Share

Deal to Deal

Author: Maheera
last update Last Updated: 2022-12-14 20:05:47

"Mama mau tanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur." Nuraida menatap lekat ke retina mata Hasna, dia ingin memastikan wanita itu tidak berbohong.

Hasna tersenyum kaku, mencoba terlihat tenang, meski keringat dingin keluar dari pelipisnya.

"Tanya apa, Tante?"

"Kamu beneran, kan, pacarnya Kenan? Bukan sewaan?"

Mata Hasna membulat, 'pacar sewaaan?'  Dia  membatin. Andai saja tak ada Mamanya Kenan, tawa Hasna mungkin sudah tersembur keluar. Ya, kali pria setampan Kenan butuh pacar sewaan? Seperti tidak laku saja.

"Emang Mr. Frezer, eh ... maksudnya Mas Kenan sering seperti itu, Tante?" Hasna malah tergelitik ingin tahu. Sepertinya ini senjata bagus untuk membalas si tuan pemaksa itu.

"Sering, yang dibawa itu aneh-aneh. Ada yang SPG, ada anak SMA, bahkan yang terakhir itu, waria. Yang bikin Tante senewen, Kenan enggak tau kalau pacar sewaannya itu perempuan berjakun."

Seketika tawa Hasna pecah, wanita itu tertawa sampai air matanya keluar. Dia membayangkan bagaimana pria yang terlihat cerdas itu, tidak bisa membedakan perempuan beneran atau abal-abal?

"Aduh, Tante, lucu banget, perut Hasna sampe kejang."

Tawa Hasna ikut menular ke Nuraida Wanita itu langsung cocok saat melihat perempuan yang diaku Kenan sebagai calon istrinya itu. Hasna terlihat begitu natural. Pakaiannya sopan meski terlihat jauh dari kata feminim. Perilakunya juga tak dibuat-buat. Tertawa pun tak ditahan-tahan. Benar-benar apa adanya.

"Makanya Tante itu sempat kepikiran kalau Kenan itu, gay."

"A-apa?" Hasna kembali dibuat kaget dengan pernyataan Mama Kenan tersebut. "Napa Tante ngomong seperti itu?"

Nuraida melengos. "Usia Kenan itu sudah tiga puluh satu tahun. Sejak dia tamat SMA sampe sekarang, Tante enggak pernah lihat dia bawa perempuan. Asistennya laki-laki, pegawainya laki-laki, bahkan semua pekerja di setiap outletnya laki-laki semua. Gimana Tante enggak takut kalau Kenan beraliran sesat."

"Tante, itu enggak bisa dijadiin patokan. Bisa aja memang Kenan menerapkan peraturan seperti itu untuk menjaga hal yang tidak-tidak." Hasna mencoba berasumsi.

"Maksudnya?"

Hasna berpikir sejenak, dia tak mungkin tahu apa alasan Kenan melakukan itu, ketemunya saja baru dua kali. "Gini, Tante. Kan, biasanya kalau ada karyawan laki-laki sama perempuan rawan cinta-cintaan. Nah, kalau misalnya mereka berantem? Trus keganggu sama kinerja mereka, yang rugi siapa?" Wanita itu membayangkan Refan dan Juleha. Setiap kedua orang itu lagi berantem, pasti ada aja kerjaan mereka yang tidak beres.

"Wah, benar juga." Nuraida manggut-manggut. "Calon mantu Tante cerdas. Mulai sekarang panggil Mama, ya? Mama sangat berharap kamu dan Kenan bisa segera menikah." Sorot mata Nuraida berbinar bahagia. Dia yakin jika kali ini, wanita yang dibawa Kenan benar-benar kekasihnya.

Hati Hasna menghangat mendengar permintaan Mama Kenan, terdengar sangat tulus. Sebuah doa yang keluar dari mulut seorang ibu. Sayangnya, apa yang dia lakukan sekarang malah membohongi wanita tersebut.

Sementara dari balik pintu kamar ruang rawat Nuraida, Kenan mengintip melalui kaca yang terpasang di pintu. Dahinya berkerut, bukannya kesal, wajah mamanya malah terlihat sangat bahagia. Kedua wanita itu malah kompak saling tertawa, membuatnya penasaran apa yang keduanya bicarakan.

Namun, senyum juga terbit di bibir Kenan. Sudah lama sang mama tidak tertawa selepas itu. Tepatnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Nuraida memang terlihat bahagia, tetapi sorot matanya tampak kosong. Hasna, wanita itu memang memiliki aura positif. Dia saja yang jarang tersenyum, malah dibuat terbahak oleh sikap blak-blakkan si wanita. Kenan bersyukur, telah menemukan wanita yang cocok dengan sang mama, tetapi senyum itu surut saat menyadari bahwa semua hanya untuk hari ini.

"Kak! Ngintipin apa, sih?" Kenan berjengit saat sebuah tepukan mendarat di bahunya.

"Kamu ini, bikin kaget saja!" Kenan mendengkus setelah melihat Salwa pelakunya. "Dari mana? Mama, kok, ditinggal sendirian?"

"Nganter orang tua Mas Andri, tadi ke sini jenguk Mama. Mereka bilang, sebaiknya pernikahan diundur sampai Mama baikan. Mumpung undangan belum dicetak."

Kenan mengusap kepala Salwa sekilas, seraya tersenyum tipis. "Maafin Kakak, ya. Gegara Kakak, Mama jadi seperti ini, pernikahan kamu pun diundur."

"Bukan karna Kakak, emang baiknya gitu. Salwa juga enggak mau nikah kalau Mama enggak datang. Mending diundur."

"Iya." Kenan melirik tangan Salwa, "itu apa?"

Salwa mengangkat kantong kresek putih bertuliskan alfamart'. "Laper, Kak, jadi sekalian beli makanan." Gadis itu celingukkan mengintip lewat kaca. "Lah, itu, kan, Mbak Hasna. Ngapain di sini?"

Kenan mengusap wajahnya, dia tidak memperhitungkan Salwa. Pasti drama ini terbongkar kalau adiknya itu berada di ruangan sang mama tadi.

"Kak, kamu enggak aneh-aneh, kan?" Salwa menyipitkan matanya, menatap dengan sorot curiga ke arah Kenan.

"Kamu jangan bilang apa-apa sama, Mama. Hasna Kakak minta buat--"

"Jangan bilang jadi pacar gadungan?!"

Kenan membekap mulut Salwa cepat. "Kamu ini, napa enggak pake toa sekalian!"

"Ih, jadi bener, ya, Kakak boongin Mama lagi?"

Kenan benar-benar kesal melihat ekspresi Salwa. Bibir mengerucut, mata menyipit, dan ekspresinya itu, seolah-olah dia tersangka penipuan kelas berat.

"Pokoknya kamu jangan bilang-bilang."

"Iya, iya." Salwa mengintip lagi, matanya menangkap tangan sang mama menggenggam tangan Hasna, entah apa yang keduanya bicarakan, tetap senyum tak luntur dari wajah mamanya. "Tapi, kok, Kakak kenal Mbak Hasna, ya? Apa setelah di Anyer kalian kontak-kontakan?"

Kenan memutar bola mata dengan malas. Bila sudah begini, Salwa akan terus mencecarnya dengan banyak pertanyaan, saking keponya. Sepertinya, hari ini akan jadi hari yang panjang bagi Kenan.

*

"Mama ngomongin apa tadi?" tanya Kenan.

Setelah satu jam menceritakan kronologi kejadian kenapa Hasna bisa ada di rumah sakit kepada Salwa, gadis itu malah tertawa sampai perutnya kejang. Bukannya menolong mencari alasan kalau mamanya nanti bertanya di mana Hasna, gadis itu malah menyarankan untuk memacari Hasna sekalian, menurutnya, mereka jodoh. Alih-alih mendengarkan, Kenan sama sekali tak tertarik menikah dalam waktu cepat.

"Enggak ada. Mama cuma cerita kalau anaknya enggak bisa bedain mana wanita beneran, mana yang abal-abal," jawab Hasna acuh tak acuh sambil menahan senyum.

Kesan mendesis mendengar sindiran Hasna. Kejadian itu memalukan sekali.

"Bukan seperti itu, kejadiannya cepat banget, mana sempat periksa 'aksesorisnya' dulu, bisa ditabok aku."

Tawa Hasna lepas mendengar jawaban Kenan. Pria itu benar-benar tak bisa ditebak. Pertama kali bertemu dia terlihat sangat datar dan membosankan, tetapi sekarang Hasna melihat ketengilan ada pada si pria.

"Eh, kok, udah manggil Mama aja?" tanya Kenan, mata pria itu masih fokus ke jalan raya.

"Mama yang minta, lagian bagus juga. Aku punya Mama, Ibu, siapa tau nanti ada yang ngakuin aku jadi pacarnya lagi, aku punya Mami."

Kenan geleng-geleng kepala mendengar jawaban asal-asalan Hasna. Kalau dilihat-lihat wanita itu bukan tipenya sama sekali. Hasna terlalu 'nyablak'. Sementara dia lebih suka wanita feminim yang lemah-lembut dan manja. Sepertinya Salwa harus belajar menjadi mak comblang.

*

"Turunin sini aja." Hasna meminta Kenan menghentikan mobilnya di depan sebuah mini market, tidak terlalu jauh dari studio foto miliknya.

"Mau belanja?" Kenan melihat ke arah mini market.

"Iya, kamu terus aja. Aku drop di sini." Hasna hendak turun dari mobil, tetapi Kenan menahan dengan suaranya.

"Gimana kalau kita buat kesepakatan." Entah dari mana ide gila timbul di benak Kenan. Jika dalam hitungan jam saja, kedatangan Hasna bisa membuat mamanya bahagia, mengapa tak memberikan untuk waktu yang lama.

Dahi Hasna berkerut. "Kesepakatan apa?"

"Kita pura-pura pacaran, nanti aku akan kasih kamu kompensasi. Kamu bilang aja mau berapa?"

Terang saja penawaran Kenan membuat Amarah Hasna tersulut. Refleks dia memukulkan ranselnya ke tubuh si pria.

"Eh, kamu pikir aku apa?! Udah untung aku nolongin kamu tadi, bukannya terima kasih, malah ngelunjak. Aku enggak butuh duit kamu, duitku udah banyak. Dasar enggak ada akhlak!" Hasna meracau dengan suara keras, yang mungkin terdengar hingga keluar mobil.

"Bukan gitu." Kenan berusaha menghindari sambitan Hasna. "Aku enggak mau kamu dirugikan sama kesepakatan kita."

"Wew! Kita? Kesepakatan?" Hasna mencibir, "aku malah berdoa kita enggak ketemu lagi. Aku ketemu kamu sial melulu, kamu ketemu aku berkah. Ogah!"

Hasna membuka pintu mobil, lalu bergegas ke luar. Akan tetapi, bukan Kenan nama pria itu, jika tak bisa mendapatkan keinginannya. Dia ikut keluar mobil, menyamai langkah dengan Hasna.

"Ayolah, tolongin aku. Kayaknya enggak logis kalau aku bilang ke Mama kita udah putus, baru juga ketemu. Kamu enggak kasian sama Mama."

"Kamu, tu, yang enggak kasian sama Mama kamu. Kenapa mesti bawa pacar sewaan segala? Emang enggak mampu cari pacar sendiri?" Hasna mulai meradang. Pria di depannya ini benar-benar keras kepala dan muka balok. "Atau jangan-jangan kamu beneran--"

"Aku masih suka perempuan!" Kenan memotong. Dia sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan Hasna, pasti berita aktual yang sama sekali tidak valid itu sumbernya, Mama.

"Ya, sudah, kalau masih normal cari pacar, jangan nyusahin aku!" balas Hasna ketus. Dia bermaksud meninggalkan Kenan masuk ke dalam mini market, tetapi matanya bersitatap dengan mata seorang wanita, yang entah sejak kapan berdiri di sana.

"I-ibu ...." Hasna menyapa, sembari mengulas senyum kaku. Tangan wanita itu berkeringat dingin saat Indah berjalan mendekat dengan kantong belanjaan di tangan.

"Berantem, kok, di jalan. Bikin malu aja." Indah menatap keduanya bergantian, agak lama saat melihat Kenan.

Kenan yang tahu diperhatikan, mengulas senyum paling manis. Dia menebak kalau wanita di hadapannya adalah Ibu Hasna. Sadar angin baik mengarah padanya, Kenan mengulurkan tangan kepada Indah, seraya berkata.

"Perkenalkan, Tante, saya pacar Hasna."

Seketika Hasna ingin jadi ubur-ubur saja.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Handy Mustakim
nice flow.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hidup di Dua Hati   Pria Paling Menyebalkan

    Andai pintu Doraemon itu ada, pasti Hasna rela membeli meski harus merogeh kocek dalam-dalam. Dengan pintu itu, dia membayangkan bisa pergi ke mana saja, menghilang ke tempat yang dia mau. Apalagi saat ini, ingin rasanya menarik Kenan dan mengirim pria tersebut ke dunia lain, setidaknya Kenan tak muncul lagi di studio fotonya.Lagi? Iya, lagi. Setelah ke-gap oleh Indah kemarin, Kenan mulai sering berkunjung ke rumah atas undangan Ibunya Hasna. Wanita itu tak berkutik. Dia hanya menurut saat ibunya menawari Kenan mampir ke studio foto milik Hasna. Entah ada keperluan sang ibu pada hari itu mendatangi tempat kerjanya, lalu belanja cemilan untuk ayah dan kedua karyawan tengilnya. Kalau saja Hasna tak meminta berhenti atau tak meladeni ocehan Kenan, tentu tak akan terjadi percekcokan yang dilihat langsung oleh Indah.Seperti punya sihir, ibunya terlihat percaya saja saat Kenan memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Hasna ingin membantah, tetapi urung kala melihat binar bahagia di mata sa

    Last Updated : 2022-12-16
  • Hidup di Dua Hati   Pulang Kampung

    Kenan tersenyum lega ketika pesawat yang dia tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Dari gerbang kedatangan menuju gerbang keluar, pria itu membenak terakhir kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, Nuraida. Saat itu dia baru saja lulus sekolah menengah atas, kala sang papa di pindahtugaskan ke Jakarta. Setelah sekian lama tinggal di kota yang terkenal dengan sebutan 'kota bingkuang', dengan berat hati harus meninggalkan sanak-keluarga dan teman-teman sepermainan. Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Terletak di pantai barat pulau Sumatera dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65% dari luas provinsi Sumatra Barat. Kota yang berada di pesisir pantai ini, banyak dikunjungi para turis lokal maupun internasional. Pulau-pulau kecil yang banyak bertebaran, menyajikan keindahan alami. Selain pemandangannya, ombak yang tinggi juga menjadi salah satu daya tarik turis yang hobi berselancar."Uda Kenan!" Seorang gadis memanggi

    Last Updated : 2022-12-16
  • Hidup di Dua Hati   Memaafkan Tapi Tidak Lupa

    Hasna meremas tali tas punggungnya dengan kuat, seraya menatap ke arah kafe yang tidak terlalu ramai. Bangunan bergaya retro itu terlihat sangat mencolok dari bangunan di sekitarnya. Dengan warna dasar hitam, serta warna hijau, orange, dan merah yang dicat berselang seling di dinding, membuat tempat itu tampak hangat dan nyaman untuk dikunjungi. Hasna menghela napas perlahan, seraya menghitung dalam hati dari satu hingga sepuluh. Selalu begitu jika dia gugup kala bertemu dengan seseorang. Dia tak tahu keputusannya benar atau salah, bibirnya mengiyakan begitu saja saat Azka meminta untuk bertemu.Azka Prasetya. Meskipun satu tahun telah berlalu, tetapi luka yang pria itu torehkan masih terasa di dada Hasna. Walaupun dia terlihat baik-baik saja, tak ada yang tahu betapa berat satu tahun terakhir wanita tersebut bangkit dari keterpurukannya. Ucapan Azka saat sidang perceraian mereka, masih terngiang di telinganya hingga kini, berdengung seperti lebah yang bersarang di sana.Di depan para

    Last Updated : 2022-12-17
  • Hidup di Dua Hati   Melodrama

    Hasna melangkah lebar dan cepat keluar dari kafe. Dada wanita itu terasa amat sesak, dia tak ingin tangisnya pecah di sana, apalagi di hadapan Azka. Dia tak mau pria tersebut besar kepala dan mengira tangisan itu untuknya. Tidak! Justru Azka adalah seseorang yang tidak akan pernah dia temui lagi. Sangat dalam luka yang pria itu torehkan, Hasna tak ingin lagi pria itu masuk dan mengobrak-abrik hati yang kepayahan telah dia tata kembali.Masih lekat di benak Hasna, betapa sulit dia bangkit dari keterpurukan. Bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa yang kurang darinya? Apakah karena tak suka berdandan, maka dianggap tak menarik? Padahal tanpa berdandan pun dia merasa sudah cukup cantik. Kulit eksotis dengan tulang hidung yang tinggi, bibir sensual, dan mata bulat yang jernih. Sangat banyak pria yang datang mendekat sebelum bertemu Azka. Mereka kebanyakan rich man dengan wajah tampan mirip oppa Korea atau maskulin seperti pemain action holywood, tetapi Hasna telanjur menyenangi pekerjaann

    Last Updated : 2022-12-17
  • Hidup di Dua Hati   Baralek

    Tak terasa hampir tiga minggu Kenan di Kota Padang. Outlet ayam geprek pun sudah dibuka dua hari yang lalu. Seperti perkiraannya, para pembeli sangat antusias datang untuk mencicipi menu restoran mininya. Semua itu tak lepas dari strategi marketing Kenan. Restorannya memiliki beberapa akun media sosial. Mulai dari instagram, tiktok, fb, channel youtube, dan twitter. Semua akun itu dimanfaatkan untuk mempromosikan usahanya setiap hari. Menurut pria itu, hampir seluruh masyarakat di dunia menggunakan media sosial. Jadi, akan lebih mudah mempromosikan usaha melalui dunia maya, lagi pula cara itu gratis dan ampuh."Kenan, alah siap?" Mak Rusli berdiri di ambang pintu kamar Kenan yang terbuka.Kenan yang baru saja selesai menyisir rambutnya, berbalik. Dia berjalan mendekat. "Sudah, Mak.""Capeklah, beko malam bana hari."(1) Mak Rusli menepuk bahu kemanakannya pelan, lalu beriringan turun ke lantai satu.Di ruang tamu Naya terlihat sudah rapi. Mengenakan gaun terusan berlengan pendek, yang

    Last Updated : 2022-12-19
  • Hidup di Dua Hati   Akhiri Saja

    Lagi-lagi hujan. Hasna mengurungkan niatnya pulang cepat hari ini. Dia kembali masuk ke dalam studio, berniat menyelesaikan editan foto. "Lah, enggak jadi pulang?" Refan yang sudah bersiap pulang menyapa Hasna yang berjalan ke ruangannya."Hujannya deras, tunggu reda aja," jawab Hasna terus berjalan."Ya, pake gocar. Motornya tarok di sini." Refan memberi ide, dia heran, kok, bosnya itu tidak berpikir ke sana.Tangan Hasna yang sedang memegang gagang pintu ruang kerjanya, berhenti sejenak, menatap ke arah Refan. "Siapa yang bayar? Kamu?" Refan langsung mencebik. "Ogah, mending duitnya buat jajan bakso bareng Juleha, bisa suap-suapan. Lagian, ya, kamu itu banyak duit, kok, perhitungan banget?" Pria itu tak habis pikir dengan pemikiran Hasna.Hasna menekan gagang pintu ke bawah, hendak masuk ke ruangannya, tetapi sebelum itu dia menjawab, "Kalau bisa gratis, ngapain bayar." Dia mengulas senyum yang terlihat sangat menjengkelkan di mata Refan. "Prinsip apa itu? Yang ada penyuka gratis

    Last Updated : 2022-12-19
  • Hidup di Dua Hati   Kecewa

    Nuraida mencoba bersikap biasa saja selama resepsi, meski hatinya dipeluk kesedihan. Pertama kali melihat Hasna di rumah sakit, instingnya mengatakan wanita berambut panjang itu adalah wanita baik. Naluri seorang ibu sangat tahu mana yang terbaik untuk putra. Di setiap sujudnya, Nuraida selalu berdoa agar keduanya berjodoh.Apalagi melihat perubahan dalam diri Kenan. Walau tidak kentara terlihat, tetapi dia tahu putranya tampak lebih bersemangat. Mata Kenan selalu memancarkan binar bila menyebut nama, Hasna. Pria itu juga akan menceritakan apa-apa saja kelakuannya yang membuat Hasna jengkel. Tak pernah Nuraida melihat putranya sehidup itu."Ma, kok ngelamun?" Suara Kenan mengembalikan kesadaran Nuraida. Dia mengedipkan mata untuk mengalihkan fokusnya. Nuraida mencoba tersenyum untuk menutupi gundahnya. "Enggak, Mama ingat Papa," elaknya, mata Nuraida memindai wajah Kenan dan Hasna yang berdiri di depannya, bergantian.Nuraida meminta Hasna mendekat. Meski ditutupi oleh si wanita, tet

    Last Updated : 2022-12-20
  • Hidup di Dua Hati   Kesepakatan

    Hasna masih bergelung dalam selimutnya. Keadaan wanita itu sedang tidak baik. Dua hari yang lalu dia nekat menembus hujan menggunakan sepeda motor, tanpa mengenakan mantel. Hasilnya, sesampai di rumah Indah mencak-mencak. Hasna tak membantah perkataan ibunya. Pikirannya sedang kalut memikirkan permintaan Mama Kenan. Harusnya dia tak memedulikan, tetapi nuraninya tak bisa bertindak sekejam itu. Apalagi Mama Kenan baru pulih, bisa saja kambuh kembali bila mendengar kebenaran itu."Ibu sudah bilang, kalau hujan mending tunggu sampe berhenti." Indah menempelkan kompresan ke dahi putrinya."Kelamaan, Bu. Hujan enggak bakalan berhenti juga." Hasna meraih tisu lalu mengeluarkan ingus yang menyumbat hidungnya."Kamu dibilangin. Tau dari mana hujan enggak bakal berhenti?" "Ya, nebak aja."Indah menepuk lengan Hasna dengan gemas. "Kebiasaan! Jawab suka asal. Kalau dibilangin itu dengar. Ini ngenyelnya ngelebihin cilok." Indah mulai mengeluarkan omelan khasnya, meanalogikan semua dengan makanan

    Last Updated : 2022-12-20

Latest chapter

  • Hidup di Dua Hati   Bertahun Kemudian

    Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb

  • Hidup di Dua Hati   Cinta Akan Membawamu Kembali

    Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn

  • Hidup di Dua Hati   Masih Adakah Cinta Untukku?

    Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i

  • Hidup di Dua Hati   Ruang Hampa

    Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s

  • Hidup di Dua Hati   Waktu yang Tepat Untuk Berpisah

    Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita

  • Hidup di Dua Hati   Hati yang Masih Bersiteru

    Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya

  • Hidup di Dua Hati   Lepaskan dan Ikhlaskan

    Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski

  • Hidup di Dua Hati   Bukan Mereka, tapi Untukmu

    Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me

  • Hidup di Dua Hati   Pusaran Samsara

    Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status