Mentari sudah terlihat gagah di langit. Teriknya tak membuat semangat orang-orang luntur untuk keluar rumah. Entah untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, ke pasar, atau sekadar berjalan-jalan mencari sarapan. Jalanan masih terlihat basah sisa hujan deras semalam, genangan air di jalan berlubang membuat banyak pengendara memperlambat laju kendaraannya jika tak ingin terjatuh, paling penting untuk menghindari kecelakaan.
Hasna juga tak mau ketinggalan. Pagi-pagi sekali, wanita itu sudah bangun dan mempersiapkan diri. Mengenakan celana jeans dan kemeja longgar, serta mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda, membuat gerakannya menjadi lebih luwes. Sepatu kets putih dipilih menjadi alas kaki. Wanita tiga puluh tahun itu memang lebih nyaman dengan gaya kasual. Pekerjaannya di bidang fotografi membuatnya dituntut harus bergerak aktif dan kreatif. Oleh karena itu, gaun, rok, dan tetek bengek pakaian khas wanita, menjadi pilihan terakhirnya.Hasna melirik jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia berdecak keras, harusnya tak meladeni telepon dari Azka, mantan suaminya. Pria itu masih saja mengejar meski mereka telah satu tahun bercerai. Entah apa yang ada di pikiran pria tersebut. Dulu, dia menyia-nyiakan kepercayaan yang Hasna beri. Bahkan, si wanita menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk memenuhi gaya hidup Azka yang tinggi. Pria itu bilang, teman-temannya sudah memiliki mobil setiap pergi ke kantor, sementara dia yang golongan tiga pegawai negeri sipil masih saja memakai sepeda motor, itu pun Hasna yang membelikan pada ulang tahun Azka. Bagai kerbau dicocok hidungnya, wanita itu mau saja mengikuti kemauan sang mantan suami. Parahnya, mobil itu justru digunakan si pria untuk melagak gadis-gadis muda yang silau melihat tampang dan harta.Dulu, Hasna sama sekali tak mengindahkan nasehat teman-teman dekatnya. Matanya dibutakan oleh cinta. Menerima lamaran Azka, tanpa mengenal siapa pria itu. Padahal, mereka bertemu di aplikasi f******k, saling sapa, dan bertukar cerita. Rasa nyaman langsung hadir di dada Hasna, hingga saat Azka meminta bertemu, dia mengiyakan.Debar-debar yang hadir saat bersama Azka, membuat Hasna tak berpikir panjang. Dia juga takut dikatakan perawan tua karena umur yang sudah sangat matang, teman-teman sepantarannya bahkan sudah memiliki dua anak. Jadi, saat seorang pria yang dia kira baik, sopan, dan sangat tampan melamar, dia langsung merasa seperti kejatuhan durian. Hasna memang bangga bersuamikan Azka yang kalau diumpamakan seperti Dewa Eros, dewa tertampan di mitologi Yunani. Namun, kebahagiaan itu harus dia bayar mahal. Sang Eros gadungan itu hanya bermodal cinta saja. Untuk urusan nafkah lahir, dia hanya memberi sekadarnya. Alasan pria itu, dia mempunyai banyak tanggungan sebelum menikah. Entah tanggungan apa, Hasna tak pernah bertanya.Melihat tak ada protes dari Hasna, pria itu mulai 'ngelunjak'. Dia jarang memberikan gajinya. Azka mengatakan, pendapatan sang istri jauh lebih besar, jadi tak berpengaruh dia beri atau tidak. Dan dengan bodohnya, Hasna mengiyakan saja karena memang si wanita terbiasa mandiri sejak dulu. Lagi pula, Hasna sudah memiliki segalanya. Rumah, kendaraan, dan studio foto sendiri. Lalu, pria itu mulai menghisap tabungan sang istri. Masih, atas nama cinta, sang wanita menurut saja.Dering telepon membuyarkan lamunan Hasna. Dia berdecih, bisa-bisanya mengingat pria tak berguna itu lagi. Sekarang, dia malah menertawakan dirinya, betapa bodohnya dulu."Hallo." Hasna menempelkan telepon genggam ke telinga, sementara tangannya sibuk memasukan perlengkapan ke dalam ransel kecilnya."Kamu di mana? Ini calon manten udah dateng, lho. Masak photografernya masih tiduran." Suara Refan menembus gendang telinga Hasna, membuat wanita itu sedikit berjengit."Aku enggak budek. Ngomongnya bisa pelan enggak, sih!" balas Hasna ketus. Dia menyandang tas ransel ke punggung setelah semua barang penting masuk."Sorry, aku pikir kamu masih tidur.""Ya, kali aku masih tidur. Ini udah siap-siap. Lokasinya di Anyer, kan?" Hasna menuruni anak tangga perlahan, menuju ruang makan.Di atas meja telah tersedia segelas susu, tiga tangkup roti bakar, dan kotak bekal yang berisi mie goreng seafood favoritnya. Hasna sengaja minta dibuatkan menu itu semalam kepada asisten rumah tangganya. Dia memang terbiasa sarapan dan membawa bekal. Selain hemat, dia juga terlalu sibuk untuk mampir di restoran atau kafe-kafe. Untuk makan biasanya dia memesan lewat aplikasi online saja."Iya, perlu aku jemput enggak?" Refan menawarkan, terdengar suara debur ombak, pertanda pria itu berdiri di pinggir pantai.Hasna meneguk susunya terlebih dahulu, sebelum menjawab. "Enggak usah. Aku pake motor. Perlengkapan udah semua, kan. Jangan sampai aku di sana masih ada yang belum beres.""Tenang aja, Buk bos, semua rebes!" sahut Refan percaya diri.Hasna memutus saluran telepon setelah mendengar perkataan Refan. Dia memasukkan kotak bekal ke dalam ransel, lalu meraih kunci motor di atas kulkas."Non!" Bi Asih, asisten rumah tangga Hasna yang baru kembali dari pasar pagi, menyapa di teras. "Tiga hari yang lalu, Nyonya sama Tuan telepon. Katanya, mereka mau ke sini hari ini.""Apa?!" Mata Hasna membulat. Dia mendesah keras, seketika wajah wanita itu langsung kusut. "Napa enggak bilang dari kemarin-kemarin, Bi. Hari ini jadwalku penuh.""Maaf, Non. Bibi lupa. Lagian Non Hasna jarang di rumah. Pulang juga baru kemarin."Hasna tak menjawab lagi. Salahnya. Seminggu kemarin dia memang disibukkan dengan proyek iklan kecantikan di Bali. Harusnya pekerjaan itu kelar dua hari yang lalu, tetapi cuaca yang ekstrem, plus sang model yang keracunan makanan, membuat pengerjaan iklan tersebut seperti sinetron. Bersambung-sambung."Ya udah, Bi. Aku pamit dulu. Nanti kalau Ibu sama Ayah dateng, bilang aja aku ada kerjaan di Anyer. Jangan lupa, tolong masakin makanan favorit Mama, ya," pinta Hasna sambil berjalan ke sepeda motor yang terparkir di garasi yang sudah terbuka.*Hasna berkali-kali melirik pergelangan tangannya, sudah setengah jam lewat dia di perjalanan. Harusnya, dari rumah menuju Anyer hanya makan waktu dua puluh menit menggunakan sepeda motor, tetapi sebuah kecelakaan beruntun membuat jalan menuju lokasi macet mengular hingga lima kilo meter. Wanita itu memilih lewat jalan alternatif, jalan tikus bahasa kerennya. Alih-alih sampai lebih cepat, dia malah terjebak di bengkel karena ban sepeda motornya kempes mendadak."Gimana, Pak? Bisa dibenerin?" tanya Hasna dengan wajah berkeringat."Bannya ketembus paku dua, Neng. Panjang-panjang lagi. Apes banget Neng ini."Jawaban bapak yang punya bengkel membuat lutut Hasna melemah. Bisa-bisa dia diomelin klien-nya. Paling buruk minta panjar dikembalikan."Ya, sudah, Pak. Gimana caranya saya bisa jalan lagi. Udah mepet ini, Pak," ujar Hasna dengan wajah gelisah, sambil melihat jam tangan berkali-kali."Enggak janji, ya. Neng. Ini bocornya gede. Mesti ganti benennya. Saya kagak ada, tuh, ukuran segini," balas sesebapak dengan logat Betawi.'Aduh! Mati aku.' Hasna membatin sambil menepuk jidatnya. Mau nekat dibawa jalan, roda motor sudah dipreteli. Wanita itu memutuskan meninggalkan sepeda motornya dan memesan goride lewat aplikasi, gojek. Sayang seribu kali sayang, sepertinya Hasna melangkah keluar rumah dengan kaki kiri tadi pagi. Dia baru 'ngeh' kuotanya habis semalam, sementara M-bankingnya dari dua minggu yang lalu tidak juga diurus, gegara lupa password.Akhirnya, Hasna berjalan menuju jalan raya yang jaraknya sekitar satu kilo dari bengkel tadi. Setelah berpeluh ria disengat matahari, bibir Hasna mengulas senyum. Dia melihat seorang pria sedang menggunakan jaket dan helm bertuliskan, gojek. Tanpa basa-basi wanita itu mendekat, lalu menepuk bahu sang pria."Mas, antar aku ke Anyer, ya. Enggak usah pake aplikasi, aku bayar seratus ribu. Enggak boleh nolak, ini darurat antara hidup dan mati."Hasna nyerocos tanpa memberi kesempatan sang pria berbicara. Langsung saja dia meraih helm di tangan si pria dan duduk di jok belakang."Mas, hayuk! Kalau kurang saya tambah lima puluh ribu," ujar Hasna melihat pria itu hanya diam menatapnya."Saya bukan--""Aduh, Mas, cepetan. Nanti ada yang sekarat," sela Hasna, dia terpaksa drama karena gemas melihat si pria masih saja bengong melihatnya. "Atau Mas mau tanggung jawab kalau nanti ada apa-apa?" Dia mulai mengintimidasi.Pria tersebut akhirnya mendekati seorang pemilik warung, lalu memberikan sebuah kartu nama. Entah apa yang keduanya bicarakan, Hasna tak peduli. Yang dia pikirkan saat ini adalah nasib Refan yang pasti sudah diomeli oleh klien mereka."Hayuk, tujuan ke mana?" Pria itu akhirnya menstarter motor, lalu mulai menjalankan kuda besi itu."Ke Anyer, Mas, tadi, kan, udah dibilang. Kalau bisa ngebut, ya, saya buru-buru."Pria itu hanya mengangguk, sambil menambah laju kendaraannya. Sesekali Hasna menepuk bahu pria itu karena terlalu cepat, tetapi tak lama menyuruh menambah kecepatan saat terlalu pelan.'Merepotkan!' Si pria mengeluh dalam hati.Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampai juga di tempat yang di tuju. Refan segera menyongsong Hasna yang baru saja membuka helmnya."Katanya mau jalan, udah sejam enggak sampe-sampe. Rumahmu di Ujung Kulon?"Hasna meringis. Dia tahu dia salah, tapi bicaranya jangan di depan tukang ojek online juga, membuat Husna ingin mengirim Refan ke Saturnus."Ni, ya, Mas, seratus lima puluh. Hari ini Mas untung gede dapat penumpang saya. Enggak pake aplikasi lagi," ucap Hasna sambil menyerahkan lembaran seratus dan lima puluh ke tangan pria tadi.Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Hasna bergegas menuju lokasi pemotretan diikuti Refan yang masih nyerocos seperti emak-emak yang sedang PMS. Sesampai di sana, Hasna malah melihat sepasang calon pengantin sedang asyik menikmati kelapa muda, membuatnya menoleh cepat ke arah Refan, tetapi yang dilihat malah menatap ke arah laut.Hasna gemas, melihat ekspresi Refan tadi, dia mengira klien mereka sudah mengamuk, tetapi yang tampak mereka malah santai melambai di tepi pantai. Akan tetapi, sebagai seorang photografer profesional, Hasna tetap harus meminta maaf."Mbak, Mas, maaf, ya, saya telat. Tadi ada sedikit masalah."Kedua kliennya itu tersenyum."Enggak pa-pa, Mbak. Santai aja. Orang Kakak saya juga belum datang. Dia wanti-wanti foto prewed-nya jangan dimulai dulu tanpa dia," jawab calon pengantin wanita.Hasna tertawa kaku, memberikan tatapan membunuh ke arah Refan yang pura-pura sibuk dengan kameranya. Hasna berjanji, akan menguliti pria itu sampai ke tulang."Nah, Itu Mas Kenan dateng!" Pengantin pria menunjuk ke arah belakang Hasna, membuat wanita tersebut ikut menoleh. Mata Hasna melebar melihat sosok yang mendekat, berkali-kali mengucek mata, memastikan yang mendekat bukan pria pengendara ojek tadi. Namun, saat calon pengantin wanita menyongsong pria tersebut dan memanggil, Kakak, Hasna berniat berimigrasi ke laut mati detik ini juga.Pantai Tanjung Lesung adalah pantai yang berada di sekitar Anyer. Sering disebut-sebut sebagai surga yang tersembunyi. Meski pun akses menuju lokasi cukup jauh, tetapi keindahan alamnya sungguh luar biasa. Apalagi hamparan pasir yang berwarna putih berpadu dengan kilau air laut yang bening dan berwarna hijau kebiru-biruan. Merupakan tempat yang pas untuk bersantai dan bermain di wahana yang memang disediakan di sana. Tempat tersebut memang sangat indah, tak salah sepasang calon pengantin yang menjadi klien Hasna, memilih tempat tersebut untuk sesi pemotretan prewed mereka. Biasanya tempat itu sangat ramai dikunjungi setiap akhir pekan, oleh karena itu mereka bersepakat bertemu di hari senin. Hasna masih sibuk mengambil foto dari kliennya. Sesekali mengarahkan agar hasil yang didapat menarik. Refan juga tak kalah heboh. Pria itu juga ikut memperagakan gaya agar foto terlihat estetik. Sesekali di sela-sela jeda pemotretan, Hasna melirik pria yang bernama, Kenan. Pria itu duduk sambil
Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Hanya ayah satu-satunya pria yang tak akan pernah menyakiti, mengkhianati, dan menduakan. Seorang ayah adalah 'role mode' bagi putri mereka dalam mencari pasangan hidup. Seperti itu yang dirasakan Hasna. Hasan adalah satu-satunya orang yang mengerti suasana hatinya. Bukan menepikan keberadaan Indah, tetapi ada hal-hal yang tak bisa dia katakan kepada ibunya. Peran sang ayah di mata Hasna sangat luar biasa. Sesibuk apa pun pria itu, selalu menyempatkan waktu menelepon, sekadar menanyakan bagaimana sekolahnya hari ini? Sudah makan atau belum? Dan bila pulang bekerja pasti tak pernah lupa membawakan makanan kesukaan putrinya. Hasan bagi Hasna bukan sekadar ayah, tetapi juga panutan dalam hidupnya. Apalagi setelah perceraian dengan Azka, ayahnyalah yang paling sering membesarkan hatinya. Menguatkan sang putri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua air mata, rasa sakit, juga kecewa adalah cara Tuhan memisahkan dirinya dari orang yang
Kenan Abhitama Aziel, pria berumur tiga puluh satu tahun itu tak habis pikir dengan tuduhan sang mama padanya. Wanita yang telah melahirkannya itu mengatakan, jika dia mengalami penyimpangan dalam hal orientasi seks. Entah dari mana mamanya mendengar gosip murahan itu. Sampai-sampai, Kenan harus bersumpah bahwa dia masih normal, tetapi tetap saja tak memuaskan hati wanita tersebut. "Pokoknya Mama enggak mau tau! Nanti di pernikahan Salwa kamu harus bawa pacarmu, kalau enggak mau Mama mati berdiri. Ingat, pacar beneran. Jangan sewaan seperti yang sudah-sudah." Kenan mengusap wajahnya yang frustasi. Kata-kata Nuraida--mamanya--memantul-mantul di gendang telinga. Bahkan, peringatan itu sudah seperti minum obat, setiap bertemu atau menelepon, Nuraida selalu menyisipkan kalimat itu, sehingga Kenan hapal setiap kata, titik-koma, dan logat sang mama saat mengucapkan. Bukan tak memikirkan perasaan orang tuanya, Kenan belum siap membawa seorang wanita menghadap Nuraida. Banyak hal yang men
"Mama mau tanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur." Nuraida menatap lekat ke retina mata Hasna, dia ingin memastikan wanita itu tidak berbohong.Hasna tersenyum kaku, mencoba terlihat tenang, meski keringat dingin keluar dari pelipisnya."Tanya apa, Tante?""Kamu beneran, kan, pacarnya Kenan? Bukan sewaan?" Mata Hasna membulat, 'pacar sewaaan?' Dia membatin. Andai saja tak ada Mamanya Kenan, tawa Hasna mungkin sudah tersembur keluar. Ya, kali pria setampan Kenan butuh pacar sewaan? Seperti tidak laku saja."Emang Mr. Frezer, eh ... maksudnya Mas Kenan sering seperti itu, Tante?" Hasna malah tergelitik ingin tahu. Sepertinya ini senjata bagus untuk membalas si tuan pemaksa itu."Sering, yang dibawa itu aneh-aneh. Ada yang SPG, ada anak SMA, bahkan yang terakhir itu, waria. Yang bikin Tante senewen, Kenan enggak tau kalau pacar sewaannya itu perempuan berjakun."Seketika tawa Hasna pecah, wanita itu tertawa sampai air matanya keluar. Dia membayangkan bagaimana pria yang
Andai pintu Doraemon itu ada, pasti Hasna rela membeli meski harus merogeh kocek dalam-dalam. Dengan pintu itu, dia membayangkan bisa pergi ke mana saja, menghilang ke tempat yang dia mau. Apalagi saat ini, ingin rasanya menarik Kenan dan mengirim pria tersebut ke dunia lain, setidaknya Kenan tak muncul lagi di studio fotonya.Lagi? Iya, lagi. Setelah ke-gap oleh Indah kemarin, Kenan mulai sering berkunjung ke rumah atas undangan Ibunya Hasna. Wanita itu tak berkutik. Dia hanya menurut saat ibunya menawari Kenan mampir ke studio foto milik Hasna. Entah ada keperluan sang ibu pada hari itu mendatangi tempat kerjanya, lalu belanja cemilan untuk ayah dan kedua karyawan tengilnya. Kalau saja Hasna tak meminta berhenti atau tak meladeni ocehan Kenan, tentu tak akan terjadi percekcokan yang dilihat langsung oleh Indah.Seperti punya sihir, ibunya terlihat percaya saja saat Kenan memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Hasna ingin membantah, tetapi urung kala melihat binar bahagia di mata sa
Kenan tersenyum lega ketika pesawat yang dia tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Dari gerbang kedatangan menuju gerbang keluar, pria itu membenak terakhir kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, Nuraida. Saat itu dia baru saja lulus sekolah menengah atas, kala sang papa di pindahtugaskan ke Jakarta. Setelah sekian lama tinggal di kota yang terkenal dengan sebutan 'kota bingkuang', dengan berat hati harus meninggalkan sanak-keluarga dan teman-teman sepermainan. Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Terletak di pantai barat pulau Sumatera dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65% dari luas provinsi Sumatra Barat. Kota yang berada di pesisir pantai ini, banyak dikunjungi para turis lokal maupun internasional. Pulau-pulau kecil yang banyak bertebaran, menyajikan keindahan alami. Selain pemandangannya, ombak yang tinggi juga menjadi salah satu daya tarik turis yang hobi berselancar."Uda Kenan!" Seorang gadis memanggi
Hasna meremas tali tas punggungnya dengan kuat, seraya menatap ke arah kafe yang tidak terlalu ramai. Bangunan bergaya retro itu terlihat sangat mencolok dari bangunan di sekitarnya. Dengan warna dasar hitam, serta warna hijau, orange, dan merah yang dicat berselang seling di dinding, membuat tempat itu tampak hangat dan nyaman untuk dikunjungi. Hasna menghela napas perlahan, seraya menghitung dalam hati dari satu hingga sepuluh. Selalu begitu jika dia gugup kala bertemu dengan seseorang. Dia tak tahu keputusannya benar atau salah, bibirnya mengiyakan begitu saja saat Azka meminta untuk bertemu.Azka Prasetya. Meskipun satu tahun telah berlalu, tetapi luka yang pria itu torehkan masih terasa di dada Hasna. Walaupun dia terlihat baik-baik saja, tak ada yang tahu betapa berat satu tahun terakhir wanita tersebut bangkit dari keterpurukannya. Ucapan Azka saat sidang perceraian mereka, masih terngiang di telinganya hingga kini, berdengung seperti lebah yang bersarang di sana.Di depan para
Hasna melangkah lebar dan cepat keluar dari kafe. Dada wanita itu terasa amat sesak, dia tak ingin tangisnya pecah di sana, apalagi di hadapan Azka. Dia tak mau pria tersebut besar kepala dan mengira tangisan itu untuknya. Tidak! Justru Azka adalah seseorang yang tidak akan pernah dia temui lagi. Sangat dalam luka yang pria itu torehkan, Hasna tak ingin lagi pria itu masuk dan mengobrak-abrik hati yang kepayahan telah dia tata kembali.Masih lekat di benak Hasna, betapa sulit dia bangkit dari keterpurukan. Bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa yang kurang darinya? Apakah karena tak suka berdandan, maka dianggap tak menarik? Padahal tanpa berdandan pun dia merasa sudah cukup cantik. Kulit eksotis dengan tulang hidung yang tinggi, bibir sensual, dan mata bulat yang jernih. Sangat banyak pria yang datang mendekat sebelum bertemu Azka. Mereka kebanyakan rich man dengan wajah tampan mirip oppa Korea atau maskulin seperti pemain action holywood, tetapi Hasna telanjur menyenangi pekerjaann
Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya
Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang