Karena takut terlambat Bianca mengambil uang yang ada di dalam tasnya, laku menaruh uang pecahan lima puluh ribu di atas meja kecil yang ada di dalam kamar."Aku pamit, Mas," ucap Bianca pelan, dia langsung keluar dari kamar tanpa menyalami suaminya. Agung pun tidak mempermasalahkan hal itu, dia lebih memilih tidur lagi melanjutkan kantuk yang belum tuntas.***Ponsel Maisaroh bergetar di dalam tas lusuhnya, saat dia baru saja pulang sekolah."Halo, assalamu'alaikum," sahut Maisaroh saat menerima panggilan dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya. Bukan nomor handphone melainkan nomor kantor."Betul ini dengan ibu Maisaroh?""Iya, benar. Ada apa, ya, Pak?""Ini, Bu. Kami ingin menagih pembayaran pinjaman yang dilakukan sama Pak Agung.""Pembayaran pinjaman? Maksudnya, Pak?""Ibu istrinya Pak Agung 'kan?" tanya sang collector."Iya, saya istrinya. Tapi saya tidak tahu-menahu soal pembayaran pinjaman yang Bapak maksud.""Begini, Bu. Sekitar seminggu lalu, Bapak Agung menggadaika
"Udah, ya, Fe. Aku lagi buru-buru, sorry!"Bianca meninggalkan Fera yang berdiri mematung, berjalan cepat keluar dari area pabrik, lalu menunggu angkot untuk pulang. Andai saja dia bisa mengendarai motor pastilah dengan motor dirinya pergi kerjanya.Setelah menempuh perjalanan pulang selama tiga puluh menit akhirnya Bianca sampai di kontrakan. Dia mengontrak di rumah petak yang terdiri dari beberapa unit di jejer berbentuk huruf U.Saat memasuki pekarangan rumah, Bianca melihat Mas Agung berada di teras rumah Anggia, gadis yang nge-kost persis di depan rumahnya."Mas!" panggil Bianca tak suka."Ngapain juga dia malam-malam begini nongkrong di rumah si Anggia," umpat Bianca membatin.Mas Agung tampak salah tingkah, lalu bangkit dari duduknya, mematikan rokok dan berjalan mendekati Bianca"Eh, kamu udah, pulang, kok nggak ngabarin, Mas?" tanyanya lalu merangkul tubuh Bianca, tapi Bianca mengelak."Kenapa? Biar aku nggak mergoki kamu main ke rumah tuh perempuan. Kamu nggak bisa liat yang
"Dari dia datang dulu untuk melamar kamu saja Uda sudah feeling gimana nasib rumah tangga kamu. Tapi kamu tetap kekeuh sama dia.ihat sekarang, kamu guru, tapi gaji yang kamu terima lebih buruk dari orang yang kerjanya serabutan."Maisaroh tetap diam seribu bahasa, dia kehabisan kata-kata untuk membela diri, karena memang benar apa yang dikatakan Uda Lukman tentang Agung.'Pernikahan itu kerjasama, biarlah biasa saja tapi jika sama-sama mau bertanggung jawab atas rumah tangga yang dibina, in syaa Allah, Allah akan memperkuat semuanya terlepas dari title yang ada.'***"Jangan dekat-dekat. Kamu jangan mencoba untuk merayu ku kali ini, Mas!"Bianca beranjak dari duduknya, memilih berdiri tak jauh dari dipan. Agung masih tertegun. Tampak berpikir keras untuk mencari jawaban."Kenapa diam? Jawab jujur, Mas?" teriak Bianca kehilangan kendali."Itu Rossa, mantan istriku, dan Faisal itu, anakku dengannya," jelas Agung dengan suara pelan.Plak!"Keterlaluan kamu, Mas!"Bianca berjalan cepat la
"Ya, aku kasian sama itu perempuan Mai, dia seorang janda ditinggal meninggal sama suaminya, ada anak pula.""Tidak, Mas. Pokoknya aku tidak setuju!"Siapa wanita yang mau di madu, meskipun membiarkan suami untuk berpoligami jaminan surga untuk sudah dijanjikan Allah. Tapi, jikalau laki-lakinya seorang Agung, tidak mungkin alasannya hanya sebatas kasihan.Meskipun Maisaroh tidak memberi restu, Agung tetap kekeuh menikahi Rossa hingga ada buah cinta dalam pernikahan siri antara Agung dan Rossa, anak laki-laki bernama Faisal. Namun, pernikahan siri itu tidak berlangsung lama hanya bertahan satu tahun saja. Maisaroh tetap mau menerima Agung, memaafkan laki-laki yang sudah memadunya. Tapi sikap setiap Agung pada Maisaroh tidaklah bertahan lama, cuma bisa setia selama satu saja.Dan, kini, nyatanya, Agung bertingkah lagi dengan hal yang sama. Mengkhianati Maisaroh untuk kesekian kalinya, mungkin tidak terhitung berapa kalinya Agung berkhianat. Tapi sebanyak itu Agung berkhianat sebanyak it
Flashback pertama kali bertemu BiancaPoV Agung Mataku berbinar melihat perempuan cantik berdiri di pinggir jalan. Aku yang semula lesu menjadi semangat 45. Setiap penumpang perempuan yang penampilannya menggoda serta bercahayakan emas aku selalu mengajak ngobrol dalam perjalanan. Siapa tahu penumpang ini bisa ku jadikan istri, lumayan bisa menghasilkan pundi uang dari mereka."Dek, Mas boleh minta nomor hapenya?" tanyaku pada Bianca saat dia membayar ongkos ojek."Apa, Mas? Nggak takut dimarahin istrinya, nanti," sahutnya rada malu-malu."Itu mah bisa diatur, lagian Mas udah langsung jatuh hati sama kamu, Dek," jawabku sembari tersenyum genit."Ah ... bisa aja kamu, Mas," jawabnya sembari tersipu malu, "ya udah ini, Mas. Tapi kalau kenapa nanti, aku nggak tanggung jawab, ya, Mas," tuturnya lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Aku pun dengan sigap menyimpannya di ponsel usang milikku. "Udah, Dek. Tapi kamu beneran belum ada yang punya, 'kan?" tanyaku memastikan."Iya, Mas. Belum
PoV Bianca"Mas, kalau kayak gini kamu jualan bisa-bisa buntung besar yang ada. Masa udah sebulan nyetor ke aku-nya cuma 10 ribu sehari. Nyesel juga aku kemarin beli banyak bahan buat kamu," umpatku pada Mas Agung yang baru saja pulang dari jualan."Ya, namanya jualan mana ada langsung untung, Sayang." Dia mendekatiku, saat aku sedang duduk.di rumah tamu."Itu mah aku tahu, Mas. Cuma nggak gini amat. Tiap pagi aku kasih kamu jajan 30 ribu. Tapi malah untung 10 ribu. Lagian pergi dari jam 11 pulangnya malam begini. Kamu mangkal di mana selain di sekolahan?" tanyaku penuh selidik, sudah dua mingguan ini Mas Agung selalu pulang lepas Isya."Sayang, Mas baru jualan sebulan. Kan udah Mas bilang juga, dua minggu belakangan ada yang jualan minuman kayak Mas. Banyak variasinya terus pake float juga, kita kan nggak. Harganya sama dengan yang Mas jual. Ya, anak-anak pada milih yang pake floatnya. Tadi Mas coba mangkal pengkolan ojek, siapa tahu tukang ojeknya beli, tapi nyata nggak ada.""Kalau
"Nggak usah seret-seret, Bi! Aku bisa jalan sendiri!" Dia menyentak kasar tangannya membuat tubuhku terayun, untung tidak sampai jatuh ke lantai, kalau tidak pasti si jalang itu sudah tertawa ngakak melihat aku terjatuh."Mas, kayaknya benar kata orang-orang kampung soal kamu. Kamu yang mata keranjang rupanya," bentakku ketika sudah berada di dalam rumah."Kamu jangan asal nuduh, Bi. Lagian apa salahnya ngobrol berdua, dia lagi bete abis putus dari pacarnya, Mas lagi bete abis berantem sama kamu. Terus kami cuma sekedar ngobrol biasa, lantas di mana salahnya?" jawab Mas Agung seenak jidat, tidak ada rasa bersalahnya sedikitpun."Apa? Coba ulangi lagi, Mas? Kamu masih nanya di mana salahnya? Lama-lama aku bisa stres berat hidup sama kamu, mending kita cerai aja, aku udah nggak kuat.""Nggak, Sayang. Jangan dikit-dikit ngomong cerai. Dikit-dikit cerai. Semuanya ada solusi, nggak perlu kayak gini juga."Aku berjalan cepat masuk ke dalam kamar, menutup pintu, lalu menguncinya. Sungguh tid
"Ini test pack, Bu. Alat test kehamilan," sahutnya langsung, seperti paham dengan mimik wajahku."Bu, bukannya di test pas buang air kecil pertama di pagi hari, ya?" tanya Mas Agung. Sang bidan tampak bingung dan heran mendengar penuturan Mas Agung. Kalau menurutku sang bidan bingung kenapa bisa Mas Agung tahu, sedangkan raut wajahku bingung menatap alat yang dia serahkan tadi."Tenang, Pak. Alat test kehamilan itu banyak macamnya. Ada yang bisa kapan saja di cek ada yang hanya bisa dipakai ketika buang air kecil di pagi hari. Saya tinggal dulu, ya. Nanti dipanggil lagi aja."Aku mengangguk dan membiarkan sang bidan keluar dari ruangan terlebih dahulu."Mas bantu kamu ke kamar mandi, ya?" tawarnya."Nggak perlu, aku bisa sendiri," jawabku ketus."Kamu bisa? Kan masih pusing.""Aku bisa sendiri."Aku mencoba bangkit memiringkan tubuh ini terlebih dahulu, ku sentakkan setiap kali Mas Agung mencoba membantuku."Aku tidak perlu dibantu," bentakku. Mas Agung mengalah karena akhirnya dia me