Share

Bab. 05

Setelah kejadian itu, Alisa di antar ke rumah kontrakannya oleh keluarga Zaki. Dia juga baru mengetahui bahwa laki-laki yang menolongnya tadi bernama Zaki, dan ibunya bernama Fatimah. Sedangkan seorang wanita lainnya lagi bernama Zahra.

Mereka mengantarnya sampai ke depan rumahnya dan Alisa berterima kasih banyak karena mereka telah menolong dirinya. Sebab, entah apa yang akan terjadi kalau tadi mereka tidak menolongnya.

Namun, yang membuatnya lebih bersyukur lagi adalah karena dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Alisa tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia sampai bertemu dengan laki-laki itu tadi.

"Ya, Allah apa lagi rencana-Mu untuk hamba?" apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Alisa sambil menatap potret dirinya di dalam cermin. Kata orang, dia memiliki struktur wajah yang mirip dengan abinya, sedangkan alis dan matanya mirip dengan uminya. Terlihat cantik.

“Abi.. umi.. Alisa rindu" gumam Alisa dengan wajah berlinang air mata.

Pada waktu seperti ini, biasanya dia sedang membantu uminya untuk menyiapkan makan malam. Kemudian, mereka akan makan bersama sebelum melakukan shalat isya di masjid.

Apa yang terjadi di malam pengusiran membuat Alisa merasa sesak. Sebab, sudah pasti kenangan itu tak akan bisa berputar kembali. Ia sungguh menyesal. Jika waktu bisa diulang, pasti dia tidak akan memaksa untuk keluar sendiri hanya untuk mencetak foto.

Ingatan yang sengaja Alisa putar membuat jantungnya berdebar kencang dan dadanya terasa sesak sehingga ia buru-buru mengambil air untuk diminum. Hingga saat ini, Alisa masih terus berusaha mengendalikan diri agar terlihat baik-baik saja.

Ia harap dia bisa melewati ini semua dengan tetap mempertahankan anak di kandungannya. Sebab, sekarang hanya dia satu-satunya keluarga yang Alisa miliki.

*

Di sisi lain, Zaki dan ibunya sedang berada di meja makan. Seperti biasa, mereka menikmati makan malam bersama karena telah menjadi tradisi. Semua berjalan lancar, hingga sampai di mana tiba-tiba saja Fatimah melontarkan pertanyaan yang membuat Zaki kaget.

"Bagaimana dengan Alisa?" tanya Fatimah.

Lontaran pertanyaan itu sempat membuat Zaki menghentikan kegiatannya mengambil kerupuk. Namun, kemudian tangan itu kembali bergerak untuk meletakkan kerupuk di atas nasi.

"Bagaimana apanya, Bu?" Zaki balik bertanya, karena dia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud oleh Fatimah.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Zaki. Memangnya kamu tidak ingin menikah? Bukankah tahun ini usia kamu sudah memasuki kepala tiga? Ibu sudah ingin memiliki cucu. Apa kamu ingin menikah kalau ibu sudah tidak ada lagi?"

"Kenapa ibu bilang begitu? Zaki tidak suka kalau ibu ngomong kayak gitu!" tukas Zaki kesal.

Dia sebenarnya tidak menyukai pembicaraan mereka kali ini. Sebab, setiap kali Fatimah berbicara tentang pernikahan, itu membuatnya merasa tidak berbakti sebagai seorang anak.

"Ya, kalau kamu tidak suka, kenapa harus terus menolaknya? Ibu menyukai Alisa dan menurut ibu, dia adalah perempuan yang paling tepat untuk kamu. Alisa cantik dan juga inysaAllah shaliha. Jadi ibu yakin kalau dia benar-benar perempuan yang tepat untuk kamu." jelas Fatimah panjang lebar.

"Lalu, kenapa harus Alisa, Bu? Kita kan baru saja sekali bertemu dengannya, itu pun dalam kondisi kurang baik. Jadi, bagaimana bisa ibu tiba-tiba meminta Zaki untuk menikahinya?" jawab Zaki dengan kesal.

Ia sungguh tidak habis pikir dengan Ibunya. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu bicara seolah-olah semua itu bisa dilakukan dengan begitu mudah? Padahal, menikah itu tidak semudah membalikan telapak tangan.

Sebab, ada banyak hal yang harus dipersiapkan dari segi ekonomi hingga mental. Untuk saat ini, mentalnya belum siap untuk menikah karena dia masih merasa nyaman dengan dirinya saat ini.

"Terus mau sampai kapan, Zaki? Mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Kamu memang tidak menyayangi, Ibu!" ucap ibunya dengan nada yang penuh kekecewaan.

"Bu, cukup! Kita sudah sering membahasnya. Oleh karena itu, jangan terus memaksa Zaki untuk menikahi wanita ini, wanita itu, dan lainnya. Zaki yakin kalau Allah akan mempersiapkan jodoh yang terbaik untuk Zaki. Jadi, Zaki harap pembicaraan ini selesai sampai di sini."

"Tapi, Zaki-"

"Zaki pergi dulu, Bu. Ada kegiatan di masjid. Assalamu'alaikum." pamit pemuda itu sembari mencium tangan Fatimah. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih duduk di meja makan.

Selain shalat isya, masjid yang berada di dekat rumah Zaki juga mengadakan pengajian rutin bersama dengan anak-anak dan remaja. Belum sampai di masjid, Zaki telah lebih dulu kaget ketika melihat ada seorang laki-laki yang terus berdiri di depan masjid. Seakan sedang mengawasi sesuatu.

Namun, Zaki tetap acuh tak acuh dan berusaha untuk tidak peduli dengan semua itu. Oleh karena itu, Zaki memilih untuk pergi melewati pria itu tanpa menegur.

Hanya saja, belum sempat Zaki bisa melangkah melewati si laki-laki itu, langkahnya telah lebih dulu terhadang.

Ya, laki-laki itu adalah Damian.

Dia sengaja menghalangi langkah Zaki karena Damian yakin kalau Zaki mengetahui keberadaan wanita yang ia cari.

"Permisi," pamit Zaki yang ingin pergi melewati Damian. Namun, Damian masih tetap berdiri di posisinya dengan wajah yang terlihat begitu angkuh. Bahkan ia tak bergerak sesenti pun dari tempatnya semula.

"Aku yakin kau mengetahui keberadaan wanita itu" kata Damian yang membuat Zaki mengangkat satu alisnya dengan heran.

Apa yang di maksud pria di hadapannya ini adalah Alisa?

"Maaf, saya tidak mengerti dengan apa yang Anda katakan,” jawab Zaki. Pria itu lantas mencoba untuk mengambil jalan memutar agar Damian tidak bisa menghalanginya.

Namun, langkahnya kembali dihalangi oleh Damian dan kali ini tindakan pria itu terlihat lebih brutal lagi. Tanpa basa-basi, Damian menarik kerah baju Zaki dan memaksa pria itu untuk menatap ke arahnya.

"Aku yakin kau mengerti dengan apa yang kumaksud. Aku mencari seorang wanita bercadar yang aku yakin masuk ke dalam bangunan itu. Jadi, katakan di mana wanita itu sekarang!" geram Damian yang masih berusaha menahan amarahnya agar tidak bersikap brutal.

Apa yang terjadi membuat Zaki menanggapinya dengan santai. Dia tidak ingin gegabah, karena dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua. Jadi, dia harus ekstra berhati-hati untuk memberikan jawaban.

"Pertama, saya tidak mengenal Anda. Kedua saya juga tidak tau wanita mana yang Anda maksud karena yang masuk ke masjid ini bukan hanya satu orang saja. Jadi, saya tidak mengetahui perempuan yang Anda cari. Permisi!"

Zaki menyentak tangan Damian dari kerah bajunya dan langsung meninggalkan pria itu di depan masjid. Ia lalu berjalan memasuki masjid untuk mengambil wudhu karena waktu sholat isya sudah dimulai.

Sementara Damian, dia masih sangat yakin dengan pendiriannya. Sebab, selama ini instingnya tidak pernah salah. Sebelum pergi dari sana, tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang berkilau terkena lampu masjid.

Rasa penasaran membawa Damian mendekati benda tersebut dan menemukan sebuah kalung perak dengan liontin kecil berukir sebuah huruf.

"A?" gumam Damian.

Entah mengapa, hati kecil Damian berkata kalau kalung itu adalah milik perempuan yang ia cari. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, suara ponsel telah lebih dulu merusak imajinasinya.

"Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda butuhkan, Pak." ucap Jack dari seberang telepon.

Perkataan pria itu langsung membuat Damian buru-buru memasukkan liontin itu ke saku dan pergi. Kepergian Damian juga di ketahui oleh Zaki yang diam-diam memperhatikannya dari jauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status