angkuh. Bahkan ia tak bergerak sesenti pun dari tempatnya semula. "Aku yakin kau mengetahui keberadaan wanita itu" kata Damian yang membuat Zaki mengangkat satu alisnya dengan heran. Apa yang di maksud pria di hadapannya ini adalah Alisa? "Maaf, saya tidak mengerti dengan apa yang Anda katakan,” jawab Zaki. Pria itu lantas mencoba untuk mengambil jalan memutar agar Damian tidak bisa menghalanginya. Namun, langkahnya kembali dihalangi oleh Damian dan kali ini tindakan pria itu terlihat lebih brutal lagi. Tanpa basa-basi, Damian menarik kerah baju Zaki dan memaksa pria itu untuk menatap ke arahnya. "Aku yakin kau mengerti dengan apa yang kumaksud. Aku mencari seorang wanita bercadar yang aku yakin masuk ke dalam bangunan itu. Jadi, katakan di mana wanita itu sekarang!" geram Damian yang masih berusaha menahan amarahnya agar tidak bersikap brutal. Apa yang terjadi membuat Zaki menanggapinya dengan santai. Dia tidak ingin gegabah, karena dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua. Jadi, dia harus ekstra berhati-hati untuk memberikan jawaban. "Pertama, saya tidak mengenal Anda. Kedua saya juga tidak tau wanita mana yang Anda maksud karena yang masuk ke masjid ini bukan hanya satu orang saja. Jadi, saya tidak mengetahui perempuan yang Anda cari. Permisi!" Zaki menyentak tangan Damian dari kerah bajunya dan langsung meninggalkan pria itu di depan masjid. Ia lalu berjalan memasuki masjid untuk mengambil wudhu karena waktu sholat isya sudah dimulai. Sementara Damian, dia masih sangat yakin dengan pendiriannya. Sebab, selama ini instingnya tidak pernah salah. Sebelum pergi dari sana, tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang berkilau terkena lampu masjid. Rasa penasaran membawa Damian mendekati benda tersebut dan menemukan sebuah kalung perak dengan liontin kecil berukir sebuah huruf. "A?" gumam Damian. Entah mengapa, hati kecil Damian berkata kalau kalung itu adalah milik perempuan yang ia cari. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, suara ponsel telah lebih dulu merusak imajinasinya. "Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda butuhkan, Pak." ucap Jack dari seberang telepon. Perkataan pria itu langsung membuat Damian buru-buru memasukkan liontin itu ke saku dan pergi. Kepergian Damian juga di ketahui oleh Zaki yang diam-diam memperhatikannya dari jauh.Saat Damian masuk ke dalam ruangan, Jack langsung berdiri dan menyambut kedatangannya dengan sigap. "Semua yang Anda butuhkan ada di dalamnya, Pak" ucap Jack kepada Damian.Perkataan Jack membuat Damian mengambil map coklat itu tanpa basa-basi. Baris demi baris ia baca hingga akhirnya netra coklatnya menangkap deretan huruf kapital yang tersusun menjadi sebuah nama, "Alisa Al-Humaira"."Alisa," ucapnya untuk memvalidasi setelah mengetahui bahwa wanita yang dicarinya bernama Alisa.Ternyata, memang tidak sia-sia dia menghabiskan banyak uang untuk menyuruh para anak buahnya untuk mencari informasi tentang wanita yang bersamanya malam itu. Dia melakukan semuanya karena dia ingin bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Namun, entah kenapa dia mau mengejar wanita itu sejauh ini. Padahal, selama ini dia bisa mendapatkan wanita manapun yang diinginkan tanpa harus bersusah payah. Bahkan mereka dengan sukarela menyerahkan diri untuk naik ke atas ranjangnya."Apa alamatnya jauh dari sini?"
"Jelaskan kenapa ini bisa ada di tempat sampahmu, Alisa!!" sentak Usman dengan nada tinggi kepada Alisa yang saat ini tengah menatapnya dengan terkejut. Semua orang di ruangan itu terdiam kala Kyai pemilik pondok pesantren itu tiba-tiba datang sembari melemparkan sebuah benda putih ke atas meja.Dengan gemetar Alisa meraih benda itu dan menyimpannya di pangkuan. “A-abi..”PLAK!!"Katakan pada Abi, Alisa! Darimana kamu mendapatkan benda ini?!!" suara Usman semakin meninggi. Bahkan kali ini ia berani main tangan dengan putri yang selama ini selalu ia didik dengan lembut.Kisah hidup Alisa sejak ia bayi, belajar berjalan, masuk tsanawiyah dan aliyah kini berputar di kepala pria paruh baya itu dan membuatnya semakin sesak. Diam-diam ia berharap kalau benda itu hanyalah bentuk keisengan putrinya semata. Namun, garis dua di testpack itu menunjukkan kalau benda itu pernah digunakan dan memberi hasil yang positif.Sikap Alisa yang tak kunjung menjawab membuat Usman semakin muntab. Dengan se
"Bagaimana, apa kalian sudah menemukan wanita itu?" tanya Damian ketika melihat anak buahnya yang baru saja datang. "Belum, Pak. Kami belum menemukannya, karena-" BRAK!! Damian menggebrak meja kerjanya karena terlalu kesal. Dia sangat kesal "Apa tanya yang kalian kerjakan, hah? Hanya mencari seorang wanita seperti itu saja kalian tidak bisa! Dasar bodoh!" umpat Damian. Dia merasa kesal karena anak buahnya tidak bisa menemukan keberadaan wanita itu. Padahal dia telah menerangkan dengan jelas lokasi ia merudapaksa wanita itu dan menunjukkan fotonya. Tepat sebelum dia pergi meninggalkan wanita itu pada malam terjadinya pemerkosaan, Damian sempat mengambil foto wanita itu yang tampaknya baru saja dicetak. Setiap harinya dia dihantui dengan rasa bersalah. Dia juga sering dimimpikan oleh seorang wanita yang menangis di bawah guyuran hujan sambil memegangi perutnya. Entah mengapa Damian berpikir bahwa wanita itu mengandung anaknya. Bagaimana kalau wanita itu sedang mengand
Alisa menarik nafasnya dalam dalam sebelum kembali menghembuskannya perlahan. Hari ini dia benar-benar akan memulai hidupnya yang baru. Dia sudah memutuskan bahwa dia akan mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Dia akan bekerja, dan semoga saja dia bisa mendapatkan pekerjaan hari ini. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya sebelum keluar dari rumah kontrakannya. Langkah kaki mungilnya membawa dia berjalan menyusuri kota kecil tempat di mana dia tinggal sekarang. Gamis syar'i berwarna hijau miliknya. Terlihat sangat indah saat dia tengah mengenakannya. Sepanjang jalan yang di lewatinya, banyak orang-orang yang terus melihat ke arahnya. Bahkan mereka juga memperhatikan dirinya dengan begitu detail. Terkadang Alisa berpikir apakah salah jika seorang wanita menutup auratnya. Mereka baru saja mengatakan arahnya seolah-olah apa yang dipakainya itu salah. Tapi Alisa tidak peduli dengan semua itu Karena dia akan terus melakukan dan memakainya. Sudah tidak dulu dia mengalami hal s
Sepeninggal pria itu, jantung Alisa masih terasa berdebar kencang dan dadanya terasa sesak karena harus menahan dirinya yang benar-benar ketakutan. Bayangan kilas balik adegan itu terus berputar di kepalanya hingga membuat Alisa dipenuhi oleh keringat dingin. Tanpa sadar, suara isak tangis yang ia sedari awal berusaha Alisa tahan mulai keluar dengan bebas. Air mata yang keluar dari matanya pun semakin deras hingga membasahi cadar yang Alisa kenakan. "Astaghfirullah, kamu siapa?" Suara seorang pria membuat isakan Alisa sontak berhenti dan menatap ke arah sumber suara. Saat ini di depannya, berdiri seorang pria dengan celana cingkrang dan baju koko berwarna putih. Sosok pria itu mendekatinya dan Alisa semakin mundur ke belakang. Dia mulai ketakutan ketika melihat laki-laki itu. Apalagi saat laki-laki itu ingin menyentuhnya. "Jangan sentuh aku! Aku mohon jangan sentuh aku," ucapnya dengan perasaan takut. Bayangan kejadian malam itu membuat Alisa bertarung dengan memori dalam