"Mas, kamu di mana? Aku udah nungguin satu jam nih!" umpat Bianca lewat sambungan telepon.
"Iya, Sayang. Bentar. Ini masih narik, tadi pas abis nganterin penumpang, aku udah mau balik, eh di stop sama penumpang. Ya udah aku ambil sewanya, lumayan 'kan nambah duitnya.""Ya deh, awas kalau kamu boong ya, Mas.""Tenang, Sayang. Mas nggak akan pernah berbohong semenjak menjadi suami kamu."Bianca mematikan sambungan telepon dan lebih memilih untuk menonton televisi sembari menunggu Agung pulang ke rumah. Bianca berharap Agung benar berubah, setelah menikah dengannya. Meskipun suara sumbang sering Bianca dengar tentang Agung, tapi dia lebih menganggap itu angin lalu saja. Walaupun awalnya, tidak mudah bagi Bianca mengambil keputusan yang berat saat itu, saat diri ini lebih memilih bersama dengan suami orang ketimbang lelaki lajang. Hatinya seperti sudah terikat erat dengan Agung.Saat menonton televisi, Bianca tampak melamun teringat kenangan saat awal pertama bertemu dengan Agung."Mas, ojek 'kan?" panggilnya ketika melihat lelaki bertubuh ideal sedang berenti di pinggir jalan."Iya, Mbak. Mau ke mana?" tanyanya. Mata mereka beradu pandang, bola matanya yang kecoklatan di tambah dengan senyumnya yang memukau membuat jantung Bianca berdetak tidak karuan."Ke kampung dalam, Mas. Bisa?" Bianca yang baru saja pulang dari swalayan yang ada di kota. Di kampungnya ternyata masih berlaku ojek pengkolan, ojek online tidak boleh memasuki beberapa kampung di kabupaten yang dia tinggali."Bisa, Mbak. Nih, dipakai dulu helmnya. Nanti biar selamat sampai rumah, sama biar kamu Mbak-nya nggak berantakan. Apalagi rambut Mbak bagus dan wangi," pujinya. Aku tersenyum malu merespon ucapannya itu.Dia begitu pelan mengendarai sepeda motornya, Bianca dibuat seperti menikmati keindahan kampung halaman yang penuh dengan persawahan ini."Mbak, mbak warga baru kampung dalam, ya?" tanyanya memecahkan keheningan suasana perjalanan."Enggak, kok, Pak. Saya baru pulang dari rantau dua hari ini," jawab Bianca seadanya."Duh, jangan dipanggil pak, dong. Saya ketuaan jadinya, apa saya keliatan udah tua, ya? Panggi Mas Agung aja, biar lebih akrab.""Nggak tua, kok, Pak, eh, Mas.""Yang bener, Mbak. Saya seneng lho dipuji begini sama perempuan cantik kayak Mbak, soalnya istri saya jarang muji.""Haa? Mas udah nikah, ya. Aku pikir tadi belum nikah.""Udah, Mbak. Udah nikah, punya anak tiga. Paling gede kelas 3 SMA, yang tengah kelas 2 SMA, dan yang kecil masih SD."Wah, udah gede-gede ya, anaknya, Mas. Tapi kok, nggak keliatan ya, Mas-nya awet muda juga ya. Berarti sekarang udah lebih bahagia dong mas rumah tangganya, apalagi anak udah pada besar-besar, bisa bulan madu lagi.""Bahagia apanya, Mbak. Saya malah mau cerai, nggak kuat, Mbak. Istri saya boros parah. Saya capek ngojek, dia malah santai dan suka hambur-hamburin uang. Harusnya kan lebih hemat, bisa nabung buat pendidikan anak.""Haa ... parah juga ya, Mas. Semoga selalu dilanggengkan rumah tangganya, Mas. Meskipun ada badai yang mampir.""Nggak usah bahas rumah tangga saya lah, Mbak. Bikin pusing. Ngomong-ngomong suaminya mana, Mbak? Kok nggak dijemput sama suaminya?""Hmm ... saya belum punya suami, Mas."Entah dari mana aku selancar ini mengobrol dengan Mas Agung, apalagi merespon soal rumah tangganya.Di tengah lamunan panjang, tiba-tiba ..."Baaaaahh ... lamunin apa hayoo.""Ih, apaan sih, Mas. Ngagetin aja, pake mukul pundak segala, sakit tau.""Duh ... duh ... sini, sini Mas obatin biar nggak sakit, lagi. Maaf, ya, Sayang. Lagian kamu juga lagi ngelamunin apaan? Mas panggil-panggil daritadi nggak nyahut-nyahut.""Nggak ngelamunin apa-apa, kok, Mas. Udah ah, yuk ke rumah Umi sama Abah," ajak Bianca.Bianca dan Agung pun menaiki motor menuju rumah Umi dan Abah yang letaknya di kampung sebelah."Assalamu'alaikum." Agung dan Bianca serentak mengucap salam.Sudah 10 menit berdiri di teras rumah, tak juga ada sahutan dari dalam, sedangkan televisi tampak menyala di ruang tamu. Bianca tahu karena gorden rumah Umi belum tertutup, jadi apapun yang ada di dalam rumah terlihat jelas dari kaca depan."Mas, kok nggak ada yang nyahut, ya. Padahal televisinya, hidup.""Ya, 'kan, Mas udah bilang, Umi dan Abah itu belum restuin pernikahan kita. Kamu masih ngotot ngajak ke sini.""Ya, aku masih berharap Umi udah beri restu sebelum kita ke perantauan, Mas.""Assalamu'alaikum, Umi ... Umi ..." Bianca kembali memanggil Umi sembari mengetuk pintu.Dan, tak lama kemudian terdengar derap langkah dari dalam rumah. Jantung Bianca mulai berdetak tidak karuan, seketika tubuh ini mengeluarkan peluh dingin."Itu pasti Umi, kamu yang tenang, semoga aja Umi sudah membuka pintu restu untuk kita," bisik Agung.Sekalipun begitu, Bianca tidak merasa tenang sedikitpun.Kret!"Wa'alaikumsalam, ngapain kalian ke sini!" bentakan Umi Nelly tidak mampu membuat kedua mata Bianca menatap ke arah wanita sepuh yang berumur 65 tahun itu. Nyalinya seketika menciut, semangat yang sempat berkorbar runtuh perlahan."Kita cuma mau pamit, Umi," jawab Agung sembari membuang rokok yang ada di tangannya."Buat apa kalian pamit? Memangnya kamu nggak bilang sama Bianca, Gung. Sampai kapanpun Umi dan Abah nggak bakalan restuin pernikahan kalian. Dan kamu, saya tidak akan pernah mengakui kamu sebagai menantu. Menantu saya cuma satu, Maisaroh.""Ta-tapi, U-umi ...""Nggak perlu nyebut nama, Maisaroh deh, Mi. Dulu Umi juga nggak ngerestui aku dengan Maisaroh, 'kan? Terus kenapa sekarang ngaku kalau menantu Umi cuma Maisaroh?" sahut Agung. Kenyataannya memang dulu Umi ini tidak begitu suka dengan Maisaroh, sikapnya selalu dingin ketika bertemu. Sering membanting pintu ketika mendapati Maisaroh makan di larut malam. Entah kenapa sekarang dia mengatakan seperti itu, setelah t
"Mas, itu kenapa pada ramai-ramai di depan rumah?" bisikku pada Mas Agung yang memperlambat jalan motornya. Entah berapa orang yang bersorak di depan rumahku. Sekilas Bianca melihat pintu terbuka lebar, tapi dirinya tak melihat Emak di antara kerumunan itu."Nggak tahu, Sayang." "Pinggirin dulu motornya, Mas."Setelah Agung memarkir motor sembarang tempat, mereka berjalan mendekat ke kerumunan warga. Belum sempat Bianca bertanya ada persoalan apa sampai ramai begini di depan rumahnya, seorang lelaki bertubuh kekar lagi tinggi langsung mengerang."Hei ... Bianca, enyaplah kamu dari kampung ini. Kami tidak sudi punya warga perebut suami orang tinggal di sini!" cecarnya."Jaga dikit omongan, Anda. Bianca tidak merebut saya dari siapapun. Kalian, kalau tidak tahu akar permasalahannya jangan asal nyablak aja," sahut Agung tak terima. Rahangnya mengeras menahan emosi ketika Bianca dijuluki perebut suami orang.Bianca malah ketakutan. Bagaimana kalau warga menyeret kami berdua keliling kamp
Telepon Maisaroh yang tergelatak di atas meja tamu berdering. Wanita berusia 50 tahun ini pun mengangkat panggilan itu, menghentikan aktivitasnya yang sedang memeriksa hasil ujian siswa. Tak perlu terkejut, Maisaroh memang lebih tua 5 tahun dari suaminya, Agung. "Halo, Tri. Assalamu'alaikum, ada apa nelpon?" tanya Maisaroh lalu duduk di kursi tamu yang sofanya sudah banyak robek."Wa'alaikumsalam. Uni, lagi apa? Sutri ada informasi baru soal Bang Agung.""Lagi periksa ujian siswa, kenapa, Tri?" tanya Maisaroh heran. "Informasi apa lagi?""Iya, Uni. Tau tidak, rupanya Umi sama Abah belum kasih restu ke Bang Agung sama istri barunya itu. Dan, parahnya lagi, tadi sore rumah madu Uni itu di datangi para warga. Mereka mau usir dan nyeret keliling kampung, tapi urung soalnya mak-nya tu perempuan memohon dan sujud depan para warga, minta anaknya jangan digituin.""Terus?" tanya Maisaroh dengan rasa penasaran maksimal."Ya itu, terbebaslah mereka, Uni. Katanya besok bakalan pergi ke Batam. B
"Mak, masuk!" hardik Bianca dengan mata yang begitu tajam.Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Apalagi melihat Emak bersujud seperti itu. Bukankah itu artinya dia yang merendahkan anaknya secara tidak langsung di depan warga. Bianca tidak terima."Dan, kamu, Mas, pindahin motornya ke teras rumah!" Mas Agung manut saja, dia lebih memilih menyalakan kriket lalu membakar rokoknya ketimbang menentang ucapan Bianca.Sungguh terlihat bukan, Mas Agung sangat mencintai Bianca, sikap dia yang tidak terlalu banyak tingkah di depan Bianca, membuat Bianca tidak percaya dengan apa yang orang katakan tentang dirinya. Emak tampak berjalan gontai memasuki rumah. Memang akhir-akhir ini jalannya agak berbeda, katanya kaki sebelah kiri sakit. Tapi Bianca tidak peduli, namanya juga sudah sepuh."Duduk, Mak!" titah Bianca dengan suara lantang, ketika melihat Emak sudah berada di ambang pintu. Tadi, Bianca memang duluan masuk rumah. Emak pun sama tidak menjawab tapi mengikuti perintah anaknya. T
"Mas, kamu di mana? Udah jam segini masih belum pulang juga?" Tampak Bianca mulai emosi saat menelpon Agung karena belum juga pulang apalagi sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Perempuan berbadan idealis itu bak setrikaan mondar-mandir di kamar."Masih di pengkolan, Sayang." Terdengar santai Agung menjawab."Pengkolan? Mana ada jam segini di pengkolan, Mas? Jangan ngada-ngada kamu! Besok kita berangkat pagi ke Padangnya."Jarak desa kampung halaman Bianca menuju Padang atau lebih tepatnya bandara harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam perjalanan, itupun kalau tidak macet. Jadi wajar saja perempuan berambut lurus sepunggung ini emosi dengan suaminya. Takut telat bangun parahnya takut nanti bakalan ketinggalan pesawat."Iya, Sayang. Mas pulang bentar lagi, ini mau nolongin teman yang abis kecelakaan dulu bentar.""Alasan apalagi sih, Mas. Siapa lagi yang kecelakaan?" tanya Bianca dengan nada mulai meninggi."Si Tarno, tadi ke senggol anak muda yang ngebut di jalanan. Nih kakinya
-Menikah dengan jalan baik-baik saja Allah sudah mendatangkan ujian. Apalagi menikahi dengan cara yang tidak baik, sudah pasti Allah memberi mudharat!- DNM***Semua rencana Bianca hari ini berantakan. Mak Itun yang tadinya di dalam kamar, akhirnya keluar menemui sang anak yang masih terduduk lesu di ruang tamu. "Bianca ... minta maaflah sama Allah, supaya jalanmu diridhoi. Ini teguran dari Allah, Nak." Mak Itun pun mengambil posisi duduk di seberang Bianca, ingin rasanya dia mengelus punggung sang anak, tapi rasa takutnya lebih besar. Dia juga tidak ingin membuay Bianca semakin emosi, nanti malah mengundang warga sekitar rumah."Mak! Ini semua salah, Mak. Mak 'kan yang nggak ridho aku nikah sama Mas Agung, makanya sial mulu akunya. Coba Mak ridho, hidup aku pasti nggak seribet ini.""Bagaimana Mak ridho, Nak. Kamu mengambil punya orang lain. Dan, terlebih Agung bukan --,""Bukan apa, Mak? Mak tahu apa tentang saya?" bentak Agung yang tiba-tiba keluar dari dapur, lelaki berambut ikal
Karena takut terlambat Bianca mengambil uang yang ada di dalam tasnya, laku menaruh uang pecahan lima puluh ribu di atas meja kecil yang ada di dalam kamar."Aku pamit, Mas," ucap Bianca pelan, dia langsung keluar dari kamar tanpa menyalami suaminya. Agung pun tidak mempermasalahkan hal itu, dia lebih memilih tidur lagi melanjutkan kantuk yang belum tuntas.***Ponsel Maisaroh bergetar di dalam tas lusuhnya, saat dia baru saja pulang sekolah."Halo, assalamu'alaikum," sahut Maisaroh saat menerima panggilan dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya. Bukan nomor handphone melainkan nomor kantor."Betul ini dengan ibu Maisaroh?""Iya, benar. Ada apa, ya, Pak?""Ini, Bu. Kami ingin menagih pembayaran pinjaman yang dilakukan sama Pak Agung.""Pembayaran pinjaman? Maksudnya, Pak?""Ibu istrinya Pak Agung 'kan?" tanya sang collector."Iya, saya istrinya. Tapi saya tidak tahu-menahu soal pembayaran pinjaman yang Bapak maksud.""Begini, Bu. Sekitar seminggu lalu, Bapak Agung menggadaika
"Udah, ya, Fe. Aku lagi buru-buru, sorry!"Bianca meninggalkan Fera yang berdiri mematung, berjalan cepat keluar dari area pabrik, lalu menunggu angkot untuk pulang. Andai saja dia bisa mengendarai motor pastilah dengan motor dirinya pergi kerjanya.Setelah menempuh perjalanan pulang selama tiga puluh menit akhirnya Bianca sampai di kontrakan. Dia mengontrak di rumah petak yang terdiri dari beberapa unit di jejer berbentuk huruf U.Saat memasuki pekarangan rumah, Bianca melihat Mas Agung berada di teras rumah Anggia, gadis yang nge-kost persis di depan rumahnya."Mas!" panggil Bianca tak suka."Ngapain juga dia malam-malam begini nongkrong di rumah si Anggia," umpat Bianca membatin.Mas Agung tampak salah tingkah, lalu bangkit dari duduknya, mematikan rokok dan berjalan mendekati Bianca"Eh, kamu udah, pulang, kok nggak ngabarin, Mas?" tanyanya lalu merangkul tubuh Bianca, tapi Bianca mengelak."Kenapa? Biar aku nggak mergoki kamu main ke rumah tuh perempuan. Kamu nggak bisa liat yang
Part 21Perut Bianca semakin besar, apalagi akan memasuki kandungan 7 bulan. Namun, seiringan dengan perut yang membesar, wajah Bianca pun tampak menjijikkan.Awalnya hanya muncul beberapa titik jerawat, kecil-kecil, lalu tanpa disadari jerawat yang muncul malah semakin besar dan berisi cairan putih."Ini jerawatnya makin hari makin banyak, teman-teman juga mulai geli jika berpapasan denganku," ucapnya saat mematut diri di depan cermin. Dia meraba wajahnya yang tak glowing dan cerah lagi."Apa karena aku berhenti memakai skincare selama hamil?" tanyanya berbisik.Saat bekerja, teman yang biasanya bertegur sapa, satu per satu menghindar. Apalagi saat menikmati makan siang."Heh kamu, jangan duduk di sini, sana pindah tempat, liat wajah kamu bikin kita j1j1k dan terasa mau muntah," usir salah satu karyawan yang tengah menyantap hidangan makan siangnya. Meja terlihat penuh, hanya satu kursi saja yang kosong. Dan, Bianca tak punya pilihan lain."Kalau nggak suka, cabut aja, pindah aja ke
Rumah yang menjadi saksi bisu selama ini sudah tinggal kenangan. Rumah yang sudah dia huni selama 6 tahun, berakhir dengan cara seperti ini. Untung sebelum rencana mau pindah, Bianca sudah membayar DP rumah kontrakan terbaru yang rencananya akan dia tempati bersama Agung. Untung dia belum memberi tahu apa-apa soal rumah kontrakan baru itu pada Agung. Jadi dia akan aman, karena Agung tidak akan bisa menemuinya di kota Batam yang lumayan luas ini."Lebih baik aku pergi dengan cara seperti ini, daripada harus mendengar rayuan busuk kamu, Mas! Hidup saja dengan jalangmu yang baru. Aku tidak sudi menderita terlalu jauh dengan kamu. Biarlah sendiri daripada hidup dengan manusia berbentuk buaya tak punya hati seperti kamu," gumamnya.Bianca sengaja membawa seluruh barang miliknya termasuk milik Agung bukan untuk kenangan. Namun, supaya Agung tidak punya baju ganti lagi. Kalaupun ada pasti dia akan pusing membeli yang baru. Bianca juga tidak mempermasalahkan motor yang dibawa Agung motor seco
Lantunan suara azan dari Masjid yang tak jauh dari kontrakan tak mampu membangunkan Agung yang masih berdengkur ditambah orokannya yang keras. Ya, wajarlah masih terlelap, tidak ada yang membangunkannya, belum lagi semalam dia pulang sudah pukul 04.00 subuh.Usai makan sate mereka malah berkeliling batu aji, padahal Anggia sudah janji dengan adik sepupunya, diingkari demi memenuhi permintaan Agung seperti anak kecil merengek. Kalau pulang ke rumah jam segitu jalanan pasti sepi, otomatis tak akan mencurigakan sekalipun Bianca berboncengan dengan Agung sampai ke halaman kontrakan.Bianca sengaja tidak mengunci pintu rumah, agar tidurnya yang payah tidak terganggu. Dan juga, pagi tadi sebelum berangkat memilih bungkam, apakah sudah bulat tekadnya untuk berpisah dengan laki-laki yang belum genap dua bulan menjadi suaminya itu?***Kawan sejawat Maisaroh juga datang menjenguk ke rumah sakit. Sekalipun hanya kepala sekolah yang di dampingi keluarga yang masuk, melihat bagaimana kondisi Mais
"Bi ... kita masuk aja dulu, yuk. Nanti pas istirahat siang ngobrol lagi. Kamu banyak istighfar, biar Allah selalu lindungin kamu. Apalagi sekarang kamu lagi hamil muda. Rentan banget itu, jangan sampai kamu kelewat stres, bisa berdampak buruk buat kesehatan dan si jabang bayi. Kasihan dia, dia nggak salah juga.""Iya, Fe. Pas istirahat aja lanjutin ngobrolnya, lagian aku mau nanyain sesuatu juga sama kamu. Tapi nanti ajalah.""Iya," sahut Fera, dia mengangguk paham serta mengusap-usap punggung Bianca. Fera paham apa yang dirasakan Bianca saat ini, dan sebisa mungkin dia berusaha menenangkan Bianca dengan caranya sendiri tanpa terlalu jauh masuk ke ranah privasi Bianca."Fe ... aku, minta maaf, ya, atas sikapku sama kamu beberapa hari belakangan ini.""Iya, aku nggak apa-apa. Kita masuk dulu, kamu fokus kerja dulu, ya. Nanti kita bahas, ya," tutur Fera agak berbisik."Mbak, mau masuk apa tidak ni. Kalau tidak, saya kunciin, nih," kode Pak Satpam. Memang tidak ada lagi karyawan lain ya
"Nggak tahu lah, aku malas ngomongin Bianca. Mending kita bahas yang lain aja."Anggia dan Agung asyik mengobrol sembari menghabiskan sepiring sate dan segelas teh obeng. Agung memang punya niat lain pada Anggia, seperti ingin memiliki, tapi Anggia bukan perempuan yang mudah masuk perangkap. Orang seperti Agung hanya sebagai guyonan semata baginya.***Di kondisi lain, tampak bertolak belakang yang terjadu. Bianca masih saja menangisi Agung, lelaki yang sama sekali tidak peduli dengan keadaannya, apalagi tengah hamil muda. Jangankan Bianca, Maisaroh yang tidak sadarkan diri saja, Agung tidak peduli. "Ya Allah, apa ini hukuman untukku. Apa ini hukuman karena aku mengambil milik orang lain dengan caraku sendiri. Menyakiti perempuan lain demi kebahagiaanku sendiri. Ya, awalnya aku merasa bahagia karena Mas Agung begitu pandai memanjakan aku dengan caranya. Hingga aku lupa siapa dia, tanpa pikir panjang akan akibat kedepannya," gumamnya di sela isak tangis yang mendera."Tapi aku tidak s
"Dari jualan lah darimana lagi. Kamu kenapa sih, aku pulang malah marah-marah. Suami pulang itu disambut, disediain minum. Aku capek seharian jualan malah begini.""Jualan? Yakin kamu pergi jualan?" tanyaku tak percaya."Muak juga aku lama-lama. Dicurigain terus mau-nya apa, sih?""Aku nggak bakalan curiga kalau kamu-nya nggak gatel sama perempuan lain. Jangan salahin aku, kamu duluan yang mulai!"Dering ponsel Mas Agung berbunyi dia dengan cepat merogoh dari dalam saku celananya."Halo, Nti. Kenapa?"Nti? Siapa lagi itu? Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan lewat sambungan telepon."Apa? Mama kecelakaan? Kenapa bisa? Sama siapa?"Apa? Mbak Maisaroh kecelakaan? Tapi tunggu, kenapa anak-anak Mas Agung bisa tahu nomor dia yang baru? Apa jangan-jangan? Aku memilih dia mendengarkan dengan seksama."Haa? Sama Fandy? Terus?"Jadi Mbak Maisaroh kecelakaan sama Fandy? "Mas ... Mas ... loudspeaker-in," bisikku pada Mas Agung. Rasa penasaranku sudah tidak terbendung."Di ICU?""Halo, Pa. I
Hari ini aku masih izin tidak masuk kerja, sebelum pulang dari rumah bidan kemarin aku juga sudah minta untuk dibuatkan surat izin istirahat untuk keperluan administrasi nantinya di pabrik. Supaya tidak ada pemotongan gaji selain memang kalau tidak masuk lebih dari sehari harus ada surat keterangan sakit atau surat keterangan istirahat dari pihak yang berwenang seperti dokter atau bidan."Mending sekarang kamu pergi jualan deh. Daripada di rumah nggak neghasilin apa-apa!" suruhku pada Mas Agung, saat kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi.Jika biasanya aku terasa nyaman menghabiskan waktu bersama Mas Agung, tapi kali ini tidak. Jangankan melihat wajahnya, mendengar suaranya saja aku eneg. Meski tadi dia lebih dulu bangun tidur dan membuatkan aku nasi goreng."Kamu 'kan masih lemes, Sayang. Mas nggak tega ninggalin kamu sendirian di rumah.""Aku nggak apa-apa, mending kamu jualan. Aku bisa kok sendiri, lagian udah terbiasa juga dari dulu sendiri.""Yakin?" tanyanya penuh s
"Ini test pack, Bu. Alat test kehamilan," sahutnya langsung, seperti paham dengan mimik wajahku."Bu, bukannya di test pas buang air kecil pertama di pagi hari, ya?" tanya Mas Agung. Sang bidan tampak bingung dan heran mendengar penuturan Mas Agung. Kalau menurutku sang bidan bingung kenapa bisa Mas Agung tahu, sedangkan raut wajahku bingung menatap alat yang dia serahkan tadi."Tenang, Pak. Alat test kehamilan itu banyak macamnya. Ada yang bisa kapan saja di cek ada yang hanya bisa dipakai ketika buang air kecil di pagi hari. Saya tinggal dulu, ya. Nanti dipanggil lagi aja."Aku mengangguk dan membiarkan sang bidan keluar dari ruangan terlebih dahulu."Mas bantu kamu ke kamar mandi, ya?" tawarnya."Nggak perlu, aku bisa sendiri," jawabku ketus."Kamu bisa? Kan masih pusing.""Aku bisa sendiri."Aku mencoba bangkit memiringkan tubuh ini terlebih dahulu, ku sentakkan setiap kali Mas Agung mencoba membantuku."Aku tidak perlu dibantu," bentakku. Mas Agung mengalah karena akhirnya dia me
"Nggak usah seret-seret, Bi! Aku bisa jalan sendiri!" Dia menyentak kasar tangannya membuat tubuhku terayun, untung tidak sampai jatuh ke lantai, kalau tidak pasti si jalang itu sudah tertawa ngakak melihat aku terjatuh."Mas, kayaknya benar kata orang-orang kampung soal kamu. Kamu yang mata keranjang rupanya," bentakku ketika sudah berada di dalam rumah."Kamu jangan asal nuduh, Bi. Lagian apa salahnya ngobrol berdua, dia lagi bete abis putus dari pacarnya, Mas lagi bete abis berantem sama kamu. Terus kami cuma sekedar ngobrol biasa, lantas di mana salahnya?" jawab Mas Agung seenak jidat, tidak ada rasa bersalahnya sedikitpun."Apa? Coba ulangi lagi, Mas? Kamu masih nanya di mana salahnya? Lama-lama aku bisa stres berat hidup sama kamu, mending kita cerai aja, aku udah nggak kuat.""Nggak, Sayang. Jangan dikit-dikit ngomong cerai. Dikit-dikit cerai. Semuanya ada solusi, nggak perlu kayak gini juga."Aku berjalan cepat masuk ke dalam kamar, menutup pintu, lalu menguncinya. Sungguh tid